Bab 6 - Memorabilia Wisuda

1438 Kata
Fatih Thoriqul Firdaus Hari ini suasana pesantren begitu ramai, semarak sekaligus meriah. Panggung besar didirikan di halaman utama yayasan dengan kursi-kursi berjajar memanjang sepanjang timur ke barat, menghadap panggung yang kebetulan—dan bisa dibilang selalu berada sejajar dengan pintu utama ndalem. Aku berdiri di belakang jendela kantor madrasah diniyah. Terpaku melihat seorang gadis yang duduk di bangku wisudawati dengan ratusan santri putri lain yang rencananya hari ini akan diwisuda. Ia tampak memesona dengan balutan gamis biru tua dan pashmina senada yang melekat sempurna di tubuhnya, dresscode yang sama dengan para wisudawati lainnya. Sesekali gadis itu tertawa dengan teman-temannya. Salah satunya kukenali menjadi khodimah di ndalem pondok, Dewi, kata Ibu dia santri putri yang sejak lama bersahabat dengan gadis yang sedang menyedot perhatianku kini. Entah, sudah berapa lama aku memperhatikannya dari sini. Acaranya bahkan sudah dimulai, meski belum ke inti tetapi aku tidak bosan sama sekali. Rasanya kedua kakiku sulit sekali diajak beranjak, pergi bergabung dengan dewan asatidz lain yang sudah duduk di kursi-kursi yang disediakan di depan panggung. Senang saja melihatnya begini. Lagi pula, jika aku duduk di sana aku akan kesulitan melihatnya, tidak bisa malahan. Tempat duduk asatidz ada di depan sedangkan wisudawan di belakang. Ingat, wisudawan. Bukan wisudawati! Semua tempat duduk laki-laki dan perempuan disekat oleh tabir. Jadi aku tidak akan bisa melihatnya jika sudah duduk di sana. Gadis cantik itu selalu berhasil menarik perhatianku. Tawanya, senyumnya, tatapan mata, cara bicara, dan jalannya. Aku menyukainya. Seolah semua kualitas yang ada dimiliki semua olehnya. Mungkin, karena itu juga aku jatuh padanya. Meski tak sepenuhnya, hatiku telah memilihnya. Dia Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Gadis yang sejak pertama melihatnya membuatku langsung tertarik padanya. Dialah gadis yang seminggu lagi akan menjadi menantu di keluarga ndalem pesantren ini. Tidak kupungkiri. Alasan lain aku memilihnya adalah karena dia mirip seseorang. Seseorang yang saat ini berada jauh di sana, di seberang Pulau Jawa yang menjadi tempatku berpijak saat ini. Gadis cantik bermata sendu yang berada dua semester di bawahku saat kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir dulu. Putri tunggal seorang dosen kesayanganku, Syekh Utsman As-Sanwani, Sabrina. Perempuan yamg sampai saat ini masih melekat di hatiku, cinta pertamaku. Aku tahu sangat salah masih memikirkannya. Gadis itulah yang membuatku uring-uringan karena penolakannya. Dia menolak untuk kunikahi saat aku melamarnya. Padahal aku tahu sebelumnya, Sabrina juga mencintaiku. Syekh Utsman As-Sanwani sendiri yang bahkan berbicara langsung padaku mengenai perasaan Sabrina itu. Beliau juga terang-terangan mengatakan kalau aku sudah dianggap putranya sendiri dan menginginkanku menjadi menantunya, suami putri semata wayangnya. Namun, begitu aku melamarnya setelah aku diwisuda dan mendapat gelar sarjana, Sabrina malah tidak menerimanya. Aku yang saat itu sudah begitu mengharapkannya menjadi ratu di hidupku pun berakhir seperti mayat hidup. Sepulang dari Mesir aku tidak langsung kembali ke rumah. Aku pergi mondok ke pondok lamaku di Paculgowang mememui kiaiku, menceritakan semua masalah, kekecewaan, dan sakit hatiku pada beliau. Dan saat semuanya dirasa mulai terkendali, aku baru pulang menemui Abah dan Ibu, mereka tidak kubiarkan tahu mengenai patah hatiku. Aku beralasan kangen pondokku saat mereka bertanya alasanku tidak langsung pulang. Dan tidak lama setelah itulah, aku bertemu Zulfa. Gadis yang memiliki sihir di matanya itu yang kemudian mengusik pikiranku selain Sabrina. Dia benar-benar mencuri perhatianku sejak pertemuan tidak sengajaku dengannya. Saat itu aku baru saja selesai wudu di kamar mandi ndalem yang ada di dapur karena kamar mandi kamarku yang sudah kehabisan air sedangkan kerannya tidak bisa dinyalakan gara-gara saluran air ndalem yang hari itu rusak. Aku berakhir wudu di sana karena hanya kamar mandi itulah yang airnya tersedia. Pengairannya memang dari sumur dengan kerekan timba. Aku dan Zulfa. Kami berpapasan di sana. Aku langsung terpesona seketika saat melihat dirinya yang hari itu kebetulan memakai pakaian serba ungu, warna favoritku. Dan siapa sangka, hari itu juga aku dikenalkan dengannya—hal yang membuatku semakin penasaran kepadanya. “Mari, Gus, ke depan panggung. Wisudanya sebentar lagi ini!” Sebuah suara menarik atensiku. Aku menoleh dan melihat Ustaz Imam berdiri di depan pintu, kepalanya menyembul ke arahku. Aku segera mengiyakan dan menyuruhnya pergi dulu untuk melihat ke luar jendela lagi. Mencari sosok periku yang ternyata sudah membentuk barisan untuk diwisuda. Aku tersenyum melihatnya. Tidak menyangka seminggu lagi aku akan menikahinya. Menarik napas, aku memasukkan ponsel yang tadi kugunakan, mencuri potret Zulfa ke saku jas hitam yang kukenakan. Tidak seperti asatidz lain yang memakai kain batik dan sarung, Ibu menyuruhku berpenampilan formal dengan setelan jas hitam beserta celana kainnya selain kemeja putih yang kupakai di baliknya. Rencananya aku akan disuruh foto dengan Zulfa setelah wisudanya selesai nanti. Bukan foto pra-wedding. Abah, Ibu, dan kedua orang tua Zulfa juga akan ikut nantinya, jadi foto ini akan lebih seperti foto dua buah keluarga. Bagaimanapun juga aku dan Zulfa bukan mahram meskipun semua orang yang hadir di sini tahu kami sudah dikhitbah dan seminggu lagi akan menikah. Baru mau melangkah sembari menghela napas, ponsel yang baru bersarung di balik saku jasku berdering. Aku segera mengeluarkannya dan melihat nama yang tertera di layarnya. Dahiku mengernyit begitu tahu nama Syekh Utsman As-Sanwani yang memanggil. Tanpa menunggu lama, jariku langsung menggeser tombol hijaunya. “Assalamu'alaikum, Syaikhi,” salamku yang segera dijawabnya. Rasa cemas menyelimutiku seketika mendengar suara Syekh Utsman yang diselingi isakan di seberang sana. Ada apa? Hatiku bertanya-tanya. Lagi pula tidak biasanya Syekh Utsman menghubungiku malam-malam begini. Dan, beliau terisak?! Kenapa? “Fatih, anakku.” Suaranya lirih terdengar. “Sabrina, Nak. Sabrina ….” Aku diam mendengarkan. “Sabrina kritis,” lanjut Syekh Utsman membuatku terhenyak. “Putriku itu sekarang sedang terbaring tak berdaya di rumah sakit, Nak. Dan dia. Sabrina …. Dia dalam komanya mengigaukan namamu. Dia memanggil-manggilmu.” Deg! Jantungku seperti berhenti memompa. Udara berubah dingin dan kakiku lemas seketika. Sabrina. Apa yang sebenarnya menimpanya? *** Zulfa Zahra El-Faza Pukul delapan pagi. Setelah sarapan dan urusan dapur selesai, aku langsung kembali ke kamar. Membongkar pakaianku dari tas yang sebelumnya mau kubawa pulang ke Kediri lalu memindahkannya ke dalam koper besar yang tadinya sudah kuisi baju-baju milik Gus Fatih. Kotak kayu yang berisi surat darinya tidak jadi kubawa. Aku berubah pikiran dan memilih menyimpannya di bawah tumpukan bajuku di lemari. Tempat teraman menurutku karena Gus Fatih tidak mungkin menjamahnya. Memang dia suamiku, tapi memalukan sekali rasanya jika aku masih menyimpan surat-surat darinya, jadi kupikir lebih baik menyembunyikannya. Sayang jika membuangnya. Surat-surat itulah satu-satunya perkara manis dari suamiku yang menurutku ‘dipenuhi’ cinta. Setidaknya dalam kata-katanya. Drtt … Drtt …. Ponselku yang tergeletak di ranjang sampingku bergetar halus. Aku segera meraihnya dan mendapati Umi yang sedang menelepon. Tidak terdengar nada dering atau sejenisnya karena ponselku sengaja ku-silent. Jadi kalau ada panggilan masuk ponsel itu hanya bergetar halus saja, tanpa suara. Abah dan Umi sudah sering memarahiku karena ini, panggilan mereka sering tidak terjawab saat ponselku kutinggal di kamar. Tapi sampai sekarang belum kuhiraukan. Terakhir kali, ponsel ini tidak ku-silent adalah saat Gus Fatih pergi ke Mesir. Tujuannya agar aku bisa langsung merespon saat dia menghubungiku memberi kabar, tapi sampai tiga bulan kabar itu tidak juga datang. Ah, lupakan! Itu hanya masa lalu. Gus Fatih pasti sibuk kala itu. “Assalamu'alaikum, Mi,” sapaku pada Umi setelah memencet tombol jawab. “Wa'alaikumussalam, Fa. Sudah sampai mana?” tanyanya. Yang Umi maksud pasti aku dan Gus Fatih yang rencananya mau ke sana. “Masih siap-siap di rumah.” “Lho, kok masih di rumah. Katanya mau ke sini?” “Iya, Mi. Zulfa sama Mas Fatih rencananya berangkat habis Zuhur.” “Kenapa ndak dari pagi saja, Nduk?” “Ndak, Mi. Zulfa masih ada rapat setelah ini. Mas Fatih juga masih ada pekerjaan.” “Owalah, gitu? Ya sudah ndak pa-pa. Tapi jadi kan ke sininya? Abah dan Umi sudah kangen berat.” “Nggeh, Mi.” Aku mengangguk meski Umi tidak mungkin melihat anggukanku. “Ya sudah, hati-hati di jalannya nanti, Nduk. Assalamu’alaikum.” “Wa'alaikumussalam.” Aku meletakkan ponsel ke meja. Saat itulah aku sadar ada Gus Fatih yang berdiri tidak jauh dariku. Ia sedang menatapku. Saking fokusnya teleponan dengan Umi pasti membuatku tidak menyadari kedatangannya. Pintu kamar memang tidak kututup tadinya. Tidak sampai lama Gus Fatih memalingkan kepala. Kulihat ia mengambil beberapa berkas dari sebuah laci bufet bukunya setelah ia buka. Setelahnya Gus Fatih berjalan ke meja yang ada di sudut kamar mengambil ponsel miliknya yang tadinya ia isi dayanya, lalu tanpa berkata apa-apa padaku ia meninggalkanku. Aku langsung mengatur napasku setelah Gus Fatih menutup pintu. Sikapnya kembali dingin padaku. Namun tak mengapa. Sekali lagi aku harus bisa bertahan. Gus Fatih adalah suamiku. Kalau ia masih terus bersikap dingin padaku, maka aku yang istrinya harus bisa mencairkannya. Ya, aku akan berusaha melakukannya. Gus Fatih. Kita lihat saja, Gus. Di Kediri nanti akan kubuat kamu jatuh ke pelukanku. Kamu harus bisa menerimaku sebagai istrimu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN