Ponsel Ervin bergetar beberapa kali. Panggilan dari Elina. Ervin bergegas meletakkan tumpukan buku yang ia bawa di atas meja. Beruntung tidak ada penjaga perpustakaan saat ini sehingga Ervin bisa menerima panggilan Elina.
“Iya, El?” Ervin berbisik. Walau hanya ada dirinya di tempat itu, tetapi Ervin tetap mentaati peraturan untuk tidak membuat kebisingan.
“Mister aku sudah selesai kelas. Mister di mana?”
Ervin meletakkan satu per satu buku yang ia pinjam ke tempatnya. “Tunggu aku dekat parkiran, ya, bentar lagi aku nyusul,” ujarnya sembari memperbaiki barisan buku supaya tertata rapi.
“Oke, jangan lama-lama. Aku kepanasan.”
“Iya, nanti kita singgah beli es krim biar gak kepanasan,” kata Ervin.
“Pakai uangnya Mister, kan?”
Ervin menarik sudut bibirnya. Elina masih takut belanja dengannya. Pernah satu kali mereka belanja di mall karena paksaan Elina. Ervin menurut, tetapi saat mau ke kasir pria itu menghilang. Bilangnya ke toilet tetapi nggak datang-datang, jadilah Elina yang membayarnya. Selama dua hari itu Elina tidak mau bicara padanya.
“Iya, aku yang traktir tapi nggak boleh nambah. Pilih satu saja,” kata Ervin. Terdengar hembusan napas kesal dari seberang sana.
“Jangan protes kalau aku pilih yang mahal,” ujar Elina lagi.
“Maksimal dua puluh ribu,” sahut Ervin.
“Iish… Mister Pelit.”
Elina memutus sambungan teleponnya. Ervin kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku. Ia bergegas keluar setelah mengisi buku besar yang ada di atas meja penjaga perpustakaan. Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Cinta. Ervin mengerang kesal karena gadis itu beberapa kali menghubunginya.
“Halo ada apa Cinta?” tanya Ervin saat menerima panggilannya. Ia memutuskan menerima panggilan itu dengan harapan Cinta tidak lagi menghubunginya. Terlebih di rumah. Elina akhir-akhir ini sering memeriksa ponselnya.
“Ervin, aku sudah ada di kampus. Kamu di mana?” tanya Cinta. Ervin mengernyitkan dahinya.
“Maksudnya kamu ada di kampus aku?” Ervin kembali memastikan. Ia bergegas keluar perpustakaan.
“Iya. Kamu ada di mana sekarang? Aku mau ketemu.” Ervin berbelok menuju parkiran kampus. Langkahnya terhenti saat melihat Cinta berdiri tidak jauh dari Elina. Ervin menarik tubuhnya dengan cepat untuk bersembunyi di balik tembok.
“Ke-kenapa kamu nyari aku? Aku nggak ada di kampus.” Ervin menggaruk kepalanya untuk menghilangkan kekesalan. Beruntung Cinta memunggungi Elina yang sedang memainkan ponselnya.
“Aku lihat motor kamu ada di parkiran.”
Ervin mengumpat dalam hati. Ia lupa kalau Cinta suka menghafal motor teman-temannya. Waktu SMA dulu segala merek motor dan plat nomor kendaraan bisa ia hafal dengan mudah. Kebiasaan unik itu ternyata masih ia bawa sampai saat ini. Ervin tidak bisa mengelak lagi kalau mengatakan itu bukan motornya.
“Oh, itu. teman aku yang pinjam buat ke kampus. Kemarin malam dia nginep di rumah terus motornya mogok.” Ervin mengusap dadanya untuk bersabar. Dengan cepat ia bisa membuat alasan yang masuk akal. Jangan sampai Cinta curiga, terlebih ada Elina di sana. Pesan w******p dari Elina terus masuk menanyakan keberadaan Ervin. Rasa bersalah pada istrinya karena membuat ia menunggu lama.
“Jadi gitu. Aku ke rumah kamu sekarang, ya.”
Mata Ervin melotot. Ia menjauhkan sedikit ponselnya. Sekarang ia harus mencari alasan lagi untuk mengurungkan niat Cinta bertemu dengannya.
“Aku ada di rumah mama sekarang. Jagain adik aku. Maaf, ya, aku nggak bisa ngasih alamat rumah mama sama kamu. Lain kali saja kita bertemu,” kata Ervin berharap Cinta mengerti. Terdengar nada kecewa dari suara Cinta. Ervin tidak memiliki pilihan lain.
“Ya sudah nanti malam aku hubungi kamu lagi. Bye.”
Sambungan terputus membuat Ervin lega. Saatnya membalas pesan Elina dan mengatakan bahwa ia masih berada di toilet karena sedang sakit perut. Ervin terus memantau kedua gadis itu. Ia terus berdoa semoga Elina dan Cinta tidak saling bertatapan. Namun, doa Ervin kali ini tidak terkabul. Cinta melihat Elina yang sedang menghentakkan kakinya kesal saat membaca pesan dari suaminya.
Ervin membolakan matanya ketika Cinta menepuk pundak Elina. Kedua gadis itu saling bertatapan membuat dunia Ervin terasa hancur. Ia hanya bisa menggigit jari melihat dua gadis itu berhadapan.
“Kamu gadis yang di mall itu, kan?” tanya Cinta sembari menunjuk Elina. Melihat gadis yang memarahinya tempo hari ada di depannya membuat Elina geram.
“Kamu nenek lampir yang marah-marah itu?” Elina tidak kalah galak. Gadis itu ikut melipat tangannya di depan d**a.
“Nenek lampir? Kamu yang nenek lampir sudah salah, tapi nggak mau ngaku.”
“Siapa yang nggak ngaku. Aku udah minta maaf kamunya saja yang budeg,” kata Elina. Cinta mengepalkan tangannya tidak terima karena ejekan Elina. Ia mendorong bahu gadis itu hingga Elina jatuh ke tanah. Ervin yang melihat dari kejauhan merasa khawatir. Ia ingin menolong Elina, tetapi tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Bisa semakin parah kalau Cinta tahu dia berbohong, apa lagi Elina juga akan tahu kalau Ervin mengenal Cinta.
“Jangan ejek aku lagi, kamu kira aku takut?”
Elina bergegas berdiri. Ia terlihat geram menatap Cinta.Elina mendorong bahu Cinta cukup kuat hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Cinta menatap Elina tajam.
“Kamu memang kasar, ya.” Cinta mendekati Elina lalu mendorong gadis itu lagi, beruntung Elina bisa menjaga keseimbangan sehingga ia tidak jatuh. Aksi dorong mendorong itu terus terjadi sampai akhirnya mereka saling jambak.
“Cewek nyebelin,” teriak Elina saat Cinta menjambak rambutnya. Elina tidak mau kalah, ia juga melakukan hal yang sama pada rivalnya. Ervin termanggu melihat kejadian bar-bar dua gadis itu. Tidak terbayang andai kata Elina tahu hubungannya dengan Cinta, mungkin akan lebih parah dari sekadar cakar-cakaran.
Ervin segera mencari cara untuk memisahkan mereka. Tidak ada orang di parkiran membuat ia terpaksa membuka baju. Ervin menggunakan pakaiannya untuk menutupi wajah. Tidak ada pilihan lain, ia harus segera menyelamatkan Elina.
Ervin berlari cepat menuju tempat kedua gadis itu. Ia segera memisahkan Elina dan Cinta lalu menggendong istrinya di pundak, seperti memikul karung beras. Elina terus meronta untuk diturunkan, tetapi Ervin tidak peduli walau punggungnya sakit dipukul cukup kuat oleh istrinya.
“Lepasin!” teriak Elina membuat Ervin tidak tahan. Ia segera menurunkan Elina ditempat yang sepi.
“Kamu siapa? Jangan macam-macam, ya,” bentak Elina. Ervin segera membuka baju yang menutupi kepala hingga wajahnya. Elina terdiam melihat suaminya babak belur.
“Ini aku Ervin.”
Elina menggigit bibir bawahnya. “Mister,” gumamnya prihatin. Elina mengusap sudut bibir Ervin yang sedikit berdarah. Ia yakin bibir itu terkena cincinnya tadi.
“Mister kenapa nyamar segala?” tanya Elina. Ervin meraih tangan lembut yang mengusap bibirnya itu.
“Biar kegantengan aku nggak pudar makanya aku nyamar,” ujar Ervin membuat Elina mencubit perutnya.
“Nggak lucu.”
“Emang nggak lucu, aku bukan pelawak,” sahut Ervin membuat wajah Elina tertekuk kesal. Ervin menarik istrinya ke dalam pelukan. Elina membalasnya membenamkan wajahnya pada d**a bidang Ervin.
“Jangan berkelahi seperti itu lagi. Kamu buat aku takut. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama kamu? Itu buat aku sedih,” ucap Ervin. Elina mengangguk pelan dalam dekapan suaminya.
“Iya, aku janji nggak akan kayak gitu lagi, tapi es krimnya tiga, ya.” Ervin langsung melepas pelukannya pada Elina. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali saat tatapan mereka bertemu. Ervin teringat akan janjinya pada Elina.
“Ya, sudah tiga, tapi jangan diulangi.” Ervin mengacungi kelingkingnya. Elina menautkan kelingking mereka sambil tersenyum lebar. Akhirnya, keinginan untuk mendapat tiga es krim dari Ervin terwujud. Ervin bergegas memakai kembali pakaiannya. Setelah kondisi aman dan Cinta sudah pergi Ervin pun memacu motornya keluar dari kampus.
Pelukan Elina di pinggangnya semakin erat membuat Ervin nyaman walau punggungnya masih sakit karena pukulan keras gadis itu. Elina walau terlihat lemah, tapi tenaganya cukup kuat memukul Ervin.
***
Elina duduk santai di depan televisi. Tangannya tidak pernah berhenti mengupas kulit kacang. Tiba-tiba Ervin keluar kamar lalu duduk di sampingnya.
“El, pijit punggung aku dong. Pegal banget, apalagi kamu mukulnya keras banget tadi.” Ervin memberikan minyak kayu putih pada Elina. Gadis itu hanya menatapnya sebentar lalu kembali fokus pada televisi.
“El, kamu dengar nggak sih?” Ervin mulai kesal karena Elina tidak menghiraukan ucapannya.
“Tapi entar gantian, ya,” jawabnya. Ervin mengangguk lalu membawa Elina masuk ke kamarnya, tapi Elina menolak. Ia meminta Ervin masuk ke kamarnya.
“Pijit yang enak, ya,” kata Ervin setelah berbaring di tempat tidur Elina yang super empuk. Satu tahun pernikahan mereka, Tristan menghadiahi boneka, kasur dan meja rias lengkap dengan make-up untuk Elina. Kamar gadis itu didekorasi mirip dengan kamarnya di rumah Tristan. Ac baru sudah terpasang , di pojok ruangan ada kulkas kecil untuk menyimpan minuman. Ervin kadang iri dengan kemar Elina yang mewah walau rumah mereka sangat sederhana.
“Yang keras dikit, Elina. Gak terasa,” protes Ervin. Elina mengerahkan tenaganya untuk memijat, tapi lagi-lagi Ervin merasa kurang dengan pijitannya. Kesal karena Ervin tidak puas juga, Elina memutuskan untuk duduk tepat di atas p****t suaminya. Mungkin dengan cara itu pijatannya bisa lebih bertenaga.
Mata Ervin yang semula terpejam tiba-tiba terbuka. Ia merasakan sesuatu yang membuatnya terdiam dan menegang.
Kenapa dia duduk di sana?