Bab 5 - Sepucuk Surat Cinta

1971 Kata
Assalamu'alaikum, Kaukah gadis berkerudung ungu yang tak sengaja berpapasan denganku di dapur hari itu? Aku hanya ingin memastikan apakah surat ini benar-benar sampai padamu. Maafkan aku karena tidak bisa menahan diriku. Juga maafkan aku atas kelancanganku berkirim surat seperti ini padamu. Ketahuilah, sejak hari itu aku rasa aku sudah jatuh hati padamu. Zulfa, kalau boleh aku langsung mengucap namamu. Berhari-hari kamu memenuhi kepalaku. Aku sudah mencegah diriku memikirkanmu tapi hati dan pikiranku tidak mau bekerja sama. Paras cantikmu yang selalu membayangiku saat menutup mata, senyum cerahmu yang menyinari ruang tamu kala orang tua kita saling mengenalkan menghantui setiap malamku. Rasanya aku sudah hampir gila memikirkanmu. Dan kegilaan itulah yang mendesakku menulis surat ini untukmu. Berhari-hari rasanya aku baru bisa menuliskannya. Tanganku bergetar saat ini jika kamu mau mempercayainya. Zulfa. Zulfa Zahra El-Faza. Jika kamu mengizinkannya, aku ingin menyebut namamu dalam setiap doa. Menyematkannya dalam lubuk terdalam hati ini. Sekali lagi maafkan kelancanganku. Seperti kamu yang berhasil memasuki hatiku, izinkanlah aku memasuki hatimu. Anggap saja surat ini adalah aku yang sedang mengetuk pintu hatimu. Menginginkanmu menjadi kekasihku. Seseorang yang mengharap balasan iya darimu, Fatih Thoriqul Firdaus Jemari Zulfa bergetar membacanya. Setitik kristal dari matanya berhasil mengaburkan tinta hitam di atas kertas berwarna putih yang tertimpa butir bening itu. Kertas yang kini ada di tangannya itu adalah surat pertama yang didapatnya dari Fatih dulu. Awal dari segala emosi dan rasa yang berkecamuk hebat di hatinya saat ini. Sungguh, kalau bisa Zulfa tidak ingin menyesalinya, ia ingin mempercayai setiap huruf yang merangkai kata demi kata yang dituliskan Fatih dalam kertas itu, tetapi kenyataan lebih dulu menghempas keinginan itu. Ceklek .... Dengan gerakan cepat, Zulfa mengusap air matanya kasar dan melipat suratnya, menyembunyikan kertas lusuh itu di balik jilbab tosca yang dipakainya sembari memutar tubuhnya yang duduk di tepi ranjang untuk membelakangi pintu. “Zulfa.” Fatih berjalan mendekat. Tangannya kini memegang sisi kanan pundak istrinya yang sebenarnya rapuh tanpa sepengetahuannya. Zulfa mendongakkan kepala. Ia membalikkan badannya setelah menyimpan surat yang ia pegang ke dalam tas bersama surat-surat lainnya dalam kotak sebelum berdiri di depan Fatih. Senyuman ranum berhasil ia ciptakan di selipan bibirnya. Sebentar Fatih menatapnya, tidak lama karena laki-laki itu segera berpaling dan berjalan ke pintu dengan tubuh yang menghadap Zulfa hanya dari samping. Zulfa semakin menarik sudut bibirnya, kali ini bukan tersenyum tentunya. Sebuah cebikan atas rasa kecewa. Itu saja. “Bagaimana? Mas Fatih jadi kan mengentarku pulang ke Kediri? Aku sudah sangat kangen Abah-Umi,” kata Zulfa menentang tas berisi beberapa potong pakaian miliknya itu. Tidak banyak karena ia ingat masih memiliki banyak pakaian di rumahnya. Malah menciptakan masalah jika ia pergi dengan koper besar, apalagi dengan seluruh pakaian dan barang miliknya. “Mas,” tegur Zulfa. “Jadi, kan? Mas sudah bilang Ibu dan Abah, kan?” “Iya.” Fatih menganggukinya. Terjadi jeda. “Tapi sepertinya tidak hari ini, Fa,” kata Fatih memutar tubuh penuh membelakangi Zulfa. “Hah? Kenapa?” Zulfa mengendurkan jemarinya yang memegangi tas tangan. Bingung dengan penuturan laki-laki yang ada di depannya itu. Kedua alis tebalnya hampir menyatu berkat kerutan di dahi proporsionalnya. “Ibu yang akan mengatakannya. Aku sendiri belum tahu kenapa. Sekarang Ibu menunggu kita di kamarnya,” ucap Fatih melangkahkan kaki. Zulfa pun meletakkan tasnya lalu berjalan mengekori suaminya itu dengan mata yang menatap penuh punggung kokoh di depannya. Ada apa sebenarnya? Pikirannya melayang pada apa yang mau dikatakan ibu mertuanya. Cek! Mata Zulfa membola. Terkejut. Baru saja Fatih berbalik dan menggenggam tangannya. *** Perlahan Fatih memutar handel pintu jati berwarna tulang itu. Membuat nuansa terang dan hangat yang ada di dalamnya tersingkap. Zulfa yang mematung di balik punggungnya tercekat saat tangan besarnya meraih tangan mungil gadis itu lagi, membawanya dalam pegangan hangatnya “Ayo!” Fatih menggenggamnya hanya untuk menariknya. Zulfa mengerjapkan mata. Detik berikutnya gadis dengan gamis tosca yang senada dengan jilbabnya itu segera mengikuti langkah lebar laki-laki yang ada di depannya. Langkah itu terhenti saat Fatih juga menghentikan langkahnya. Di depan seorang wanita yang sudah setengah baya tampak duduk di tepi ranjang, menenggak air dengan beberapa butir obat. “Sini, Nduk! Duduk samping Ibu!” tutur wanita paruh baya itu setelah meletakkan gelas ke nakas, menepuk-nepuk sisi kasur yang ada di sampingnya sembari menatap Zulfa. Zulfa melirik ke Fatih yang mengangguk padanya, seolah menyetujui permintaan wanita paruh baya yang tak lain Bu Nyai Fatimah itu sebelum ikut mengangguk dan beringsut duduk. “Enggeh, Bu,” lirihnya. “Bener kata Masmu kamu minta diantar pulang ke Kediri hari ini?” Nyai Fatimah meraih sebelah tangan menantunya dan membawa tangan itu ke pangkuannya. Matanya menatap penuh paras cantik di depannya. Sedang Zulfa hanya bisa diam menelan ludahnya sendiri. Zulfa sempat menolehkan kepalanya ke arah Fatih sebelum mengangguk. “Enggeh, Bu. Kangen Abah-Umi,” tuturnya sembari menunduk. Jujur. Gadis dengan roman muka perpaduan oriental dan Timur Tengah itu tidak pernah berpikiran kalau akan memiliki keraguan di hatinya seperti saat ini. Menghadap ibu keduanya dan menjawab pertanyaan yang dilemparkan kepadanya perihal keinginannya untuk pulang. Bukannya ia sendiri sudah yakin akan semua keputusan dan langkahnya? Ia sudah berhasil meyakinkan dirinya sendiri sebelumnya. Namun, entah dari mana keraguan kini menggelayuti dirinya. Apakah sikap manis Fatih padanya barusan? Tidak juga. Hati Zulfa memang menghangat berkat perlakuan itu, tetapi bukankah terlalu sering juga ia ditampar kecewa? Terluka dan berakhir pada kenyataan yang sama? Terlalu jahatkah ia merasa diperlakukan seperti boneka? Itu pun, oleh laki-laki yang sah di mata hukum dan agama sebagai suaminya. Namun, sekali lagi, itulah yang mengobrak-abrik pedalaman hatinya saat ini. Menghela napas, Zulfa mengangkat kepalanya. “Ada apa sebenarnya Ibu memanggil Zulfa?” Tidak ada keraguan pada ucapan yang mengalun dari suara lembut milik Zulfa itu. Gadis itu sebenarnya memang selalu lembut jika bertutur kata, terlebih kepada orang yang lebih tua. “Sebenarnya Ibu dan Abah sudah memikirkan ini cukup lama.” Nyai Fatimah melihat putranya yang masih berdiri di posisinya tadi. Zulfa juga mengalihkan tatapannya pada Fatih sebentar kemudian fokus pada Nyai Fatimah lagi. Mereka saling bertatapan dan penasaran. “Memikirkan apa, Bu?” Zulfa mengerutkan dahi. Mata penasarannya menatap lurus. “Mengenai pengasuhan pondok, Nduk.” Deg! Tubuh Zulfa langsung menegang. Ia menoleh dan menatap nanar ke suaminya. “Ibu ingin kamu juga ikut mengambil andil.” Nyai Fatimah mempererat pegangannya. “Ibu dan Abah sudah tua. Suatu hari nanti juga bakal tiada.” Zulfa menggelengkan kepalanya. Demi mendengar ucapan ibu mertuanya netranya berkaca-kaca. “Kenapa Ibu tiba-tiba bicara begini?” Gadis itu melorot dari posisi duduknya di ranjang, bersimpuh di depan Nyai Fatimah. Kepalanya ia tenggelamkan dalam pangkuan ibu dari suaminya itu dengan tangan yang menggenggam erat. “Ibu dan Abah pasti dikasih umur panjang sama Gusti Allah!” racau Zulfa tanpa mengangkat kepala. “Nggeh, Bu. Kenapa njenengan bicara perihal kematian?” Fatih sudah ikut bersimpuh di samping Zulfa. Tangan kanannya merangkul tubuhnya. Zulfa mendongak. Kepalanya menoleh ke samping kiri, tempat di mana wajah cemas Fatih bergantian menatapnya dan Nyai Fatimah. Dengan gerakan cepat ia menyapu matanya yang kabur karena air mata yang sudah mau luruh lalu melihat ke Nyai Fatimah lagi dengan tatapan memelas. “He he he.” Nyai Fatimah tergelak. Matanya bergantian menatap putra dan menantunya. Ia tidak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum. Menghela napas, Nyai Fatimah kemudian menjawil pipi Zulfa dengan sayang. “Kamu ini. Baru dibilangin kalau Ibu sudah tua saja mewek begini. Bagaimana kalau meninggal nanti? Nangis gero-gero pasti.” “Ibuk ...,” pekik Zulfa meneteskan air mata. Lagi-lagi Nyai Fatimah tergelak dalam tawa. “Jangan bicara begitu!” Zulfa memasang wajah jengkel di antara sedihnya. Ia kemudian kembali menangkup wajahnya di pangkuan Nyai Fatimah. “Nggeh, Bu. Jangan bicara begitu. Njenengan kalih Abah pasti berumur panjang.” “Iyo, iyo, Le.” Nyai Fatimah menatap putranya. “Iki pisan. Wes nangise!” Nyai Fatimah beralih pada Zulfa, menantunya. Menyuruh gadis itu untuk berhenti menangis. Nada suaranya memerintah, meski begitu dengan halus Nyai Fatimah mengusap kepala gadis itu. “Janji nggeh mboten ngendikan ngoten maleh!” Zulfa mendongak, meminta ibu mertuanya untuk tidak berbicara seperti itu lagi. “Iyo, Nduk ....” Suara Nyai Fatimah berubah gemas. “Wes, jangan nangis!” Zulfa mengangguk. Ia mengusapkan jilbab toscanya ke wajah. Setelah melihat menantunya merapikan penampilan, Nyai Fatimah kembali meraih tangan gadis itu. Air mukanya kembali serius seperti awal. “Bagaimana? Kamu setuju, kan?!” Nyai Fatimah bersungguh-sungguh menatap Zulfa. Belum mendapat sahutan, Nyai Fatimah kembali berkata, “Karena itu Ibu belum mengganti posisi ketua pondok, Nduk. Ibu mau kamu tetap mengemban tugas itu,” tutur Nyai Fatimah, membuat Zulfa membulatkan matanya dengan mulut yang sedikit tebuka. “Harus nggeh, Bu?” Zulfa melihat sebentar ke samping. Fatih masih belum menarik rangkulan di bahunya. Ia teringat kembali pada tujuan awalnya meminta diantar pulang ke rumah orang tuanya di Kediri. Apakah ia harus melupakan rencana yang akan dijalankannya di sana? “Mau kan, Nduk?” interupsi Nyai Fatimah. Ragu-ragu Zulfa melihat lurus dan mengangguk. Ia belum sadar penuh sebenarnya saat anggukan diciptakan kepalanya. Tatapannya kosong menerawang. “Nanti kamu mulang juga di Madin seperti Masmu. Pulang dari Kediri langsung bantu Ibu nyimak hafalan mbak-mbak.” Zulfa mendengarkan tanpa fokusnya. Hatinya bertanya-tanya akan persetujuannya tadi. Bisakah ia? Bukan masalah ikut mengemban pengasuhan pondok. Zulfa memang selama ini digembleng begitu oleh orang tuanya. Abah dan uminya sudah menyiapkan masa depannya yang memang sudah digariskan, menjadi Bu Nyai suatu hari nanti, dengan memondokkannya di pesantren sejak kecil. Sudah perkara yang lumrah Neng dari pesantren besar dinikahkan dengan Gus pesantren besar juga untuk meneruskan kekuasaan dan pemerintahannya, begitu pula dengan Zulfa. Masalahnya hanya teletak pada kesiapan dan keteguhan hatinya. Bisakah dia bertahan menerima perlakuan suaminya yang tidak mengacuhkan, bahkan seperti tidak menganggap keberadaannya di tempat tidur? Bisakah dia bertahan diperlakukan seperti itu? Sekali lagi. Lagi. Lagi dan lagi. “Masalah pulang ke Kediri besok saja, ya, Nduk. Masmu nanti ikut Abah ke pengajian soalnya.” Zulfa mengerutkan keningnya. Dia sudah penuh menatap Nyai Fatimah. Kalau memang Fatih tidak bisa mengantarnya bukankah Nyai Fatimah bisa menyuruh Cak Shodiq—sepupu Zulfa yang ngabdi di ndalem pesantren—mengantarnya. Itu lebih memudahkannya juga. “Jangan pasang wajah bingung begitu, Fa. Ibu sudah menghubungi Nyai Azizah habis subuh tadi setelah Fatih bilang ke Ibu kalau kamu mau pulang ke Kediri. Ibu ngomong ke beliau kalau anak sama mantunya mau nginep seminggu di sana. Jadi besok tinggal berangkat.” Zulfa menoleh ke arah Fatih beberapa detik sebelum bereaksi. “Maksud Ibu?” Suaranya jelas menampakkan keterkejutan. Ia menegok ke Fatih untuk minta penjelasan, tapi laki-laki itu diam saja menatap arah lain, jadi gadis itu hanya mengharap jawabannya dari Nyai Fatimah. Nyai Fatimah tertawa, entah sudah ke berapa kalinya. “Sekalian kalian bulan madu, Fa. Ibu harap pulang-pulang bawa kabar baik soal cucu,” serunya tersenyum. Zulfa mengerjapkan mata. Kata yang keluar dari Nyai Fatimah terdengar indah di telinganya. Menyenangkan baginya, tetapi tentu saja sulit, bahkan mustahil untuk terjadi. *** Maafkan aku, Fa. Aku tidak pernah berniat menyakitimu. Kamu adalah perempuan yang terlalu baik untukku. Sangat malahan. Karena itu aku melakukan semua ini. Kamu dalah peri dan bidadari. Jangan pikir aku tidak tahu. Setiap malam kamu selalu menagis karenaku, tetapi aku terlalu tak berdaya menyentuhmu. Aku tak berani, meski hanya sekadar menghapus peluh di matamu. Kenyataannya akulah yang menyebabkan kabut di wajahmu yang purnama. Aku tahu, seharusnya aku jujur dari awal. Namun, aku takut tak mampu mempertahankan. Jadi aku melakukannya diam-diam. Ini semua tidak hanya mengenai kita, tetapi juga cinta dan janji yang tak bisa kulanggar. Jadi, sampai semua selesai biarkan aku bungkam. Aku tidak pernah ingin menyakitimu, begitu pula aku yang tidak mau berbohong padamu. Sebentar lagi, Fa, akan kukatakan yang sebenarnya. Tunggu saja, karena sebentar itu akan terjadi tidak lama lagi. Percayalah, aku menghormatimu sebagai perempuanku, istriku. Tapi aku harus memenuhi janjiku. Maafkan ketidak berdayaanku. Lebih dari kamu, akulah yang serasa menyiksa diri sendiri. Ini sudah konsekuensi dari janji. Sebentar lagi, Fa. Sebentar saja. Aku harap kamu sabar seperti sebelumnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN