Sikap Kasar Attar

1100 Kata
Sandra menggenggam ponsel perawat dalam genggaman gemetar, merasa gugup dan cemas. Dia menelpon ibunya dengan harapan bisa menjelaskan situasi yang membingungkannya. Setelah beberapa nada, suara seorang perempuan terdengar di seberang sambungan, "Hallo, ini dengan siapa ya?" Sandra dengan lembut menjawab, "Ini aku, Ibu. Sandra." Suara ibunya langsung berubah, terdengar heboh dan khawatir. "Kamu di mana sekarang?" tanya ibunya dengan cepat. Sandra mencoba untuk tetap tenang, "Sepertinya aku di rumah sakit." Jawabnya dengan nada yang lemah. Suara ibunya langsung terdengar kaget, "Rumah sakit?!" tanggapannya bergetar. Sandra mencoba menjelaskan dengan tenang, "Iya, Ibu. Aku memakai ponsel perawat di sini." Meskipun berusaha untuk tetap santai, kecemasan Sandra masih terlihat jelas dalam suaranya. Tanpa banyak kata, ibu Sandra meminta untuk berbicara dengan perawat. Sandra memberikan ponsel itu pada perawat dengan tangan yang masih gemetar, "Ibu ingin bicara dengan Anda." Perawat menerima ponsel itu dan menganggukkan kepala, "Tentu, Bu." "Saya akan berbicara dengan Anda sebentar, ya?" tanya perawat pada Sandra. Setelah mendapatkan persetujuan dari Sandra, perawat mulai berbicara di ponsel, "Hallo, ada yang bisa saya bantu, Bu?" Obrolan antara ibu Sandra dan perawat mulai mengalir. Perawat menjelaskan bahwa Sandra berada di rumah sakit Healthy Hospital karena mengalami kecelakaan. Mendengar penjelasan itu, ibu Sandra tak kuasa menahan kepanikannya, "Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk putriku! Aku akan segera ke sana!" Suara ibu Sandra penuh dengan kekhawatiran dan cemas. Sesekali, Sandra mendengar isak tangis di ujung telepon, mencerminkan perasaan ibunya yang sedang berada dalam situasi yang mendebarkan. Sementara itu di tempat resepsi pernikahan Attar dan Zahra. Setelah acara resepsi pernikahan selesai, Zahra sedang berada di sebuah ruangan bersama Attar dan Liliana, di sana Zahra mengajukan permohonan kepada Liliana, "Tante, saya mau ke rumah dulu untuk membawa beberapa pakaian dan untuk menemui ayah dan ibu saya." Liliana memberikan izin dengan senyuman, memahami pentingnya momen ini bagi Zahra. "Tentu boleh Zahra, tapi nanti langsung pulang ke rumah tante ya. Ingat sekarang kamu ita anak tante juga jadi panggil tante, ibu ya?" Pinta Liliana, wanita yang tak lagi muda itu memberikan senyuman pada Zahra. Zahra merasa sedikit tenang. Namun lagi-lagi Zahra merasa jadi orang jahat seharusnya ibu Liliana itu menjadi mertua Sandra, kini malah jadi mertuanya. Liliana pun berusaha mengatur agar Attar mengantar Zahra, namun Attar menolak dengan keras. "Tidak mau. Biarkan saja dia pulang ke rumahnya. Aku tak mau punya istri seperti dia," ucap Attar tanpa menunjukkan sedikit pun keinginan untuk membantu. Sambil pergi meninggalkan mereka, Liliana mencoba untuk memanggil, "Attar, tunggu!" Namun, Attar semakin menjauh tanpa mempedulikan panggilan Liliana. Liliana yang bingung dan terkejut, menggelengkan kepalanya dan bergegas mengejar Attar dalam upaya untuk membujuknya. Sementara itu, di ruangan tersebut, Zahra yang ditinggalkan merasa sesak di dadanya. Dalam diam, bulir-bulir air mata mulai mengalir dari matanya, membasahi pipi yang masih hangat akibat senyumnya sepanjang hari. Zahra merasakan perasaan hancur dan kecewa, sambil berbisik lirih, "Siapa juga yang mau menikah denganmu. Kalau karena bukan bapak, aku tak mungkin mengkhianati sahabatku sendiri." Suaranya bergetar di sela-sela tangisannya yang tak bisa terbendung lagi. Dia merenung dalam keheningan ruangan, merasakan patah hati yang mendalam karena sikap Attar yang sangat keras dan tindakannya yang tak terduga. Zahra dengan lembut mengusap air matanya yang masih basah dengan tisu yang tersedia di atas meja. Dia berusaha menguatkan diri dan mengatasi kehancurannya. "Ini sudah menjelang senja dan aku harus segera pulang," pikirnya, berusaha untuk mempertahankan ketenangan di tengah rasa bingung dan kecewanya. Dia menyadari bahwa ia harus pulang sendiri, sebab Attar sudah menolak untuk mengantarnya. Dalam keheningan ruangan, Zahra mengambil langkah pertama keluar dari ruangan tersebut, mencoba melupakan sejenak betapa beratnya perasaan yang tengah ia hadapi. Namun, ketika ia melangkah keluar, pemandangan pakaian yang dikenakannya sebelumnya, pakaian bridesmaid yang dirancang khusus oleh desainer untuk Zahra atas permintaan Sandra, mengantarkannya pada gelombang baru perasaan. Terdapat rasa menyesal yang dalam, dan memori akan hari itu menyebabkan jantungnya semakin terasa berat. Zahra merasa seperti orang yang sangat jahat, telah mengambil posisi yang semestinya menjadi hak Sandra sebagai pengantin Attar. Dengan penuh penyesalan, Zahra memilih untuk memakai kembali pakaian itu. Dia merasa tidak pantas mengenakan gaun pengantin yang seharusnya akan menjadi milik Sandra. Setiap jahitan dan desain di gaun itu mengingatkannya pada peran yang ia pilih, dan peran yang ia ambil dari sahabatnya. Saat dia meninggalkan ruangan dengan pakaian yang sama, langkahnya terasa lebih berat. Di hatinya, Zahra membawa rasa bersalah yang tak tertandingi, merenungi tindakannya yang telah mengubah sejumlah kehidupan. Dalam senyap, dia meninggalkan ballroom dengan beban yang tak mudah dihilangkan. Taksi melambat dan akhirnya berhenti di depan rumah Zahra. Zahra membayar sopir taksi dan turun dengan hati yang berat. Ia mengucapkan salam sebelum akhirnya ibunya, Ranti, membuka pintu untuknya. Ranti terlihat sedih, dan Zahra bisa merasakan atmosfer yang berbeda dari biasanya saat ia memasuki rumah. Ranti langsung masuk ke dalam rumah dan Zahra mengikutinya dari belakang dengan perasaan cemas. Ranti berkata, "Duduklah di sofa." Zahra mengangguk dan menuruti permintaan ibunya. Setelah itu, Ranti pergi sejenak. Zahra merasa bingung dengan tindakan aneh ibunya ini, terutama karena wajah ibunya terlihat sedingin itu. Rasa khawatir pun semakin merayap saat Ranti membawa teko dan tiga gelas di atas sebuah nampan. Ibunya berlagak seolah melayani tamu, menyiapkan teh untuk Zahra. Namun, sikap aneh ibunya ini membuat Zahra tidak nyaman. Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan bertanya, "Bu, ada apa?" dengan ekspresi yang mencerminkan kebingungan. Tidak lama kemudian, ayah Zahra, Budi, keluar dari kamar dengan kursi roda. Ia berkata dengan senyuman, "Kita sedang merasa senang sekaligus sedih, Ara." Ranti membantu mengiring kursi roda suaminya hingga dekat meja. Setelah itu, ia duduk di sofa sejajar dengan Zahra. Zahra terdiam, merasa semakin bingung dengan keadaan ini. Budi kembali berbicara, "Kami senang putri kami sudah menikah, walaupun kami nyatanya tak dilibatkan. Bahkan ibumu tidak tahu kamu itu menikah, Nak." Ucapannya penuh dengan sedikit kekecewaan karena pernikahan yang begitu mendadak. Zahra merasakan sesak di dadanya. Ia tidak menduga sebelumnya bahwa keputusannya akan melukai kedua orang tuanya. Sebelum Zahra sempat bicara, Budi melanjutkan, "Kami senang kamu menikah. Namun tidak dengan cara ini." Dalam keheningan, air mata mulai mengalir dari mata Zahra, dan Budi pun melanjutkan, "Bapak dan ibu malu setengah mati sekarang di depan Sandra dan keluarganya. Karena ulahmu, yang menggantikan posisi pengantin Sandra." Air mata Zahra tidak bisa dihentikan. Budi berkata lagi, "Bapak dan ibu merasa malu. Dan jujur saja bapa merasa iba pada ibu Liliana saat meminta restu dan izin ayah untuk kamu menikah dengan anaknya, namun saat telepon ditutup, bapak berubah pikiran karena memikirkan Sandra dan keluarganya. Tapi sayangnya, panggilan bapak tidak dijawab oleh ibu Liliana." Zahra terdiam, terkejut mendengar bahwa ibu Attar tidak menjawab panggilan dari ayahnya. Lalu, tanpa bisa menahan emosinya, Zahra pun tak bisa menahan tangisnya dan akhirnya berkata, "Lalu, Ara sekarang harus bagaimana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN