BAB 5

1273 Kata
Luna menutup pintu kamar apaertemennya dengan cepat, ia menyandar pada pintu dan bernapas berat karena sedang panik. Sungguh, ia benar-benar diikuti sedari pulang kerja hingga ke apartemennya, tapi ia tidak memiliki tempat untuk bersembunyi yang bagus. Jadi ia bingung dan pada akhirnya memutuskan untuk ke apartemennya saja. Ya! Luna baru saja menunjukkan dimana tempat tinggalnya, hal itu membuat Luna merutuki dirinya sendiri. “Sial! Kau bodoh Luna! Tidak seharusnya kau balik kesini, apa aku masih dapat hidup hingga melihat matahari baru lagi?” Luna sebenarnya tidak terlalu panik, hanya saja ia takut apa yang terjadi kedepannya. Meskipun ia memiliki banyak cara untuk mengatasi semuanya, tetapi tetap saja Luna takut jika ia akan berakhir tragis. Bukan itu keinginan Luna, ia hanya ingin hidup tenang dan meninggalkan semua kehidupannya dengan damai. Luna melangkahkan kakinya ke arah ruangan kecil yang ada di aprtemen itu dan tersembunyi di balik tembok. Ia masuk ke dalam sana dan ruangan itu sangat gelap, tidak ada pencayahan sedikitpun. Luna menghidupkan lampunya dan disana ia melihat ada sebuah meja dan kursi yang berada di tengah-tengah ruangan yang berbentuk lingkaran sempurna. Luna masuk ke dalam dan kemudian banyak sensor aktif yang memindai tubuh Luna. “Diterima!”                       Saat terdengar suara itu, Luna langsung bergerak cepat menuju meja yang dimana di atasnya terdapat sebuah komputer yang cukup besar. Luna duduk pada kursinya dan mulai mencari sesuatu dengan mengetik cepat di atas papan ketik komputer itu. “Aku kemarin masih ingat kode untuk masuk ke kamera pengawas apartemen ....” gumam Luna seraya mengetik apa yang ada diingatannya. “Semoga berhasil!” seru Luna dan menekan enter. Pada layar komputer itu langsung terlihat ribuan kamera pengawas yang menjadi sangat kecil karena terbagi-bagi. Luna memperkecil jangkauannya dan membuat layar komputer itu menjadi empat pembagian saja. Ia hanya mengecek kamera pengawas dengan pintu masuk, kamera di lift yang dekat dengan kamarnya, kemara pengawas di koridor kamarnya, dan kamera pengawas di lobi utama. “Oke ... Sepertinya sekarang tidak ada apa-apa?” ucap Luna bingung. Luna memundurkan waktu pada kamera pengawas itu untuk memastikannya, sekitar dua puluh menit yang lalu. Kemudian Luna juga mempercepat waktunya menjadi tiga kali lipat. “Oke ... mari kita cek!” seru Luna dan memulainya. Disana belum ada keanehan, hanya orang berlalu lalang seperti biasa pada umumnya, sampai Luna terlihat sedikit berlari dan masuk ke dalam apartemennya. Tidak ada yang aneh, tetapi setelah lima menit waktu berlalu. Disana Luna baru melihat ada sosok orang bertudung hitam mulai masuk apartemen dan berhasil, ketika ia masuk, tidak ada alarm peringatan. “Bagaimana bisa? Aku tadi ingat dengan sangat jelas bahwa ia yang mengerjarku dari kantor, apa ia tinggal disini juga?” Luna menepis pikiran buruknya dahulu dan kemudian beralih mengecek kamera pengawas pada koridor kamarnya. Disana juga terlihat sosok bertudung hitam itu berjalan keluar dari lift dan berhenti tepat di pintu kamar Luna. “Sial! Dia ternyata emang mengincarku?” Luna memperhatikan dengan serius apa yang akan dilakukan orang bertudung hitam itu, sampai dimana sosok itu membuka pintu kamar Luna dengan mudah dan masuk ke dalamnya. Luna saat itu mematung, ketakutan di dalam dirinya membuat dirinya tidak dapat bergerak dan berpikir jernih. Segala kemungkinan buruk yang terjadi di kepalanya mulai bermunculan. Luna menetralkan pernapasannya yang terasa tercekik, ia menjadi bertanya-tanya. Apakah ini akhir dari hidupnya? Apakah secepat ini hidupnya berakhir? Luna tidak ingin ambil pusing dan ia harus bersembunyi sekarang. “Terlamabat!” ucap sebuah suara. Sebuah tusukan kecil masuk pada leher sebelah kanan Luna, rasanya sangat perih hingga Luna tersentak dan terjatuh ke belakang. Sosok yang berada di belakang Luna itu menangkapnya dan menidurkan Luna, “Mari kita tunggu sampai kau benar-benar tidak bernyawa, sayang!” ucapnya dengan senyum tipisnya. Dalam beberapa detik, tubuh Luna seakan lumpuh dan mati rasa, tidak lama dadanya mulai terasa sesak dengan detakan jantung yang tidak normal. Dalam sekejap Luna tidak dapat merasakan apapun dan berhenti bernapas. *** Dean membaca buku tentang metamorfosis yang terjadi pada manusia. Ia hanya membalik halaman buku itu dan membacanya dengan sekilas, Dean sedang tidak memiliki kerjaan. Jadi ia tidak tau harus berbuat apa, karena semua kerjaan miliknya, ia serahkan sepenuhnya kepada anak buahnya. :Sudah tiga tahun semenjak Dean menjadi ketua dalam organisasi bawah, ia masih tidak terbiasa dengan semuanya. “Permisi, tuan ... Ada yang ingin menemui Anda!” ucap seorang pelayan yang selalu menjaga depan pintu ruangan kerjanya. “Masuk!” seru Dean dan menutup buku yang menurutnya sampah itu, ia membuangnya langsung pada tempat pembakaran yang ada di belakangnya. Pintu terbuka, kemudian langah kaki terdengar memenuhi ruangan yang senyap itu. Sosok yang memiliki aura begitu angkuh memasuki ruangan Dean denga tatapan rendah pada Dean. “Apa yang kau inginkan?” tanya Dean langsung tanpa basa-basi. “Ayolah Dean? Tidak seharusnya kau berkata seperti itu kepada tamu sepertiku, bukan?” “Callista ... Apa kau tidak takut jika mati ditangan keluargamu sendiri?” “Kau lupa? Aku tidak bisa dilumpuhkan dengan mudah, Dean. Sepertinya kau benar-benar sudah melupakanku,” Dean bangkit dari kursinya dan menatap Callista di depannya itu dengan wajah datar dan mata penuh dendam. “Bagaimana jika aku saja yang melakukannya?” ujar Dean dengan bariton beratnya. “Kau masih kalah gesit, Dean. Aku kesini hanya ingin kita bekerja sama, bukan saling berusaha untuk membunuh. Tidak bisakah kau sabaran sedikit saja? Kau selalu mengedepankan emosimu,” Callista menghampiri Dean yang berdiri tidak jauh di depannya, ia meletakkan tangannya di d**a Dean, mengelus, dan menepuk-nepuknya seakan merendahkan Dean. “Asal kau tau? Kau terlihat seperti lelaki murahan bagiku, terlalu murah, sampai semua orang kau setubuhi dengan tindakan kau yang sangat menjijikkan!” ujar Callista dengan penekanan nada beratnya di setiap kata. Dean menggertakkan giginya dan balik membelai rambut Callista secara halus, “Bukankah kau sama saja? Dasar jalang sialan!” umpat Dean dan menjambak rambut Callista kasar. “Jangan kau kira karena aku masih memiliki hubungan bisnis dengan Ayahmu, kau dapat berlaku seenaknya. Aku sangat bisa mengoyak dagingmu dan memberikannya ke peliharaan babi hutan milikku,” ancam Dean. Callista yang spontan memegangi tangan Dean hanya tertawa puas melihat ekspresi Dean yang terlalu serius menurutnya, “Kau pikir aku bodoh? Kau juga memiliki kerja sama dengan kedua Kakakku kan? Bahkan di ketiga kontrak yang Kau buat, jika kau membunuhku, maka kau sama saja dengan bunuh diri bukan? Tentu saja, kau bisa membunuhku, tapi kau tidak akan melakukannya,” Ucapan Callista membuat Dean semakin kehilangan kesabaran, Dean saat itu juga menghantamkan kepala Callista ke meja miliknya yang bergerigi. Bunyi dentuman keras terdengar sangat jelas di ruangan itu, pembuluh nadi pada pelipis Callista pecah dan itu membuat darah segar mengalir keluar dengan sangat banyak. Callista merasakan pusing yang luar biasa dan tubuhnya tidak seimbang, akhirnya ia terjatuh dengan tidak berdaya, “Dean sialan! Apa yang kau lakukan?” teriak Callista. “Sudah kubilang bukan? Aku selalu memiliki solusinya, bagaimana jika kau kusekap dan menghilang untuk selamanya? Tidak akan ada yang tau bukan kau kemana? Aku juga tau kau tidak diberi izin berkunjung ke tempatku dan kau tetap melakukannya dengan tanpa pengawal? Kau terlalu naif dan bodoh, Callista!” Dean menginjak lengan sebelah kiri Callista dengan sepatu pantofel keras miliknya, Dean memberikan tenaga dengan kuat dan kemudian memutar kakinya. “Arghhh! b******n sialan! Apa yang kau lakukan?!” teriak Callista mengerang kesakitan, suara desahannya memenuhi ruangan milik Dean, tentu saja itu kesukaan Dean ketika suara mohon ampun terdengar di ruangan miliknya. “Baiklah, kali ini aku akan memaafkanmu dan hanya menghukummu selama seminggu, itupun jika kau tidak mati duluan. Setelah itu, kau harus benar-benar menjaga diri dan berperilaku layaknya binatang di bawah kendaliku. Paham?!!” teriak Dean mencengkram rahang cantik milik Callista. Callista hanya mengangguk lemah dengan senyuman licik yang terbentuk secara perlahan di wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN