Boston, Massachusetts
November, 2006
Monroe menghunjam ke dalam tubuh Janice dengan cepat. Nafasnya tengah-tengah dan wajahnya memerah saat ia mempercepat pergerakannya. Ketika Janice menggerang dan menggeliat di bawah tubuhnya dengan cara yang paling menggoda, Monroe nyaris mencapai pelepasan saat itu juga. Janice terus menggumamkan namanya, mengatakan kata-katanya dengan samar yang terdengar di telinga Monroe seperti: "Lebih cepat!"
Baginya, ia tidak membutuhkan dorongan lebih untuk memicu gairahnya. Menatap wajah cantik Janice di bawah tubuhnya saja sudah membuat Monroe bereaksi. Apalagi jika mendengar bagaimana wanita itu bereaksi dalam setiap hunjamannya.
Monroe menekankan tubuhnya lebih dalam ke tubuh Janice. Ia melakukannya berkali-kali, kemudian menundukkan wajah untuk mencium bibir Janice dengan rakus. Hawa panas di sekitar mereka membuat keringat bermunculan di dahi Monroe. Sementara aroma wangi sabun herbal yang mengumbar dari kulit telanjang Janice membuat Monroe berpikir kalau ia akan melumat wanita itu hingga habis. Dan tiba ketika mereka mencapai pelepasan bersama-sama, Janice meneriakkan nama Monroe dan Monroe ambruk di atas tubuhnya.
Itu adalah seks terhebat yang pernah dialami Monroe sepanjang hidupnya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, seks yang dialaminya bersama Janice akhir-akhir ini memang selalu hebat. Wanita itu tidak hanya cantik, tapi Janice juga memiliki keahlian besar untuk memuaskan pria di atas ranjang. Siapa sangka jari-jari dan bibirnya yang mungil itu bisa membunuh setiap pria di atas ranjang?
Tapi Monroe menyukai Janice sebagaimana ia menyukai wanita muda yang cantik. Janice menggambarkan sosok yang selalu dikagumi Monroe dari mantan istri sekaligus cinta pertamanya: Hillary. Janice bertubuh sintal, memiliki sepasang p******a yang penuh dan sangat menggoda dengan pakaian ketat. Kulit putihnya tidak bercela dan yang paling disukai Monroe adalah rambut pirang bergelombang juga bibirnya kecilnya yang sedap dipandang.
Meski secara usia Janice lebih cocok menjadi putri Monroe, hal itu tidak menyurutkan niat Monroe untuk bersetubuh dengan wanita itu. Berkali-kali. Dan setiap melakukannya, Monroe selalu membayangkan wajah Hillary yang cantik. Sial! Monroe tidak akan bisa melupakan Hillary. Kalau saja Hillary tidak menghianatinya, wanita itu mungkin masih hidup sekarang dan Hillary akan melahirkan anak-anak Monroe.
Tapi Monroe telah belajar untuk melupakan Hillary selama bertahun-tahun. Meskipun ia belum berhasil sepenuhnya, Monroe tetap menghargai kemajuan yang dibuatnya.
Janice adalah hal lain. Monroe bertemu wanita itu di sebuah kedai yang menjual kopi dan berbagai jenis hidangan manis. Janice mengatakan kalau ia telah bekerja untuk sang pemilik kedai selama lima tahun sejak hari kelulusannya.
Sang pemilik kedai, Odis, adalah pria kasar yang suka menyetubuhi para pelayannya. Tidak hanya sekali Odis berniat memperkosa Janice hingga Janice berpikir untuk hengkang dari pekerjaan itu. Namun, ketika Janice ditinggal mati oleh tunangannya yang berjanji akan menanggung biaya hidup Janice, ditambah lagi kondisi ekonominya yang kritis, membuat wanita itu terjebak dalam pilihannya sendiri.
Janice merasa kalau ia tidak cukup cerdas dan memiliki keahlian khusus untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Belum lagi, ia memiliki sejumlah catatan kriminal karena pernah berurusan dengan narkoba di usianya yang ke-15 tahun. Tidak ada keluarga selain kakak laki-lakinya yang suka mabuk yang tinggal bersama Janice. Setidaknya hingga Monroe datang dan menawarkan sejumlah kesenangan pada Janice.
Ketika Monroe datang padanya, Janice langsung menilai perbedaan usia mereka yang tampak sangat kentara. Laki-laki berusia lima puluh lima tahun, cukup tua untuk menjadi ayahnya. Tapi Monroe bersikap lembut dan menawarkan Janice sesuatu yang tidak bisa ia tolak: uang yang banyak.
Sebagai putra tunggal dan anak tertua yang mewarisi kekayaan orangtuanya, Monroe terbiasa hidup senang dan mengikuti naluri hatinya. Laki-laki itu rela membayar mahal untuk sesuatu yang sangat disenanginya. Saat pertama pria itu menatapnya, Janice tahu kalau tatapan Monroe dipenuhi oleh nafsu. Janice tidak menolak Monroe untuk alasan tertentu. Ia membutuhkan uang. Uang yang banyak untuk membiayai hidupnya dan kakak laki-lakinya yang kecanduan narkoba dan alkohol.
Pada malam pertama sejak pertemuan mereka, Monroe mengajak Janice ke sebuah tempat penginapan mewah dan laki-laki itu menyetubuhinya sepanjang malam. Pertemuan itu kemudian merembet ke sejumlah pertemuan lain yang membuat Janice semakin dekat dengan Monroe.
Janice tahu kalau Monroe menyukainya. Laki-laki memperlakukan Janice lebih dari sekadar p*****r atau wanita simpanannya. Tapi Monroe tidak siap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar bersenang-senang. Janice pikir Monroe akan menikahinya - Janice berharap Monroe akan menikahinya. Setelah menghabiskan lebih banyak waktu bersama Monroe, Janice tahu kalau banyak hal dari laki-laki itu yang disenanginya. Dan yang paling utama: Monroe memiliki cukup banyak uang. Nyatanya, setelah hampir dua bulan mereka menjalin hubungan fisik, Monroe tidak juga memberi Janice kepastian tentang kemana ia akan membawa hubungan itu.
Terlepas dari keinginannya untuk memiliki Monroe, Janice menikmati saat-saat percintaannya bersama Monroe. Laki-laki paruh baya itu adalah penyuka oral seks - satu-satunya hal yang Janice tahu bisa ia berikan pada pria manapun. Monroe juga telah membuktikan dirinya sebagai pecinta yang hebat. Terlepas dari usianya yang tidak muda lagi, Monroe menjadi satu-satunya lelaki yang memberi Janice kepuasan besar dalam kontak fisik, sesuatu yang tidak pernah Janice dapatkan dari pria manapun, bahkan Eric, mantan tunangannya sekalipun.
Perbedaan dua laki-laki itu menjadi begitu kentara. Eric adalah seorang penganut Katolik yang patuh. Laki-laki itu menyukai ketenangan dan terkadang saat Janice merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan birahinya, Eric secara halus akan menolaknya. Hanya kelembutan Eric dan sikap bertanggungjawab pria itu yang benar-benar disukai Janice. Monroe sebaliknya. Meskipun begitu, terkadang Janice merasa bersalah pada Eric karena tidak hanya disatu kesempatan, Janice mengecewakan Eric dengan diam-diam mencari kepuasan pada pria lain. Bagaimanapun, Eric tidak bisa menyalahkan Janice hanya karena Janice benar-benar membutuhkan seseorang untuk menjalin kontak fisik dengannya, ketika Eric tidak bisa memberi hal itu pada Janice.
Berusaha mengendalikan nafasnya setelah melewati satu malam yang hebat bersama Monroe lagi, Janice beringsut di atas ranjang saat Monroe bergerak menjauh untuk meraih celana dan memakainya dengan cepat. Bangkit berdiri, Janice memandangi punggung Monroe yang tidak kekar lagi dan bertanya, "apa kau tidak akan menginap malam ini?"
Monroe memandangi tubuh polos Janice dari atas bahunya kemudian tersenyum ketika melihat kekecewaan di wajah cantik itu.
"Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan."
"Urusan apa?"
Begitu menemukan kemejanya yang tergeletak di atas lantai, Monroe langsung menyambar pakaian itu dan mengenakannya dengan cepat. Ia berjalan kembali ke arah Janice kemudian mengambil posisi duduk di sampingnya. Satu tangan Monroe meraih wajah Janice dan mendekatkannya sehingga ia bisa mencium bibir Janice.
"Itu bukan urusanmu, sayang," bisik Monroe di bibir Janice.
Janice menarik diri ketika mendengarnya. Wanita itu memasang raut wajah masam ke arah Monroe. "Apa urusan itu tidak bisa menunggu?"
"Sayangnya tidak. Tapi, aku akan menemuimu segera setelah semuanya selesai."
"Kapan?"
"Mungkin besok siang."
"Besok aku bekerja sampai sore."
Monroe mengangguk. "Kalau begitu besok sore."
Jauh sebelum Janice mengajukan protes lain, Monroe cepat-cepat menyambar pintu, membuka dan menutupnya dengan cepat. Malam ini Monroe menghabiskan waktunya di rumah Janice selama dua jam. Awalnya ia berniat mengajak Janice pergi ke sebuah motel juga menghabiskan makan malam di sebuah restoran di dekat sana. Tapi begitu Monroe menjemput Janice di rumahnya, dan melihat bagaimana wanita itu menampakkan tubuhnya pakaian ketat, Monroe langsung memutuskan untuk menyetubuhi Janice saat itu juga. Itu karena Monroe tidak bisa menunggu lama untuk bisa bergelut bersama Janice di atas kasur.
Mengubur pemikiran tentang gadis cantik yang memuaskan itu, Monroe bergerak cepat ketika menuruni tangga kayu untuk sampai di halaman parkir. Ia bergerak dengan hati-hati sehigga langkahnya tidak menimbulkan suara bising. Karena Janice hanya sanggup menyewa satu kamar kecil di sebuah tempat penginapan kumuh dan harus berbagi satu bangunan yang sama dengan puluhan penghuni lainnya, Monroe punya kekhawatiran kalau ia lebih sering menghabiskan waktu dengan Janice di sana, maka itu sama seperti memicu perhatian orang-orang. Itu adalah hal terakhir yang diinginkan Monroe: menjadi perhatian orang-orang.
Sejauh ini Monroe menganggap Janice tidak lebih dari wanita yang ditidurnya - p*****r favoritnya. Meskipun Monroe sangat menyukai Janice dan berharap hubungannya dengan wanita itu berlangsung lama, tidak pernah sedikitpun terbersit dalam benak Monroe untuk menikahi Janice. Monroe tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Ia hanya mengalami kehidupan rumah tangga sekali, dan semuanya berakhir dengan buruk.
Begitu menemukan mobilnya, Monroe segera masuk dan duduk di kursi penumpang. Ia menyalakan mesin mobilnya tapi tidak segera berkendara menjauh dari sana. Seorang petugas keamanan yang berjaga di gerbang memperhatikan Monroe dengan tampang masamnya yang biasa. Petugas itu bukan seseorang yang cukup ramah, tapi sejauh ini Monroe berhasil mengabaikannya.
Bersandar di sofa pengemudi, Monroe menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dadanya naik turun dan kedua matanya kini terpejam. Ia harus berbohong lagi pada Janice. Monroe tidak hanya melakukan hal itu sekali. Tapi ia hanya akan melakukannya ketika ia benar-benar tidak bisa mencegah bayang-bayang itu datang kembali. Sejauh ini Monroe telah berhasil menyembunyikannya dari semua orang. Orang-orang hanya akan melihatnya sebagai pria normal, kaya, dengan gairah seks yang besar. Orang-orang tidak akan mempertanyakan masa lalunya. Masa bodoh dengan mereka!
Hillary. Wanita itu tidak akan pernah pergi dari otak Monroe. Hillary seperti malaikat yang cantik, tapi wanita itu juga iblis yang telah mengubah hidup Monroe. Sayang sekali Hillary memilih jalan yang salah dalam hidupnya. Kalau saja wanita itu tidak begitu keras kepala dan bersedia mendengarkan Monroe – kalau saja Hillary tidak menghianatinya..
Monroe mengerang dengan keras. Ia berusaha mengusir hantu Hillary yang selalu hadir di otaknya. Sudah cukup! Sembari menggenggam setir dengan erat, Monroe menstarter mobilnya kemudian berkendara dengan cepat meninggalkan tempat penginapan itu.