Prefektur Miyagi — Toma City
21/08/2018
12:45
Sekali lagi, Nanase melihat dirinya berada dalam sebuah tempat gelap tanpa lampu atau penerangan apapun, tanpa apapun bahkan tidak ada siapapun di sana. Dalam kegelapan itu, kabut perlahan muncul seolah melengkapi kengerian yang dirasakannya sekarang.
Entah sudah berapa ratus kali dia memimpikan hal yang sama seperti ini, hingga dia hafal bahwa sebentar lagi akan ada seseorang berdiri di depannya lalu mengulurkan tangan. Biasanya, Nanase akan membiarkan uluran itu untuk diraih orang lain yang juga ada di sana. Orang yang sama-sama tidak dia kenal siapa, namun kali itu dia tidak bisa terus seperti ini. Dia ingin tahu siapa mereka!
Karenanya saat tangan yang jauh lebih besar dari tangannya itu mulai terulur, Nanase mencoba meraihnya dan dia bisa merasa kalau tangan yang baru saja dia raih itu terasa sangat hangat.
Meski wajah itu sangat buram dan gelap mendominasi semua warnanya, saat Nanase menongak dia bisa melihat seulas senyum terukir di wajah itu.
Tapi siapa?
Dengan satu tangan yang terus menggenggam tangan orang itu, sebelah tangan Nanase yang lain terangkat untuk menyentuh wajahnya, hanya saja saat ujung jari Nanase berhasil menyentuh sedikit kulit pipi orang tersebut rasa sakit itu kembali datang dan memaksa Nanase untuk melepaskannya.
Belum lama pegangan mereka terlepas, orang yang berada di belakang Nanase langsung menarik orang pertama dan memeluknya seperti yang dia lihat dalam mimpi-mimpinya selama ini.
Merasa tidak terima, Nanase kembali mendekat namun saat dia berusaha menarik ujung baju pria pertama, lagi-lagi seperti ada aliran listrik yang menyengatnya hingga rasa sakit tadi kembali membuat Nanase berteriak hingga bangun dari mimpi.
Napasnya tersengal dengan peluh memenuhi tiap inci wajah Nanase saat sepasang matanya terbuka sangat lebar untuk melihat langit-langit kamar di mana dia menghabiskan sisa malam setelah pulang dari rumah sakit.
Dia mungkin menyesal untuk tidak mengindahkan permintaan Nyonya Kanae untuk tetap berada di rumah sakit dan dapat perawatan gratis, karena sekarang dia merasa kalau kepalanya lebih sakit dari sebelum dia pulang ke apartemennya.
Nanase meraih ponsel yang dia taruh tepat di nakas samping tempat tidurnya, dan melihat waktu sudah menunjukan kalau matahari sekarang berada di atas ubun-ubunnya jika dia keluar.
Setelah menyingkirkan selimut yang menutup tubuhnya yang sedikit basah oleh keringat, Nanase berjalan ke arah dapur untuk mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari es dengan sebuah plester kompres demam yang dia pasang sebelum tidur, namun ketika dia tiba di dapur tidak apapun di sana hingga membuatnya mendesah sangat kuat.
Jangankan makanan untuk mengisi perutnya di jam makan siang seperti ini, bahkan sebotol air pun tidak ada di sana. Nanase kembali menutup rapat lemari es-nya dan melepas plester kompres demam yang bahkan gel- nya pun sudah kering entah sejak kapan dan Nanase merasa kalau badannya masih tidak enak.
Dengan perut kosong seperti ini, dia juga tidak bisa meminum obat yang diberikan Nyonya Kanae padanya. Maka dari itu, setelah mengganti pakaiannya yang sedikit basah oleh keringat dengan pakaian baru, Nanase berpikir kalau dia akan pergi mini market tak jauh dari sana untuk membeli beberapa makanan.
Kepalanya masih terasa sangat pusing saat dia berjalan ke luar apartemennya. Awalnya Nanase pikir kalau dia hanya kebanyakan minum dengan teman-teman Yuruizawa kemarin malam, biasanya dengan sebutir aspirin saja rasa sakit di kepalanya akan segera hilang, tapi ternyata tidak. Dia malah berakhir demam seperti ini.
Jalanan di depan apartemennya terlihat cukup padat merayap. Meski bukan ibu kota macam Tokyo, tapi jalanan di Kota Soma selalu cukup ramai dengan berbagai jenis kendaran bermotor, bahkan tak jarang beberapa kendaraan besar seperti truk pribadi atau truk kontainer perusahaan lewat, entah untuk urusan logistik atau hanya kontruksi perusahaan.
Butuh sekitar lima belas menit untuk Nanase berjalan dari apartemennya untuk tiba di mini market, padahal biasanya dia hanya menghabiskan sekitar lima sampai tujuh menit dalam keadaan sehat. Tapi sekarang, lihat dia — dia seperti pesakitan yang lemah yang bahkan berjalan pun sudah serupa dengan siput.
Dengan sebuah keranjang belanja yang dia ambil di depan meja kasir, Nanase mulai berjalan ke arah rak-rak makanan yang berjejer. Di sana ada cukup banyak jenis makanan cepat saji yang hanya butuh dihangatkan dalam oven beberapa menit lalu bisa disantap hangat-hangat, beberapa jenis nasi kepal dengan macam-macam isian dan belasan bungkus sosis dan bacon siap makan yang tergantung berjejer pada salah satu etalase benar-benar menggiurkan untuk disantap dengan nasi panas sekarang.
Setelah mengambil satu dari semua jenis makanan yang dia lihat, Nanase kembali berjalan ke rak lain di mana semua jenis minuman berkumpul. Tidak seperti saat mengambil makanan, di sana Nanase hanya mengambil dua botol besar air mineral lalu berjalan kembali ke kasir untuk membayar apa yang dia ambil.
“Total semuanya jadi 3.820¥.” ujar petugas kasir setelah menghitung keseluruhan belanjaan Nanase.
“Maaf, apa kau punya sarung tangan lateks untuk makanan?” tanya Nanase, dia ingat kalau stok sarung tangan lateks yang sering dia gunakan untuk makan sudah hampir habis.
Di apartemennya, jika dia sedang minum bir, Nanase pasti akan makan makanan pedas dan basah. Karena tidak suka tangannya berbau dan terasa panas setelah makan, akhirnya Nanase selalu memakai sarung tangan lateks untuk itu.
Usai membayar dan menerima kembalian, Nanase berharap bisa kembali ke apartemennya secepat mungkin dan tidur seharian setelah makan, mungkin itu akan menjadi pilihan terbaik untuknya dengan demam yang masih tersisa seperti sekarang.
Tapi, baru saja dia melangkah ke luar dari mini market sebuah dentuman sangat keras terdengar dari jarak yang lumayan dekat. Suara klakson dan alarm mobil silih bergantian terdengar, disusul asap pekat yang terlihat mengepul dari asal suara tadi. Bahkan setelahnya mobil-mobil di belakang sana berangsur memperlambat laju mereka untuk meminimalisir kemungkinan terburuk.
Seolah tidak mempedulikan keadaannya saat ini, Nanase berlari ke arah sebaliknya dari apartemen dan menuju ke lokasi kejadian tersebut.
.
.
.
"Ada apa?" tanya Tomoyoshi saat mendapati mobilnya melaju sangat lambat hingga akhirnya berhenti tak bergerak sama sekali.
"Maaf, pak. Sepertinya di depan ada kemacetan parah."
"Kecelakaan?"
"Kurasa, begitu ...."
Tomoyoshi membuka kaca jendela taksi yang dia pesan setelah tiba di bandara satu jam lalu. Kepalanya keluar dari celah itu untuk melihat bagaimana kemacetan di depan sana membuat mobil yang dia tumpangi tidak bergerak sama sekali, bahkan pengendara lain seperti sudah putus asa untuk menginjak pedal gas kendaraan mereka karena kemacetan yang penuh sesak ini.
Padahal, baru tadi pagi dia terbang ke Tokyo dan sekarang dia sudah ada di Kota Soma — Prefektur Miyagi untuk kedua kalinya.
Setelah mendengar semua penjelasan dari Profesor Asanami, Tomoyoshi semakin ingin menarik Nanase kembali padanya apapun yang terjadi nanti.
Awalnya dia sama sekali tidak pernah mengira kalau Profesor Asanami sudah tahu sejak awal kalau Nanase tinggal di kota ini, bekerja di salah satu rumah sakit besar di sini, juga tentang kondisi medis pria itu, tapi dia tidak pernah diberitahu sedikitpun tentang ini? Tentu saja, Tomoyoshi yakin karena Profesor Asanami memegang alasan kuat untuk tidak melakukannya, tapi dengan mengirimnya untuk mengisi seminar di Tohokudai kemarin, bukan tidak mungkin kalau Profesornya itu sedang merencanakan sesuatu untuk membuat Nanase kembali, bukan padanya, tapi pada profesornya itu, juga tentang thesis yang sedang Nanase buat.
Tomoyoshi mendengus mengingat bagaimana setiap kalimat yang keluar dari Asanami Tadaichi seperti penuh dengan ancaman. Thesis Nanase mengenai Toraks Kardiovaskuler- nya terlalu menarik untuk diabaikan. Bukan hanya karena Nanase punya beberapa metode luar biasa untuk dia tulis dalam thesisnya, tapi apapun yang Nanase lakukan di meja operasi yang tidak pernah bisa diprediksi oleh siapapun adalah apa yang selalu membuat Asanami Tadaichi terkesima.
Katakan kalau dia tahu Nanase memiliki pendengaran, penglihatan, dan sentuhan di luar yang manusia normal miliki, dengan semua keistimewaan itu tidak heran jika profesornya tersebut sangat ingin membawa Nanase kembali ke Tokyo.
"Kau lihat? itu tadi sangat mengerikan!" Lamunan Tomoyoshi terhenti saat dua orang wanita yang sedang berjalan sambil mengobrol di trotoar terdengar olehnya, "pria itu seperti sangat susah payah menarik pengendara mobil itu keluar dari dalam mobilnya."
“Kau benar, orang-orang yang mencoba membantu pun masih terlihat takut karena petugas medis belum tiba.”
“Iya, kemana sih? Padahal rumah sakit di sini kan ada banyak, setidaknya mereka harus mengirim satu Ambulance berisi tim medis untuk menolong pria itu sekarang, kalau tidak korban kecelakaan di sana bisa mati.”
"Kau benar! Tapi kau lihat darah yang keluar dari d**a dan pinggang pria itu? Aku tidak yakin orang tadi bisa menyelamatkannya sampai Ambulance datang?"
Rahang Tomoyoshi mengeras, saat mendengar kalau Ambulance atau tim medis apapun belum datang ke lokasi kecelakaan di depan sana. Dengan cepat dia meminta supir taksi tadi membawa barang-barangnya ke hotel setelah membayar lebih seluruh biaya kargo, sementara dia sendiri melompat ke luar dari dalam taksi menuju ke depan sana seperti kesetanan.
Dia tidak peduli dia sudah menabrak berapa orang di belakangnya, dia bahkan tidak meminta maaf sama sekali karena itu, kepalanya sekarang penuh dengan obrolan dua wanita tadi. Bahwa di depan sana, ada seseorang yang sekarat?!
Kemacetan terlihat sangat padat tak bergerak, kendaraan bahkan memenuhi tiap inci jalanan, tapi di depan sana ada sebuah mobil jenis mini Van yang menabrak bagian belakang sebuah truk barang. Isi truk itu sampai jatuh semua ke atas aspal, beberapa bahkan menimpa atap mobil jenis mini Van tersebut hingga rata dengan jok di dalamnya, kaca depan, kanan dan kirinya terlihat hancur dan tidak berbentuk sama sekali, asap pekat bahkan mengepul dari kap mobil mini Van yang sudah setengah hancur tersebut.
Beberapa petugas polisi yang kebetulan sedang berjaga di sekitar sana bergerak cepat mengamankan lokasi, sementara di tengah kekacauan itu Tomoyoshi melihat sebuah kerumunan lain yang juga dijaga oleh beberapa polisi yang mencoba mengusir mereka namun tidak digubris sama sekali.
Dengan cepat Tomoyoshi menuju ke kerumunan tersebut, "Permisi, saya dokter! Bisa tolong beri jalan?" Ujarnya dan langsung mendapat respon dari orang-orang yang seperti sedang melihat pertunjukan menarik dalam lingkaran yang mereka buat sendiri.
Keterkejutan Tomoyoshi tidak berhenti sampai di sana. Setelah dia masuk ke dalam kerumunan itu, sepasang mata Tomoyoshi membulat sempurna saat dia melihat Nanase Ichiharada sedang memeluk pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu dari belakang dengan posisi duduk.
Keadaan pria dalam pelukan Nanase sangat mengerikan. Setengah kemeja yang dipakai pria itu penuh dengan darah segar yang masih terus mengucur pada bagian pinggang sebelah kirinya, dari sana Tomoyoshi bisa melihat bagaimana Nanase menaruh sebuah buku tebal dan sebuah jaket berbahan parasut yang dia tekan sangat kuat di area itu untuk menahan pendarahan.
Sementara tangannya yang lain dia taruh tepat di bagian d**a pasien yang juga ditutupi oleh sebuah jaket lain yang entah dia dapat dari mana.
Tomoyoshi tidak tahu apa yang sedang Nanase lakukan apa dia di dengan menaruh tangannya di d**a kemudian ditutupi jaket seperti itu, tapi dari mata Nanase, Tomoyoshi tidak melihat keraguan sedikit pun.
"Maaf, anda tidak boleh lebih dekat dari ini!" Cegah salah satu petugas saat Tomoyoshi mencoba menghampiri Nanase yang tangannya sudah berlumuran darah.
Dengan cepat, Tomoyoshi mengeluarkan kartu linsensi kedokteran miliknya, baru setelah itu petugas tadi mengizinkannya masuk dan mendekat pada Nanase.
"Siapa kau?" Tanya Nanase dengan wajah merah padam, suaranya sedikit parau dan napas yang terdengar berat. Melihat ekspresi itu, Tomoyoshi merasa ada yang salah dengan pria di hadapannya sekarang, lagipula bagaimana 'Nanase' yang kemarin malam 'berkenalan' dengannya sudah lupa secepat itu? Namun bukan itu pertanyaan yang ingin dia ajukan saat ini.
"Aku dokter bedah dari rumah sakit Universitas Tokyo. Katakan kenapa dia?"
Mendengar Tomoyoshi memperkenalkan diri, Nanase merasa sedikit tertolong, dengan segera Nanase mulai menjelaskan kondisi pasiennya pada Tomoyoshi. "Otot pada abdomen bawah pria ini sepertinya robek cukup dalam terkena pecahan kaca, jantungnya juga tertusuk wiper kaca yang patah karena kargo barang jatuh dari truk dan menimpa langsung ke kursi pengemudi."
"Apa? Jantung?"
Tanpa pikir panjang, Tomoyoshi langsung menarik jaket yang sejak tadi menutupi sebagian d**a pasien, dan di sana Tomoyoshi menemukan tangan Nanase yang masuk melalui celah luka yang dia lebarkan dengan tangannya untuk menghentikan pendarahan.
“Kau? Apa yang kau lakukan?” tanyanya tak menghilangkan keterkejutan.
“Jangan khawatir, aku pakai sarung tangan yang masih steril. Setelah dia tiba di rumah sakit, dokter bedah akan segera menanganinya.”
Pertanyaan Tomoyoshi memang sudah dijawab akurat oleh Nanase, namun tidak dengan kerumunan orang di sana saat melihat pemandangan yang terbilang tidak biasa tersebut.
Melihat pemandangan itu, orang-orang yang berkerumun di sana ikut histeris, beberapa bahkan menjerit ketakutan, dan lainnya sibuk memotret dengan ponsel mereka seolah berpikir kalau apa yang mereka lihat adalah pemandangan yang sangat tidak biasa dan tidak akan mereka dapatkan di lain kesempatan! Saat "Seorang pria yang mengaku dokter memasukan tangannya sendiri ke dalam d**a seorang pasien yang sekarat.''
Nalar Tomoyoshi tidak bisa menerima itu, sedekat apapun dia dengan Nanase dulu, sehebat apapun Nanase menangani pasiennya dulu, tapi memasukan tangan ke dalam rongga d**a seseorang seperti itu untuk menghentikan pendarahan, tentu saja dia tidak bisa menerimanya. Bagaimana kalau sarung tangan yang dipakai Nanase itu tidak steril dan malah membawa bakteri yang mungkin akan semakin membahayakan kondisi pasien?
Dengan cepat Tomoyoshi meraih tangan Nanase, namun saat tangan Tomoyoshi semakin dekat, Nanase segera menendang Tomoyoshi dengan kakinya, membuat pria tinggi itu tersungkur dan terduduk di aspal.
"Apa-apaan kau? Lepaskan tanganmu?! Dia bisa mati!" Bentak Tomoyoshi, namun Nanase hanya membalas bentakan keras itu dengan tatapan dingin.
"Saat —aku tiba di sini, dia ... hhh ... sudah berhenti bernapas, otot jantungnya masih berdenyut meski pelan. Aku ... hhh ... sedang terus menstimulasi otot jantung —pria ini, agar tetap bekerja! Kalau aku melepaskannya, dia benar-benar akan mati." Jawab Nanase terengah.
Rahang Tomoyoshi mengeras mendengar penjelasan itu. Tidak pernah terpikirkan olehnya hal-hal seperti pemijatan jantung yang sedang dilakukan Nanase sekarang.
Di dalam sana, jantung pria itu mungkin saja terluka, dengan menggenggam langsung jantung pria itu, secara tidak langsung Nanase bukan hanya menutup lubang luka pria itu dan menghentikan pendarahannya, tapi dia juga terus menstimulasi otot jantung yang agar tetap bekerja dengan pijatan tersebut.
"Jangan-jangan, luka itu berada di bagian krisis trauma jantungnya?” tebak Tomoyoshi saat sadar kalau jantung mendapat luka di bagian kiris trauma jantung, maka hal tersebut bisa mengakibatkan jantung seseorang mengalami shock hebat hingga membuat jantungnya berhenti berdetak.
Dan tebakan Tomoyoshi mendapat anggukan halus dari Nanase.
Setelah tahu fakta itu Tomoyoshi kembali menutup luka pasien dengan jaket yang dia ambil, dan membiarkan Nanase untuk melanjutkan pekerjaannya.
Pria ini ... bukan hanya lukanya yang sangat parah, tapi dari dilihat dari warna bibirnya yang sudah berubah ungu kebiruan, orang ini sudah dalam level Sianosis yang parah.
[{ Sianosis; keadaan di mana seseorang sudah kehilangan banyak darah. }]
"Hhh ... kalau kau dokter, tol —ong ... tolong, cari luka yang lain di tubuh pria ini...hhh ... jika ada luka lain yang lebih lebar, bisa saja yang kulakukan sekarang sia-sia...hhh.”
Yang dikatakan Nanase ada benarnya. Setelah membiarkan Nanase tetap di posisi itu, Tomoyoshi mulai memerika beberapa bagian tubuh pasien tersebut. Dan setelah beberapa lama mencari, Tomoyoshi tidak menemukan luka lain selain memar dan lecet ringan di kaki dan tangannya.
“Tidak ada luka serius lainnya!” Ujar Tomoyoshi setelah selesai memeriksa, namun detik selanjutnya dia menggerutu, "Kenapa ambulance-nya lama sekali?" Gumam Tomoyoshi putus asa.
Ketika dia ti Tokyo, jika ada kecelakaan semacam ini maka petugas polisi akan segera menelepon rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan sesegera mungkin, tapi di kota ini semuanya terkesan lambat.
“Macet ... hhh ... dengan kemacetan seperti ini, tidak mungkin Ambulance datang cepat seperti di ibu kota....” Nanase berucap seolah dia bisa membaca pikiran pira di hadapannya ini.
Baru selesai Nanase berkata seperti itu, sayup telinga mereka mendengar suara sirine Ambulance yang semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya paramedis berlarian menghampiri mereka sambil membawa sebuah tandu bersamanya, sementara petugas polisi terus mengamankan area agar tidak ada orang lain yang mendekat.
Seperti dugaan Tomoyoshi, petugas paramedis itu juga terkejut melihat keadaan pasien yang akan mereka angkut ke dalam ambulance sangat tidak biasa, namun Tomoyoshi dengan sigap meminta paramedis itu untuk segera membawanya ke dalam ambulance agar bisa segera melakukan operasi.
Sambil dibantu Tomoyoshi, tiga orang paramedis itu menggendong Nanase juga tubuh pasien bersamaan, karena Nanase yang tidak mungkin melepaskan tangannya dari d**a pasien.
Melihat itu, tak sedikit orang sama sekali tidak berhenti untuk tidak mengabadikan tiap momen yang mereka lihat dalam isnsiden tersebut menggunakan kamera ponsel mereka. Sementara antara kerumunan orang-orang itu bisa saja salah satunya adalah wartawan yang mungkin akan melebih-lebihkan berita dikemudian hari.
Tapi, siapa yang akan peduli?
Di dalam Ambulance, Nanase duduk di atas brangkar khusus yang disediakan oleh Ambulance bersama pasien dengan posisi yang sama seperti saat Nanase memeluknya sambil duduk di atas aspal jalanan, bahkan tangan Nanase pun masih terus ada di dalam d**a orang itu dan terus memijat jantung pasiennya secara berkala untuk memastikan agar napas pria itu tetap ada dan nyawanya tetap di tempat meski sekarang kesadarannya sudah hilang karena Sianosis.
"Kenapa tidak lepaskan saja tangan anda, Ichiharada-sensei?" Tanya salah satu paramedis itu seolah sudah familiar dengan Nanase.
“Sepertinya, ambulance ini datang dari Toma General Hospital.” Pikir Tomoyoshi.
"Tidak! Detak jantungnya sangat lemah, biarkan pasien dibawa seperti itu." Tomoyohi menggantikan Nanase untuk menjawab.
"Maaf, tapi anda siapa?"
"Tomoyoshi Katou, dokter spesialis bedah d**a dan perut dari rumah sakit Universitas Tokyo." Jelasnya panjang lebar. Setelah mendengar itu, paramedis mengizinkan Tomoyoshi untuk ikut bersama Nanase sebelum Ambulance mulai bergerak menuju ke rumah sakit.
Di dalam Ambulance yang bergerak, paramedis dibantu Tomoyoshi langsung melakukan penangangan darurat. Atas arahan Tomoyoshi, perlahan Nanase melepaskan tangan kanannya yang sejak tadi menekan pinggang pasien untuk menghentikan pendarahan.
Dengan peralatan seadanya yang tersedia di dalam Ambulance tersebut, paramedis tadi mencoba yang terbaik agar darah tidak terus keluar dari area itu. Namun saat salah satu dari mereka sudah memasang jarum infus dan hendak memasangkannya pada salah satu cairan infus yang mereka bawa, tibat-tiba Tomoyoshi bicara setengah membentak.
"Pastikan kau menggunakan Saline Hipertonik langsung 500cc, kemudian tambahkan lagi 200cc secara berkala, setelah itu perhatikan juga Sianosis-nya!"
"Tapi, dalam keadaan Sianosis seperti itu harusnya dia butuh transfusi, bukan infus Saline Hipertonik?" Sanggah salah satu paramedis tersebut. Meskipun sebenarnya dia punya persediaan infus berisi Saline Hipertonik dalam salah satu persediaan cairan infusnya.
"Memang kau punya kantung darah di sini dan tahu golongan darahnya apa?" petugas itu menggeleng lemah saat Tomoyoshi berkata sangat tegas untuk alasan tidak realistis tersebut.
Tentu saja, meskipun identitas pasien ini menunjukan dia memiliki golongan darah apa, belum tentu sebuah Ambulance bisa punya stok darah seperti itu. Karena bagaimanapun kantung darah harus berada di tempat khusus dengan suhu ruang yang tepat untuk penyimpanan yang baik agar kualitas darah tetap terjaga dan tentunya bukan di dalam Ambulance seperti ini.
"Lakukan saja!" Ujar Nanase dengan napas yang sudah tidak teratur.
Berbeda dengan saat Tomoyoshi memberi arahan, saat Nanase yang bicara semua petugas itu langsung tercengang hingga akhirnya langsung melakukan apa yang dia perintahkan Tomoyoshi sebelumnya.
Saline Hipertonik sendiri adalah larutan steril yang kuat dari air asin yang dapat dihirup sebagai obat nebulasi untuk orang dengan cystic fibrosis ( CF ) yang membawa Mucoaktif¹. Sementara Mucoaktif¹ atau Mucolitik adalah pembawa senyawa Mukokinetik yang mengubah dan membawa ion senyawa Mukoregulasi.
Sementara cara kerja Mucolitik sendiri adalah mengganggu struktur gel lendir, mengurangi viskositas dan elastisitasnya, jadi kenapa Saline dibutuhkan? Nyatanya, kandungan garam yang ada dalam hipertonik dapat mengurangi lendir dan membentuk benang CF terkait. Dan garam hipertonik mudahkan DNA dari mukoprotein, yang memungkinkan enzim protwolitik alami untuk mencerna mukoprotein, memperbaiki dan menstabilkan kadar oksigen dalam darah dan membantu menyeimbangkan sel darah merah dalam tubuh hingga perubahan signifikan akan terlihat pada pasien dengan Sianosis.
"Tekanan darah pasien sudah mendekati normal! Saline hipetonik-nya berhasil!" Pekik seorang petugas yang sejak tadi memperhatikan layar Vital Sign juga ECG atau Electrocardiogram.
Hanya dalam hitungan menit, berkat sirine Ambulance yang membuka jalan, akhirnya mereka bisa tiba di rumah sakit lebih cepat.
Saat tiba di UGD, beberapa orang perawat segera menghampiri mereka untuk membawa pasien untuk mendapat perawatan lebih baik, namun saat melihat keadaan pasien yang terus dipeluk oleh Nanase dengan menyedihkan, mereka menjerit histeris, mendengar jeritan para perawat, dokter yang sedang piket hari itu langsung berlari menghampiri, termasuk Yuruizawa yang kebetulan lewat di sekitar UGD.
"A —apa-apaan ini?" Tanya Yuruizawa tidak percaya pada situasi aneh di depannya, saat paramedis bersama beberapa perawat pria berusaha mengangkat seorang pasien bersama Nanase keluar dari Ambulan ke atas sebuah Brankar.
Sama persis seperti yang dilakukan Tomoyoshi sebelumnya, dokter piket selain Yuruizawa hari itu juga memasang wajah keras karena syok. Tapi segera dipatahkan oleh teriakan Nanase -- "Berhenti diam! Siapkan ruang operasi darurat, sekarang!" — Perawat-perawat yang saat itu piket di UGD hari itu langsung berlarian menyiapkan ruang operasi. Tapi tidak dengan Yuruizawa, dokter muda itu menatap Nanase.
"Nanase?! Apa yang kau lakukan?" Tanyanya khawatir. Apalagi dengan wajah Nanase yang sudah sangat pucat dan peluh yang juga terus mengucur dari tubuhnya, bahkan untuk menahan dirinya sendiri dan satu orang pasien saja Nanase terlihat dibantu oleh Tomoyoshi Katou yang dia ingat kalau orang itu adalah orang yang sudah menggantikan Profesor Asanami Tadaichi untuk menggantikannya mengisi seminar tentang Kardiologi dasar di Tohokudai dua hari lalu.
Namun perhatiannya yang terus tertuju pada Tomoyoshi tiba-tiba teralih saat Nanase memanggilnya. "Yoro? Cepat ... hhh ... operasi dia ...."
"Kenapa dia?" Tanyanya khawatir dengan apa yang dilakukan Nanase. Tapi karena dua orang itu duduk di atas Brankar, sementara Tomoyoshi terus menopang punggung Nanase yang masih terus memeluk dan mengentikan pndaharahan di pinggang pasien itu, Yuruizawa tidak bisa berbuat banyak.
[{ Brankar ; Ranjang darurat untuk pasien, yang biasa ada di UGD }]
"Ada robekan, mungkin sekitar 7mm di jantungnya ... hhh ... perut —nya ... hhh ... juga tertusuk, otot di abdomen kirinya — robek, sepertinya itu— melukai usus besarnya juga. Operasi dia sekarang!"
Keterkejutan Tomoyoshi masih belum habis, bagaimana Nanase bisa tahu tentang luka dalam seseorang hingga sedetail itu? Kalau hanya mengira-ngira mungkin tidak akan sampai menyimpulkan hingga angka terkecilnya begitu, bukan? Namun pikiran itu segera ditepis saat seorang perawat berlari ke arahnya untuk memberitahu bahwa ruang operasi darurat sudah selesai disiapkan.
"Baiklah, tapi lepaskan tanganmu, akan kubawa dia ke meja operasi!"
"Tidak!" Jawab Nanase tegas masih pada posisinya.
Kesal dengan jawaban tak berdasar itu, Yuruizawa menarik rambut Nanase, membuat Tomoyoshi tersentak, melihat tindakan kasar Yuruizawa, Tomoyoshi berusaha memisahkan tangan Yuruizawa dari rambut Nanase saat tiba-tiba tangan Yuruizawa yang lain menahannya.
"Lepaskan pasien ini atau aku juga akan memotong kepalamu!" Ancamnya.
"Huh? Kau menyebalkan...."
Nanase menjawab ucapan kasar itu dengan sedikit malas, satu desahan bahkan lolos dari bibirnya yang pucat. Setelah Yuruizawa melepaskan tangannya dari kepala Nanase, perlahan, Nanase juga mulai menarik tangannya ke luar dari daging d**a pasien tersebut, membuat sedikit darah yang ikut meleleh di sana. Tangan yang terlapisi sarung tangan dari bahan lateks itu terlihat sangat merah, darah yang tersisa menetes dari ujung ke ujung.
Setelah Nanase melepaskan semua tangannya dari tubuh pasien, Yuruizawa langsung meminta perawat membawa pasien tersebut ke kamar operasi dengan Brankar yang lain tanpa mengatakan kalimat apapun lagi, sementara Nanase yang masih duduk di atas Brankar sebelumnya hanya terkekeh dengan napas yang terdengar pendek, bahkan beberapa kali batuk lolos dari sana.
Sejak melihat wajah itu, Tomoyoshi tahu kalau memang ada yang tidak beres dengan Nanase. Telapak tangannya yang menempel di punggung Nanase pun terasa panas.
Saat Nanase mencoba turun dari Brankar dan berusaha berjalan untuk membuang sarung tangan bekas tadi ke tempat sampah, langkahnya terlihat terhuyung dan nyaris jatuh kalau Tomoyoshi tidak segera menangkapnya lagi.
"Badanmu ... kau demam?"
"Hehe ... sepertinya aku sudah membuatmu kerepotan ya?" Itu kalimat terakhir Nanase sebelum dia benar-benar terjatuh dan tak sadarkan diri.
Berkat bantuan perawat yang masih berjaga di UGD, Nanase akhirnya mendapat perawatan dengan baik. Setelah diinfus, Nanase kemudian dibawa ke ruang perawatan oleh permintaan salah satu dokter yang bertanggung jawab di UGD hari itu.
Karena tindakan tidak biasa yang dilakukan Nanase, berita tersebut sudah didengar oleh hampir semua perawat dan dokter yang dapat giliran piket hari itu dan sesaat setelah Nanase selesai ditangani seorang dokter lain datang dengan wajah yang terlihat cukup panik.
Itu Kanae Itou.
Dia hanya memberi sebuah anggukan kepala tanpa suara saat melihat Tomoyoshi terus berdiri tepat di sebelah Nanase yang sudah tertidur setelah diberi infus juga beberapa jenis obat yang disuntikan langsung pada kantung infusnya.
Setelah mendesah saat melihat wajah pucat Nanase yang penuh oleh peluh, Kanae kembali menyentil dahi Nanase.
Melihat Nanase diperlakukan tidak selayaknya 'pasien', Tomoyoshi nyaris memprotes Kanae yang baru saja datang kalau saja setelahnya Kanae tidak berkata, "Bocah ini, harusnya kurantai dia semalam." mungkin Tomoyoshi akan berpikir kalau demam Nanase belum sedikitpun ditangani, tapi setelah mendengar Kanae mengatakan hal seperti itu, dia yakin kalau Nanase yang memaksakan dirinya hingga di batas seperti tadi.
"Kau ... kenal Ichiharada?" Tanya Kanae penasaran, tapi tak ada sedikit pun gerakan Tomoyoshi yang seolah berniat menjawab pertanyaannya.
"Baiklah, kalau nanti dia bangun tolong pastikan dia untuk meminum obatnya, tapi kalau kau punya urusan lain kau bisa meni —"
"Aku akan tetap di sini."
"Oh, ok, tapi jangan paksakan dirimu untuk terus menjaganya. Si bodoh ini kalau sudah tidur, bahkan saat bom atom dijatuhkan pun dia akan tetap tidur!" Ejeknya untuk kebiasaan Nanase.
Tak ada jawaban. Tomoyoshi hanya diam seolah ucapan Kanae tidak sampai sama sekali padanya, bahkan sepasang mata pria itu tetap tertuju pada Nanase yang tertidur dengan napas berat dan wajah pucat yang kini perlahan berubah merah dengan keringat dingin yang terus mengucur dari tubuhnya.
'dia pasti kesakitan ....' pikir Tomoyoshi.
Kanae Itou hanya mendesah melihat satu orang keras kepala yang sekarang sedang tidur di atas ranjang pasien dan satu lainnya pria aneh yang seolah terobsesi pada si bodoh itu. Merasa cukup dengan acara menjenguknya, Kanae memilih pergi, sekali lagi dia menutup rapat pintu kamar itu. Setelah memastikan untuk tidak ada orang yang akan mengganggu Nanase, Kanae kembali melanjutkan pekerjaan yang dia tinggalkan.
"Aku akan membalikan takdir dengan tanganku!"
Itu yang Nanase katakan pada Tomoyoshi jauh sebelum semua ini terjadi. Kalimat yang dulu sering diucapkan Nanase setiap kali pria itu melakukan operasi yang di luar prosedur rumah sakit. Meski ditentang oleh beberapa pihak, Nanase tetap saja berhasil melalukannya dan mengembalikan kemungkinan kecil pasien dan membawa kehidupan pada mereka.
Seperti tadi, Tomoyoshi tahu kalau sikap nekat Nanase untuk menyelamatkan nyawa manusia tidak bisa dianggap biasa. S.O.P manapun di rumah sakit manapun, oleh dokter apapun, tidak pernah ada yang berani melakukan hal seperti itu. Memasukan tangan sendiri ke dalam dinding daging untuk memegang jantung pasien dan menghentikan pendarahan secara langsung seperti itu? Rasanya tidak akan pernah ada dokter dengan lisensi manapun yang berani melakukannya kecuali Nanase.
"Selama tiga tahun terakhir, sebenarnya kau sudah ada di level apa ... Nana?”
_