Dalam keadaan yang rapuh, Zahra pun akhirnya berkata, suara lemahnya penuh dengan keputusasaan, "Lalu, Ara sekarang harus bagaimana?"
Budi pun menjawab dengan suara yang lembut namun tegas, "Terserah. Yang penting, jangan tinggal di rumah ini lagi. Kemasi bajumu." Setelah itu, Budi masuk kembali ke dalam kamarnya, meninggalkan Zahra yang kini merasa terisolasi dan terhempas oleh situasi yang tak terduga ini.
Ketika Budi masuk ke dalam kamar, Ranti, ibu Zahra, mendekati Zahra. Ranti yang sebelumnya diam akhirnya berbicara dengan suara yang penuh dengan kehangatan, "Ara, jangan terlalu khawatirkan kami. Kami bisa menghadapinya. Yang penting, kamu harus menjalani hidupmu dengan kebahagiaanmu sendiri."
Dengan air mata masih mengalir, Zahra merasa campur aduk. Rasa bersalah, penyesalan, dan ketidakpastian semakin memenuhi pikirannya.
Dia tahu bahwa keputusannya telah merubah banyak hal dan melukai banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam keheningan ruangan itu, ia merasa dirinya seperti orang yang terasing dan tak mengerti apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya.
Dalam keheningan yang mendalam, Ranti, ibu Zahra, menghampiri Zahra yang masih duduk di sofa dengan tatapan yang penuh perhatian. Dengan suara lembut, Ranti berkata, "Ara, mungkin sekarang waktunya kamu mencari tempat tinggal yang baru. Kamu bisa mencoba untuk tinggal mengontrak, Nak."
Zahra menatap ibunya dengan mata yang masih penuh air mata, dan setelah sesaat, ia mengangguk perlahan. Rasa bersalah dan penyesalan telah menghantam dirinya dengan keras, dan kini ia merasa pasrah pada situasi yang telah terjadi.
Keputusannya telah membawa dampak besar pada orang-orang yang ia cintai, termasuk kedua orang tuanya.
Dengan perasaan campur aduk dan hati yang berat, Zahra menerima saran ibunya dengan pasrah. Dia tahu bahwa ini adalah salah satu cara untuk memulai kehidupan yang baru, di luar bayang-bayang pernikahan yang mendadak dan kontroversial tersebut. Namun, dalam hati Zahra, rasa bersalah dan kebingungan masih terus menghantuinya.
Dia merasa seperti orang yang telah merusak banyak hal, dan saat ini dia harus menemukan jalan untuk memperbaiki semuanya.
Dengan hati yang berat, Zahra keluar dari rumahnya dengan koper kecil yang ditarik di belakangnya. Di tangannya, dia memegang bekal uang yang diberikan oleh ibunya. Tampaknya perasaan cemas dan kebingungannya masih melekat padanya, meskipun ia mencoba untuk menghadapinya dengan kepala tegak.
Dengan langkah yang ragu-ragu, Zahra melangkah keluar dari pintu rumahnya. Udara malam yang sejuk menggigit kulitnya, seolah mencerminkan ketidakpastian yang melingkupi dirinya. Dia menggenggam erat uang di tangannya, seperti simbol harapan yang sedikit tersisa.
Zahra memutuskan untuk menaiki angkutan kota malam itu juga. Di dalam angkot ia hanya duduk sendiri, ia duduk dengan wajah lelah dan terpikirkan. 'Ayah dan ibu marah, apalagi Sandra dan kedua orang tuanya,' batin Zahra dengan kepiluan dalam hati. Rasa bersalah dan beban perasaan yang dirasakannya tidak hilang begitu saja.
Dalam perjalanan di dalam angkot, Zahra memandang keluar jendela sambil berpikir, 'Aku harus menemui Sandra dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi padanya.' Hati Zahra merasa bahwa dia harus mencari jawaban dan kejelasan mengenai semua yang telah terjadi.
Langkah ini adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya dan juga mencari cara untuk menyembuhkan hubungan dengan sahabatnya yang kini terluka akibat pernikahan mendadak ini.
Zahra masih dalam pikiran dan kecemasannya ketika angkot yang dinaikinya tiba-tiba masuk ke dalam gerbang rumah yang mewah. Tanpa disadarinya, angkot terus bergerak hingga akhirnya berhenti. Sang sopir mengalihkan pandangannya dari jalan dan berkata, "Nona, kita sudah sampai."
Zahra segera melihat keluar jendela angkot dan merasa bingung karena ia tak mengenali tempat ini. Dengan sedikit kebingungan, ia menjelaskan kepada sopir, "Tujuan saya bukan tempat ini, Pak."
Namun, tak lama setelah itu, beberapa orang mulai mendekati angkot. Rasa penasaran membuat Zahra memperhatikan mereka dan terkejut saat melihat bahwa salah satu dari mereka adalah Liliana, calon ibu mertua sahabatnya. Hatinya berdegup kencang saat melihat Liliana di antara orang-orang yang mendekati angkot.
Liliana melihat ke dalam angkot dan tersenyum, "Ara, turunkan dirimu. Ini adalah tujuanmu sekarang. Ini rumahmu." Perkataan itu membuat Zahra hampir tak percaya. Ia merasa seperti berada dalam mimpi, saat Liliana yang kini sah menjadi ibu mertuanya mengatakan bahwa rumah ini adalah rumahnya.
Pandangan Zahra berganti dari bingung menjadi penuh tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia membawanya ke rumah mewah ini? Dalam kebingungan dan ketidakpastian, Zahra akhirnya mengumpulkan keberanian untuk keluar dari angkot, menyadari bahwa ini adalah momen yang menentukan dalam hidupnya.
Zahra diajak masuk ke dalam rumah mewah itu, tempat yang sangat asing baginya. Ia melangkah perlahan, merasa seolah berada di dunia yang baru dan tak dikenal. Dibalut dengan kerudung, Zahra yang cantik tetap memancarkan anggun saat berjalan. Setiap langkahnya penuh perasaan campur aduk dari penasaran, kecemasan, dan ketidakpastian.
Baru saja Zahra dan Liliana memasuki ruangan, pandangan Zahra melihat Attar yang berjalan tergesa-gesa. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba saat melihat Zahra. Attar memandang ke arah Liliana, seakan mencari penjelasan. Liliana yang berdiri di samping Zahra pun memberikan penjelasan, "Mulai hari ini, Ara akan tinggal di sini. Dia sudah menjadi istrimu."
Tatapan Attar hanya sekejap melirik Zahra sebentar, lalu ia memutuskan untuk pergi begitu saja. Sikapnya yang seperti itu membuat Zahra merasa terluka dan merasa seolah ia hanyalah beban bagi Attar. Ia menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk mengatasi rasa sakit di hatinya.
Sementara itu, Liliana yang tak ingin situasi semakin buruk, segera mengejar Attar. Ia berusaha menjelaskan lebih lanjut atau setidaknya memahami apa yang tengah terjadi di benak Attar. Dalam rumah yang kini terasa begitu besar dan kosong bagi Zahra, ia merasa sendirian dengan perasaan yang tak pasti, berusaha mencerna semua yang terjadi di hadapannya.
Di teras rumah yang megah, Liliana berbicara dengan penuh kekhawatiran, "Kamu mau ke mana, Attar?" Attar menjawab dengan suara tergesa-gesa, "Aku mendapat kabar bahwa Sandra mengalami kecelakaan. Aku akan ke rumah sakit sekarang."
Zahra yang mendengar kabar tersebut langsung merasa terpanggil. Ia keluar dari dalam rumah dengan langkah cepat, merasa bahwa ia harus mendampingi Attar dalam momen sulit ini. Zahra pun tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Aku ikut."
Liliana yang berdiri di teras langsung ikut campur, "Tidak. Kalian tidak boleh pergi." Namun, keputusan ini tidak membuat Zahra menyerah begitu saja. Dengan nada memohon, ia berkata pada Liliana, "Tolong, bu. Aku ingin mendukung Attar dalam momen seperti ini."
Setelah beberapa saat perdebatan, Liliana akhirnya mengalah dan memberi izin kepada keduanya, "Baiklah. Kalian boleh pergi, tapi Attar, kamu boleh pergi asal dengan Ara." Attar mengangguk, meskipun terlihat sangat terpaksa.
Tanpa banyak kata, Attar dan Zahra segera berangkat menuju rumah sakit. Meskipun terpaksa bersama, keduanya merasakan beban yang berat dan tak terucapkan dalam hati masing-masing. Perasaan cemas dan khawatir untuk Sandra mengguncang hati mereka, sementara masa depan yang tak pasti terus menghantui.