La Toya Jackson menangis sepanjang malam hingga ia merasakan indra pengelihatannya kabur karena mata yang memerah dan kepalanya mulai berdenyut-denyut tak keruan. Tanpa mengenakan alas kaki dan hanya diselimuti oleh gaun pengantin berwarna putih setinggi mata kaki itu, La Toya terus berlari mengitari tempat antah berantah itu, masih berharap kalau pada akhirnya ia akan menemukan pintu keluar.
Sudah berapa ratus kali ia mengelilingi tempat itu? Sudah berapa jam ia berada di sana? Sudah berapa kali pria itu melepasnya, membiarkannya berlari seperti anjing peliharaan, memberinya waktu seolah hal itu menjadi kesempatan besar bagi La Toya untuk bebas, kemudian akhirnya menjemputnya kembali dan memintanya untuk tidur di ruangan yang ia sebut singgasana.
Pria itu gila! Dan La Toya terlalu bodoh karena mengikuti permainannya. Malam ketika La Toya berusaha kabur dari pria itu dan usahanya hanya membuahkan luka membiru pada keningnya, membuat La Toya berpikir kalau ia perlu mengubah tak tik untuk dapat bebas. Ia mengikuti semua yang dikatakan pria itu, menurutinya seperti anjing peliharaan, diam dan berusaha meredam ketakutannya tiap kali laki-laki itu bicara melantur. Bahkan, La Toya berharap besar saat pria itu mulai membimbingnya ke hutan, atau tempat yang tampak seperti hutan.
Pada hari pertama ketika pria itu melepasnya di hutan, La Toya berpikir kalau ia telah bebas. Ia berlari berjam-jam mengelilingi tempat itu dan berpikir kalau ia akan menemukan pintu keluar. Tapi seharusnya La Toya tidak sebodoh itu untuk berpikir kalau pria itu benar-benar menyudahi permainan gilanya begitu saja. Seharusnya La Toya menyadari hal itu sejak awal. Seharusnya ia mengikuti insting awal untuk bunuh diri ketimbang harus melewati penyiksaan yang lambat laun terasa membunuhnya.
La Toya telah menyia-nyiakan tenaganya dengan terus berharap. Ia telah membuang waktu dengan percuma. Pria itu tidak akan membiarkannya bebas. Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia tidak sebodoh itu. Tapi La Toya benar-benar putus asa. Ia tidak tahu hari ke berapa sekarang sejak pria itu menculiknya. Apa Dante menyadari apa yang terjadi pada La Toya? Apa pria itu berusaha mencari La Toya dan menghubungi polisi? Bagaimana dengan Tammy, adiknya dan bibi Suzanne? Mereka pasti mengkhawatirkan La Toya.
Kecil harapan untuk dapat bebas dari sana - bahkan hampir terasa tidak mungkin. Sejauh yang ia tahu, penculiknya tidak benar-benar berniat memperkosa La Toya seperti yang diduganya - setidaknya belum. La Toya tidak mengerti dengan pria itu. Jelas ia bukan seorang pria waras dengan seluruh perbincangannya yang melantur. Dan La Toya juga tahu kalau pria itu bukan seorang pemeras. Ia tidak menculik La Toya untuk mendapatkan uang atau mengambil keuntungan lain seperti organ tubuhnya atau mungkin seks. La Toya benar-benar tidak memahami motifnya. Pria itu hanya terus memanggilnya dengan nama Holly dan setiap kali ia membantahnya, pria itu akan mengamuk seperti setan.
"Kau Holly! Aku sudah bilang kalau namamu Holly!" teriak pria itu sembari membanting kursi kayu hingga menimbulkan suara berebum keras yang telah menggentarkan keberanian La Toya.
"Tidak ada permainan teka-teki lagi! Apa kau mengerti?" Ketika La Toya tidak menanggapi kata-katanya dan hanya terus memandangi sepasang mata yang memerah karena amarah itu, suara teriakan berikut langsung menyadarkan La Toya. "Apa kau mengerti?! Hah?!"
"Ya," jawab La Toya akhirnya. Air matanya sudah merebak.
"Siapa namamu?"
"Namaku Holly."
"Benar, sayang. Begitu. Jangan lupakan hal itu lagi! Namamu Holly. Kau adalah Holly. Kekasihku, tunanganku, istriku."
La Toya menangis tersedu-sedu, ia telah bersumpah kalau itu akan menjadi saat terakhir pria itu berteriak di hadapannya.
Hingga hari ini, entah hari keberapa - sepuluh? Sebelas?, La Toya tidak ingat, ia berhasil bertahan. Namun semakin hari berlalu, semakin harapan untuk dapat bebas menjadi pupus.
Langit masih tampak cerah. La Toya memperkirakan kalau saat itu sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang. Semalam pria itu menjemputnya di tengah hutan kemudian meminta La Toya untuk menghabiskan makanannya. Makanan itu terasa aneh. La Toya nyaris muntah. Tapi karena ia belum makan apapun sejak pagi, La Toya tidak punya pilihan untuk menghabiskannya.
Kemudian, pagi harinya La Toya terbangun karena kehadiran pria itu yang duduk di samping ranjangnya. Pria itu tersenyum saat memandanginya hingga La Toya nyaris berteriak ketakutan. Hal-hal aneh selanjutnya terjadi. Pria itu memandikannya. La Toya menahan tangis saat pria itu melepas jubahnya, memandangi tubuh telanjangnya lamat-lamat sebelum membawanya ke bawah pancuran dan membilas tubuhnya dengan sabun yang berbau menyengat. Pria itu membawanya ke meja rias, menyisir rambutnya, mendandani wajahnya kemudian memakaikan pakaian pengantin di tubuhnya.
Semua itu terulang berkali-kali sejak La Toya diculik. Jika pria itu adalah seorang pemerkosa, kenapa ia bertindak begitu lembut? Apa yang dipikirkan pria itu? Apa ia masih menganggap kalau La Toya adalah Holly? Siapa sebenarnya Holly?
La Toya membawa pertanyaan itu hingga hari terasa semakin terik. Meskipun begitu, pohon-pohon yang berdiri di sekitarnya berhasil menutupi cahaya matahari dan membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya.
Karena kelelahan, La Toya menghentikan langkahnya. Ia menatap sebuah pagar pembatas setinggi dua meter yang berdiri menjulang tak jauh dari tempatnya berdiri. Pagar besi itu tampak tua dan berkarat. Permukaannya nyaris tertutup oleh tanaman rambat dan sisa-sisa pepohonan juga semak-semak. La Toya tidak pernah melihat pagar itu sebelumnya. Harapannya seakan dibangkitkan kembali.
Dengan tergesa-gesa ia mencapai pagar itu. La Toya berusaha keras saat menyingkirkan tanaman rambat dan dahan pohon yang menutupi pagar. Satu tangannya kemudian meraih pegangan besi dan mengukur ketahanannya. Meskipun sudah tua, pagar itu masih cukup kuat.
Oh Tuhan! Tolonglah aku! Semoga ini memang pintu keluarnya.
Sambil terus berdo'a, La Toya mengangkat gaun pengantinnya dan mulai memijakkan kaki di atas pagar. Ia nyaris terpeleset dua kali. Pagar itu ternyata lebih tinggi dari yang dikiranya. La Toya berusaha lebih keras. Ia menaiki pagar seolah hal itu adalah satu-satunya harapan La Toya untuk tetap bertahan hidup.
Ketika La Toya masih berusaha keras untuk mencapai puncak pagar, suara daun kering yang diinjak membuatnya terperanjat di tempat. La Toya memandang ke sekitar dan mendapati kalau suasana masih sehening kelihatannya.
Itu hanya suara ranting yang jatuh. Jangan khawatir! Teruslah berusaha. Kau hampir sampai.
La Toya menaiki pijakan berikutnya. Ia tersandung dan kali ini ia benar-benar mendengar suara seseorang berjalan ke arahnya. Tubuh La Toya langsung bergetar ketakutan. Adrenalinnya berpacu dengan kuat. Ia mempercepat pergerakannya, namun bukannya membantu, hal itu justru hanya menimbulkan luka berdarah pada telepak tangannya ketika ia meraih pegangan yang salah.
Telapak tangan La Toya menyentuh permukaan kawat yang dipasang pada sudut paling kiri pagar. La Toya meringis kesakitan. Ia mengepakkan tangannya berkali-kali, menyeka luka berdarah itu di atas gaun pengantinnya sembari mendesis saat rasa sakit itu semakin tak tertahankan.
"Holly!" Suara seorang pria berteriak dari kejauhan.
La Toya semakin gelisah. Ia berusaha mengabaikan lukanya dan terus berusaha. Hanya butuh dua pijakan lagi untuk sampai di atas pagar. Dua pijakan lagi untuk menyelamatkan hidupnya.
Nyatanya ia kalah cepat. Pria itu meraihnya sebelum La Toya sampai di puncak pagar. Melingkarkan lengannya yang besar di seputar pinggul La Toya, pria itu membopongnya menjauhi pagar. Tangan La Toya mencakar udara. Ia berusaha melawan pria itu dengan meronta-ronta. Tapi kekuatannya saja tidak cukup untuk menghentikan aksi pria itu. Pria itu menariknya menjauh, kembali ke tempat mereka hingga La Toya kehabisan tenaga dan ia menangis di atas bahu pria itu.
"Tolong, lepaskan aku.." ucapan La Toya tidak diindahkan. Pria itu terus berjalan tanpa bersuara dan kebisuannya kian menambah rasa takut yang dialami La Toya.
"Tolong.."
La Toya nyaris pingsan karena kelelahan ketika pria itu akhirnya menurunkan La Toya di sebuah ruangan kosong. Ruang itu bukanlah ruang kamar yang biasa ditempatinya. Ruangan itu benar-benar kosong dan berbau busuk. Debu bertebaran di mana-mana. Sarang laba-laba mengisi setiap sudutnya. Rasa pening langsung menyerang seisi kepalanya. Apa pria itu akhirnya telah memutuskan apa yang akan dilakukannya pada La Toya? Apa sekarang akan menjadi akhir dalam hidup La Toya?
Pria itu membuat La Toya bergidik ketakutan saat ia berjalan untuk mengunci pintu masuk. Ia kemudian berbalik hanya untuk memandangi La Toya. Kekecewaan dan amarah tampak terlukis jelas di wajahnya.
"Hari ini kau mengecewakanku karena kau berusaha untuk kabur dariku," kata pria yang menyebut dirinya Ted. "Kenapa kau selalu berusaha untuk kabur dariku?"
La Toya bergeming. Air matanya merebak membasahi wajahnya. Ia menunduk ketika pria itu mulai bergerak mendekatinya kemudian meraih ponselnya di sakunya. Pria itu menekan nomor seseorang kemudian ketika panggilan teleponnya terhubung, ia menyerahkan ponsel itu pada La Toya.
"Ini! Bicaralah dengan Bob! Dia ingin mendengar suaramu."
La Toya menangis memandangi kotak kecil itu. Ia berusaha meraih ponselnya dengan tangan bergetar dan ragu-ragu untuk mendengar suara seseorang di seberang.
"Ayo! Bicaralah! Dia tidak akan menyakitimu. Aku janji."
Siapa Bob? La Toya memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya. Ia mengangkat ponsel itu ke telinganya kemudian mendengar suara seseorang di sana.
"Holly?" tanya suara di seberang. Ketika La Toya tidak menjawab, suara di seberang meninggi beberapa oktaf. "Holly? Itu kau? Bicaralah, sayang!"
"Ya," bisik La Toya. Kali ini ia tidak menahan isak tangisnya. Suara pria di seberang terdengar berat dan lembut. Kenapa pria itu memintanya untuk bicara dengan siapapun pria di telepon? Apa ini termasuk bagian dari permainannya? Apa yang diinginkan pria itu sekarang?
“Siapa ini?” tanya La Toya dengan suara bergetar.
“Ini Bob. Apa kau tidak mengingatku, sayang?”
La Toya menatap pria di hadapannya. Ada seringai lebar yang sangat ingin ia hapus dari wajah pria itu. Butuh usaha keras bagi La Toya untuk mengumpulkan keberaniannya dengan bertanya, “apa kau polisi? Apa kau bisa membantuku? Tolong, aku disini bersama pria gila yang menculikku,” La Toya menyuarakan kata-katanya dengan cepat. Ia bergerak mundur ketika melihat bagaimana wajah Ted memerah dan amarahnya muncul kembali di permukaan. Namun, hal itu tidak menggentarkan La Toya untuk melanjutkan.
“Tolong, bantu aku! Namaku La Toya Jackson, aku diculik oleh seorang pria. Aku tidak tahu dia membawaku kemana, di sini sangat sepi. Aku di sebuah bangunan yang letaknya tidak jauh dari hutan,” La Toya memejamkan matanya saat berusaha keras meredakan ketakutan yang dialaminya. “Aku tidak tahu di mana aku berada sekarang. Tolong, hubungi polisi. Bantu aku! Apa kau akan membantuku? Siapa kau? Bob? Tolong..”
“Diam!” Ted berteriak dan secara impulsif merebut ponsel itu dari genggaman La Toya. Wajahnya kini memerah sempurna dan urat-uratnya muncul ke permukaan. Sekarang, pria itu tampak seperti setan yang sedang mengamuk. “Diam! Tutup mulutmu! Sialan!”
La Toya berusaha meraih ponsel itu, namun tindakan Ted selanjutnya membuat La Toya bergerak mundur karena ketakutan. Pria itu membanting ponselnya, memukulkan kepalan tangannya di atas dinding kemudian meraih ponselnya sembelum membantingnya lagi.
“Sudah kukatakan padamu kalau kau Holly! Berengsek! Berehentilah menangis karena aku tidak akan menyakitimu!”
Ted menatap La Toya yang menangis tanpa suara di sudut ruangan. Tangan wanita itu meremas-remas gaun pengantinnya sehingga perhatian Ted langsung teralih pada noda darah di atas gaun pengantin itu. Ekspresi Ted langsung berubah. Sikap pria itu membuat La Toya bergidik ketakutan, terutama ketika Ted berlari ke arah La Toya, mengangkat tangannya kemudian memeriksa luka yang masih terbuka itu.
“Sial! Apa yang kau lakukan pada dirimu?”
Ted menarik La Toya untuk duduk di atas sebuah kursi tua yang hampir reyot. Laki-laki itu merobek pakaiannya dan mengikatkan kain tersebut di atas telapak tangan La Toya.
“Kau keterlaluan Holly,” bisik Ted.
“Ted..” untuk pertama kalinya, La Toya menyebut nama pria itu dan karena hal yang sama, Ted langsung mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca saat menatap La Toya. Ted tampak menunggu apa yang akan dikatakan La Toya selanjutnya. Sementara La Toya harus berusaha keras untuk menelan liur dan mengucapkan kata-kata selanjutnya.
“Tolong Ted, aku tidak akan melaporkanmu pada polisi. Aku janji kau tidak akan masuk penjara, tapi tolong, aku ingin bebas. Tolong lepaskan aku. Aku akan melupakan semua ini segera setelah kau membebaskanku. Tidak akan ada orang yang tahu, tapi tolong bantu aku. Aku mau bebas.”
Ted menunduk. Tingkah pria itu membuat La Toya beringsut menjauh darinya. Wajah Ted memerah dan urat-urat di pelipisnya tampak terlihat jelas saat ia berpikir keras.
“Tidak,” jawab Ted akhirnya. “Kau salah. Aku ingin melindungimu.”
La Toya harus menundukan wajahnya untuk menatap langsung mata Ted, tapi Ted tampak seperti seseorang yang sangat frustrasi.
“Melindungiku dari apa?”
“Biadap itu," wajah Ted memerah penuh kebencian.
“Siapa?”
Alih-alih menjawab pertanyaan La Toya, Ted justru berkata, “Aku akan menikahimu. Aku janji. Bob bilang itu akan membantumu.”
“Siapa sebenarnya Bob?”
Ted mengangkat wajahnya, kemudian membuat La Toya berjengit saat pria itu menjawab, “dia adalah aku.”
“Apa maksudmu? Oke, tidak bisakah kita menyudahi semua ini. Kau bisa membiarkanku bebas. Jika kau ingin uang, aku akan memberikannya padamu, tapi kumohon, aku ingin bebas.”
“Kau tidak mengerti Holly,” saat itulah La Toya tahu kalau usahanya untuk menyakinkan Ted adalah usaha yang sia-sia. Pria itu masih berpikir kalau La Toya adalah Holly. “Aku mengagumimu, sangat mengagumimu. Aku akan menjadikan kau milikku, aku sudah berjanji.”
“Apa maksudnya semua ini, Ted?”
“Nanti kau akan mengerti. Sekarang tenanglah! Aku harus mengobati lukamu.”
Air mata La Toya jatuh lagi. Ia menggeleng ke arah Ted, berusaha untuk menyita perhatian pria itu, namun usahanya sia-sia. Ted tampak bersikeras untuk mengalihkan perbincangan mereka.
“Ted tolong.. aku ingin kembali pada keluargaku. Apa kau memiliki keluarga, Ted?”
“Sshhh.."
“Tidak..”
“Diam!”
Ketika La Toya menatap wajah Ted dan melihat kesungguhan di sana, ia akhirnya luluh, tahu bahwa usahanya untuk menghindar tidak akan berbuah manis.