2. A Memory and A Mirage

1171 Kata
Dua belas tahun memang sudah berlalu. Bukankah waktu yang lebih dari cukup untuk menyembuhkan luka? Aku sudah terjebak dalam zona nyaman bertahan untuk hidup tanpanya. Dunia yang kukenal saat ini bukanlah dunia yang mengenal Rasya. Semua kenangan di masa lalu, baik yang manis atau pahit, bahagia atau luka, tersimpan dengan baik dalam gurun ingatan menjadi fatamorgana. Tentangmu adalah gurun, hidupku adalah musim panas itu. “Dengar-dengar dari guru-guru SMP, katanya kalau ketua yayasan yang baru nanti akan menghitung kehadiran setiap guru yang akan dikonversi dalam sistem poin. Kemudian poin itu akan menjadi tambahan gaji untuk kita. Semoga guru SMA juga kebagian, ya, Bu Shanum, ya!” Pagi ini para guru sudah bergosip lagi tentang kedatangan ketua yayasan yang baru. Padahal, perpisahan resmi untuk ketua yayasan kita baru akan diadakan besok siang. “Itu berita valid atau tidak?” tanya guru muda laki-laki dengan seragam batik hijau di depanku ini. “Sumbernya, kan, dari guru-guru yang mengajar di SMP. Kalau dari pak kepsek, baru valid!” timpal yang lain. Aku hanya mendengarkan saja percakapan mereka. Kenaikan gaji itu sangat berpengaruh besar bagiku, bagaikan kabar turunnya hujan di tengah kekeringan. Akan tetapi ada yang lebih berpengaruh daripada berita itu untukku, yaitu fakta siapa ketua yayasan yang baru. Iya, selama ketua yayasan baru itu bukanlah orang yang digosipkan kemarin, aku tak masalah. “Bu Shanum sudah datang atau belum?” Seseorang yang baru saja masuk ruangan memanggil namaku. Dia tampak terengah-engah dengan gincu merahnya. “Iya, ini saya! Kenapa, ya?” Aku segera memunculkan wajah dari balik kerumunan penggosip pagi ini. “Eh, sini, sini!” Dia memintaku menghampiri, tapi dia sendiri yang malah melangkah mendekat ke posisiku. “Ada apa, Bu Anita?” tanyaku saat kami telah berdekatan. Dia adalah sesama guru PAI sepertiku yang mengajar di SMA ini. “Saya minta data nilai PAI dari kelas yang dipegang sama Bu Shanum, dong!” Dia langsung menggandengku dan membawaku berjalan menuju ke meja. Dari gesture-nya dia tampak tergesa-gesa. “Ini mau diberikan ke pak kepsek,” tukasnya lagi. “Harus sekarang banget, ya? Kalau di laptop ada.” Aku pun terkejut akan permintaannya, karena aku tak memiliki daftar nilai tersebut dalam bentuk cetak. “Iya, biar saya yang print saja sekalian, punya saya juga masih di sini. Nih, punya Bu Shanum juga masukkan ke sini.” Dia menyodorkan sebuah benda hitam kecil padaku berupa diska lepas miliknya. Aku duduk di bangkuku lagi sambil mengeluarkan laptop dari tas. Lalu saat kami sedang serius menatap laptop mungilku, suara bel masuk dengan irama riang itu malah berbunyi. Di momen seperti ini, mungkin tak hanya siswa yang terburu-buru, melainkan juga para guru yang masih di luar gedung sekolah. “Aduh, Pak Kepsek nagih sebelum masuk lagi,” gerutu Bu Anita sambil mengentakkan kaki di sampingku. “Ini kenapa mendadak banget, Bu? Tahu begini semalam saya print di rumah.” Aku mencoba membuka folder dari laptopku dan ternyata lingkaran biru yang terus berputar itu malah memakan waktu. “Pakai loading, ya, Bu? Ampun, deh!” Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Tadi pas baru masuk, dari pihak kurikulum tiba-tiba ngirim japri ke saya. Kan, kaget, Bu! Terus saya pikir punya saya saja, tapi dia nyuruh ke semua guru PAI dan saya yang diminta mengumpulkan. Ini saya juga sedang meminta ke yang lain, tapi kayaknya ada yang belum datang.” Bu Anita mendekatkan kepalanya di sampingku untuk melihat layar dari laptop ini secara bersamaan. “Pak kepsek menuju kemari, ada briefing, pemirsa,” bisik guru yang duduk di sebelahku dengan suara jahil. Bu Anita pun terpaksa menuju ke tempat duduknya sendiri, lalu dia menggerak-gerakkan tangannya sambil memberi kode untukku. “Ok!” jawabku yang juga membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjukku. “Minta waktu sebentar ibu-ibu dan bapak guru sekalian,” ujarnya sambil duduk di kursi tengah yang memang disediakan khusus untuk beliau apabila sedang berkunjung ke ruang guru. Seketika ruangan guru mendadak hening. Hanya ada beberapa guru piket yang masih di luar untuk menertibkan para siswa dan memeriksa mereka yang terlambat ke sekolah. “Seperti yang kita tahu semuanya, jika sebentar lagi ketua yayasan kita akan pamit dan diganti oleh ketua yayasan yang baru. Mungkin akan ada beberapa perbedaan kultur dan kebijakan yang diterapkan di sekolah kita. Beliau berpengalaman menjadi pendidik di luar negeri, sehingga beberapa kebijakan juga akan diganti. Tidak hanya untuk para siswa, tapi juga untuk para guru.” Pria dengan kepala plontos tersebut bicara menggunakan nada serius. Tak ada senyum ramah sama sekali dalam setiap kalimat yang ia ucapkan. Mataku menatap bergantian, lima detik ke arah laptop yang sedang memindahkan fail, lima detik kemudian berganti pada kumis tebal pak kepsek yang bergerak-gerak saat bicara. “Tapi hal tersebut selaras dengan hak yang akan diterima oleh para guru. Beliau menjanjikan kesejahteraan yang lebih tinggi dibanding sebelumnya, dengan aturan yang lebih ketat tentunya.” Dia melanjutkan bicara dengan bariton yang keras, bahkan mencapai sudut ruangan. Walau sekilas tampak hening, sesungguhnya guru-guru di sekitarku membuat percakapan mereka sendiri. Ada yang berbisik, ada yang sekedar berbicara dengan mimik muka, bahkan ada yang saling berkirim pesan. “Dari sekarang saya akan bicarakan pada bapak dan ibu sekalian. Di mana kehadiran kita akan dihitung menggunakan poin. Bahkan jadwal lembur kita, bila mendampingi ekstrakurikuler juga dihitung sebagai poin. Nantinya poin tersebut akan dikonversi menjadi tambahan pendapatan untuk para guru. Tapi konsekuensinya, bila ada keterlambatan, juga akan ada poin pengurangan. Di mana poin pengurangan tersebut akan mengurangi gaji pokok. Lalu jika tiga kali terdapat keterlambatan dalam satu bulan, maka gaji pokok akan dikurangi dan tambahan pendapatan di bulan itu tidak diberikan!” “Mengerti!” Bibir tebal Pak Kepsek membentuk garis melengkung ke bawah, sehingga tampak sejajar dengan kumis tebalnya yang memiliki bentuk sama. “Mengerti ...,” jawab serempak dari para guru sambil menganggukkan kepala, termasuk aku. Data nilai mata pelajaran yang diminta oleh Bu Anita sudah selesai ditransfer pada diska miliknya. Dengan segera aku pun mencabut. Dari tempat duduknya, Bu Anita sudah melirik-lirik padaku sejak tadi. Gara-gara pemindahan fail ini, aku menjadi tidak fokus terhadap semua yang dibicarakan oleh Pak Kepsek. Sampai pada akhirnya, sebelum beliau pergi, salah seorang wakil kepala sekolah bertanya akan sesuatu pada pimpinan kami ini. “Kenapa, Pak?” “Menurut kabar yang beredar, kalau calon ketua yayasan kita nanti adalah salah satu anak dari Bu Laura. Kebetulan dia juga sekarang tinggal di luar negeri, kan?” Mendengar pertanyaan tersebut, Pak Kepala pun tersenyum lebar. Ini adalah senyum pertama yang ia tunjukkan hari ini. Tampak mengerikan. “Kalau itu ... rahasia!” Dia kemudian terkekeh dengan suara yang cukup keras. Ruang guru ini kembali riuh saat beliau keluar. Aku segera membawa bukuku dan menghampiri bangku Bu Anita. “Terima kasih,” ucapnya saat aku menyodorkan diska lepas miliknya di atas meja. Aku berjalan keluar dari ruang guru untuk menuju kelas tempat aku mengajar sekarang. Tapi, langkahku terasa gontai, kakiku terasa berat. Harus ke mana lagi aku sembunyi kalau dia kembali? Setelah dua belas tahun, kenapa dia baru datang kembali? Apakah dia akan menjadi air? Atau justru angin yang bertiup membuat badai pasir di hidupku yang layaknya gurun ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN