Ervin menghempaskan tubuhnya ke sofa saat sampai di rumah. Berbeda dengan Elina yang tetap berdiri di depan Ervin. Gadis itu menundukkan wajahnya memikirkan rencana yang dikatakan Zee Zee. Ada keraguan di hati Elina membuatnya benar-benar bimbang.
“El, sini.” Ervin menepuk tempat di sisi yang kosong. Elina menurut, ia duduk di samping Ervin. Namun, tidak seperti biasanya kali ini Elina lebih banyak diam. Ervin yakin ada sesuatu yang istrinya sembunyikan. Setelah Elina bicara dengan Zee Zee gadis itu jadi aneh. Ervin sengaja tidak bertanya karena dia ingin Elina sendiri yang mengatakannya. Sayangnya, gadis itu hanya diam membuat Ervin mau tidak mau bertanya.
“Kamu kenapa? Aku ada salah sama kamu? Kenapa kamu diam saja, El?”
Elina mengangkat wajahnya menatap Ervin sejenak lalu kembali menunduk. Ervin menarik dagu Elina sehingga gadis itu kembali menatapnya. Melihat wajah Ervin dari dekat membuat Elina menghilangkan keraguannya.
“Mister,” ujarnya. Ervin menaikkan alisnya menunggu kelanjutan ucapan Elina.
“Mister sayang sama aku, ‘kan?” tanya Elina membuat Ervin mengangguk pelan.
“Benar?” Elina kembali meyakinkan.
“Benar, dong. Buat apa juga kita tinggal satu atap bertahun-tahun kalau cuma main-main?” Ervin mengalihkan pandangan ke televisi yang belum menyala. Ia meraih remot lalu menyalakan televisi, mencari tayangan yang menurutnya seru.
“Mister,” panggil Elina. Ervin hanya bergumam menanggapi panggilan istrinya.
“Cium aku,” ucap Elina membuat Ervin langsung menoleh. Elina memejamkan matanya sembari memanyunkan bibir. Ervin menjauh saat istrinya mendekat. Ia segera mematikan televisi lalu berdiri.
“Elina jangan mulai lagi. Kamu hari ini aneh banget,” kata Ervin beranjak ke dapur. Ervin membuka kulkas menuangkan air dingin ke dalam gelas lalu meneguknya. Tiba-tiba Elina sudah berdiri di sampingnya.
“Mister,” panggil Elina sembari memanyunkan bibirnya lagi. Ervin memundurkan langkahnya lalu kabur ke kamar. Belum sempat ia menutup pintu, Elina kembali menyusul. Ervin cukup kaget karena Elina mengunci pintunya. Ervin mengerjapkan matanya berulang karena istrinya berubah agresif.
“Elina kamu kenapa sih?” tanya Ervin khawatir sekaligus takut.
“Mister nggak pernah cium aku duluan. Aku bisa hitung berapa kali Mister nyium aku. Apa Mister nggak cinta sama aku?”
Ervin memutar bola matanya. Hanya karena sebuah ciuman mereka harus bertengkar. “Elina, dengar. Mencintai tidak dihitung seberapa banyak kita berciuman, tetapi bagaimana cara kita tetap saling mencintai, menjaga hati hanya untuk pasangan,” kata Ervin seraya melipat tangannya di depan d**a.
“Kamu mau aku nyium kamu, kan?” Elina mengangguk pelan.
“Oke, aku akan cium kamu. Tutup mata dulu,” kata Ervin. Elina segera menurut. Ia menutup mata seraya memanyunkan bibirnya. Ervin ikut memejamkan mata lalu memiringkan wajah untuk bisa mencium bibir istrinya. Namun, Ervin menghentikan gerakannya saat melihat bibir ranum Elina.
Jantungnya berdebar kencang. Elina yang belum merasakan tanda-tanda Ervin akan menciumnya pun membuka mata. Wajah keduanya memerah saat tahu jarak mereka begitu dekat. Ervin dan Elina memalingkan wajah ke arah yang berbeda. Bukan hanya Ervin yang merasakan debaran yang menggila itu, tapi juga Elina.
“Lebih baik kamu ke kemar terus ganti baju,” kata Ervin membalikkan tubuh Elina lalu mendorongnya ke luar.
“Tapi Mister….”
Ervin tidak mengubris ucapan istrinya. Setelah Elina keluar Ervin kembali mengunci pintu. Tubuhnya bersandar sembari memegangi dadanya yang masih bergemuruh.
“Ervin kamu harus kuat. Jangan sampai Elina berhasil merobohkan pertahananmu,” gumamnya.
***
Elina membuka lemarinya lebar-lebar mencari pakaian yang pantas ia kenakan untuk malam ini. Tubuhnya masih berbalut handuk setelah mandi. Cukup lama ia memilih pakaian sampai akhirnya ia mendapatkan pakaian yang cocok. Gaun malam warna hitam dengan tali spageti yang membuat bahu Elina terbuka.
Setelah mengenakan pakaian, ia berdandan tipis yang membuat wajahnya semakin cantik. Ketika merasa penampilan sudah sempurna Elina bergegas ke kamar Ervin yang pintunya masih tertutup rapat.
“Mister buka pintunya,” teriak Elina sembari mengetuk pintunya keras-keras. Pintu terbuka, tapi hanya sedikit sehingga Elina hanya bisa melihat setengah wajah suaminya.
“Mister buka dong.” Elina mendorong ganggang pintu, tapi Ervin menahannya.
“Kamu mau apa lagi? Ini sudah malam aku mau tidur,” kata Ervin. Elina mendorong pintu itu lebih kuat, tapi Ervin berhasil menutup lalu menguncinya.
“Kamu mau apa sih, El? Aku jadi takut,” ujar Ervin. Elina menghentakkan kakinya. Ia sudah berandan cantik, tapi Ervin tidak mau melihat penampilannya. Pria itu malah ketakutan.
“Aku cuma mau ketemu Mister apa nggak boleh?” tanya Elina sembari menggedor-gedor pintu.
“Besok saja aku mau tidur.”
Lampu kamar Ervin dimatikan membuat Elina mengeram kesal. Ia mulai khawatir kalau sebenarnya Ervin menyukai sesama jenis. Elina menggeleng pelan berusaha mengenyahkan pikiran itu. Ia yakin Ervin masih normal dan mencintainya.
Elina berpikir keras supaya Ervin mau keluar dari kamarnya. Sebuah ide terlintas di pikiran Elina. Senyum mengembang dari bibir mungilnya. Elina segera ke dapur lalu duduk di lantai. Kepalanya bersandar pada kaki meja.
“Akkhh, sakit,” teriak Elina kencang sembari mengurut kakinya.
“Kakiku terkilir,” ujarnya lebih keras. Ervin berlari ke dapur dengan wajah khawatir.
“Kamu jatuh?” tanya Ervin. Elina mengangguk.
“Mister bantuin aku jalan. Aku gak bisa ke kamar sendiri,” kata Elina. Melihat Elina meringis kesakitan membuat Ervin bergegas membopong istrinya ke kamar .
“Kamu kenapa bisa jatuh El?” tanya Ervin sembari membaringkan Elina di tempat tidur. Ervin memeriksa kaki istrinya. Gadis itu pura-pura meringis membuat Ervin semakin bersimpati.
“Pelan-pelan Mister, sakit tahu,” kata Elina membuat Ervin memijat kakinya pelan. Ervin berdiri membuat Elina berhenti meringis.
“Kita ke rumah sakit saja. Aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu,” kata Ervin. Elina segera bangun lalu menarik tangan suaminya kuat. Ervin kaget karena Elina menarik tangannya tiba-tiba membuat tubuhnya jatuh menindih gadis itu. Ervin menyangga tubuhnya dengan kedua tangan.
“Arrkkh!” Ervin menjerit saat merasakan kakinya sakit. Mendengar Ervin menjerit kesakitan membuat Elina kaget.
“Mi-mister kenapa?” tanya Elina yang masih berada di bawah kungkungan Ervin.
“Kaki aku terkilir,” kata Ervin sembari menahan rasa sakit yang luar biasa. Ervin segera membenahi posisinya. Ia duduk di pinggir tempat tidur sembari mengusap kakinya yang sakit.
“Mister benar sakit?” tanya Elina. Ervin menatapnya tajam, terlihat air mata menggenang di sudut mata suaminya membuat Elina merasa bersalah. Ervin sedang menahan sakit membuat Elina menggigit bibir bawahnya.
“Ma-maaf,” gumam Elina. Ia semakin khawatir dan tidak tahu harus berbuat apa. Ervin mengeluarkan ponselnya lalu memberikannya pada Elina.
“Hubungi mamaku katakan kalau kakiku terkilir,” ucap Ervin sambil meringis menahan sakit luar biasa. Elina menerima ponselnya dengan tangan bergetar. Gadis itu diam-diam menangis membuat hati Ervin melunak. Ia sempat marah pada Elina karena menariknya tiba-tiba, tapi saat melihat air mata gadis itu membuat Ervin merasa bersalah.
Elina menghubungi Zemira sambil menyeka air matanya. Ervin tersenyum tipis lalu mengusap kepala Elina agar istrinya lebih tenang.
“Aku baik-baik saja, sebentar lagi juga sembuh,” ucap Ervin setelah gadis itu selesai menelepon. Tangisan Elina mulai mereda.
“Maafkan aku Mister,” ucapnya. Ervin berusaha tersenyum, walau kakinya terasa amat sakit. Mata Ervin meneliti penampilan Elina. Gaun tidur warna hitam selutut itu kini sedikit tersingkap membuat Ervin menelan ludahnya susah payah. Ia baru menyadari penampilan Elina yang seksi.
“El, ganti baju dulu. Kalau mama lihat kamu berpenampilan seperti itu nanti dia marah sama aku,” kata Ervin lembut. Elina tersadar dengan pakaiannya yang tidak pantas dilihat orang lain.
“Iya, aku ganti.”
Elina bergegas mencari pakaian yang lebih tertutup. Ervin menutup matanya saat Elina mengganti pakaian
Kenapa dia buka baju di sini? Ervin berusaha mengendalikan dirinya.
“Mister aku buka pintu dulu, ya,” kata Elina saat mendengar suara bel. Ervin membuka matanya perlahan. Ternyata Elina sudah selesai mengganti pakaian dengan long dress bunga-bunga pemberian Ervin yang dibeli saat diskon di pasar.
Elina bergegas membuka pintu. Ternyata Zemira datang bersama Nehan (Ayah tiri Ervin) dan seorang wanita tua.
“Elina, di mana Ervin?” tanya Zemira.
“Ada di kamar aku, Ma,” ucapnya. Elina membawa ketiga tamunya ke kamar. Ervin tersenyum dengan wajah pucat menahan sakit. Zemira berlari menghampiri anaknya.
“Ervin ini Mbok Siyem, dia tukang pijit yang akan mengobati kaki kamu,” kata Nehan. Mbok Siyem mulai mengurut kaki Ervin membuat ia menjerit kesakitan. Elina kembali menangis melihat Ervin berteriak.
“Vin, kamu tahan sakitnya, ya, Nak,” ucap Zemira. Elina menggigit tangannya merasa bersalah. Ia memejamkan matanya saat Ervin berteriak berkali-kali. Zemira memeluk Ervin erat untuk menenangkan.
“Kakinya tidak apa-apa, di kompres dengan air dingin biar lebih enakan,” kata Mbok Siyem.
“Terima kasih, ya, Mbok,” ujar Zemira sembari mengusap keringat Ervin.
“Mari Mbok kita tunggu di ruang depan,” kata Nehan. Mbok Siyem mengikuti Nehan keluar kamar. Elina membuka matanya lalu menghampiri Ervin dengan kepala menunduk.
“Kaki kamu kenapa bisa terkilir, Vin?” tanya Zemira. Beruntung hari belum terlalu larut sehingga ia bisa datang bersama Mbok Siyem. Ervin menatap Elina yang sedang mengheningkan cipta di depannya. Elina menunduk dengan khusyuk tanpa berani mengangkat kepala.
“Ervin kepleset, Ma. Sekarang sakitnya sudah mendingan,” ucapnya. Zemira menatap Elina yang terdiam sejak tadi.
“Ervin baik-baik saja, Elina. Nanti tolong kompres kaki Ervin, ya, Sayang.” Zemira berdiri mengusap rambut menantunya yang belum juga mengangkat kepala sejak tadi.
“Vin, mama pulang dulu, besok mama datang lagi untuk lihat keadaan kamu,” kata Zemira lalu keluar dari kamar. Perlahan Elina mendongkak menatap Ervin dengan mata sembabnya.
“Mister,” panggil Elina dengan suara bergetar.
“Aku gak sakit lagi, El. Duduk di sini, aku mau bicara sama kamu.”
Elina tidak membantah. Ia duduk di sisi tempat tidur yang cukup jauh dari Ervin. Melihat Elina yang menjauhinya membuat Ervin menghela napas.
“Lebih dekat, Elina.”
Gadis itu hanya bergerak sedikit membuat Ervin jadi jengkel. Ia menarik tangan Elina sehingga gadis itu duduk lebih dekat.
“Kamu kenapa, El? Kenapa jadi aneh seperti ini?” tanya Ervin lembut. Elina tidak menjawab, ia kembali menangis membuat Ervin bingung.
“Maaf.” Hanya itu yang keluar dari bibir Elina. Ervin mengusap punggung istrinya mencoba meredakan tangisan Elina yang kembali pecah.
Dia kenapa? Apa jangan-jangan Elina lagi PMS? batin Ervin menerka-nerka alasan perubahan sifat istrinya.