1. He is My Ex
Menahan seseorang yang memang ingin pergi merupakan sebuah cara terbaik untuk menyakiti diri sendiri. Dulu aku pikir, aku tak sanggup. Tapi pada kenyataannya, aku sekarang berdiri di sini.
Semua itu hanyalah luka lama, yang menganga tapi telah tertutup lagi.
Aku masih di sini, aku masih bisa berdiri!
**
Seperti biasa, istirahat membuat suasana sekolah ini sangat ramai. Terutama di lorong depan ruang guru yang banyak dilewati oleh para siswa untuk pergi ke kantin.
Murid-murid berjalan ke sana-kemari. Mengobrolkan banyak hal dengan sekantong jajanan di setiap tangan mereka. Senyum dan tawa, ocehan juga canda terdengar setiap kali ada yang lewat di depan ruangan kami.
“Kenapa tiba-tiba ketua yayasan kita harus diganti? Padahal selama ini kinerjanya cukup bagus?” tanya seorang guru yang tiba-tiba berdiri dan menghampiri bangkuku.
Aku menyudahi lamunan yang sejak tadi mengamati para siswa, lalu setelahnya aku pun menjawab.
“Kan, dia bilang juga kalau setelah ini dia akan lanjut kuliah yang dibiayai yayasan. Lagi pula, ini cuma cabang. Kantor yayasan pusat tetap dipegang Bu Laura!” timpalku.
“Katanya yang jadi pengganti ketua yayasan sekarang adalah anak Bu Laura sendiri!” ujar salah seorang guru lain yang menimpali.
Mendengar hal tersebut aku langsung meremas ujung kertas yang ada di depanku. Entah kenapa, aku ingin mengelak pernyataan itu hingga merasakan sesak dan udara tak mau lagi masuk paru-paruku.
“Benarkah?”
Aku pun menghindar dari pembicaraan tersebut. Perlahan aku berdiri dan memisah dari obrolan. Sambil berjinjit aku meremas ujung meja dan meraih gagang pintu. Kebetulan mejaku terletak di dekat pintu.
Meski riuh di lorong sekolah, aku lebih baik berada dalam kerumunan ini. Bisingnya percakapan para siswa mungkin bisa membuat aku tenggelam di dalamnya dan melupakan isi dari perbincangan sebelumnya.
“Hei, Bu Shanum? Mau ke kantin juga? Tunggu aku, dong!” Aku yang sudah mulai menyelaraskan langkah dengan para murid pun terpaksa berhenti lalu menoleh.
“Kenapa pergi tidak bilang-bilang? Aku juga lapar. Tapi di kantin pasti penuh dengan anak-anak!” ujarnya sambil berusaha membelah barisan para siswa yang bergandengan tangan.
“Ya, karena setelah ini aku masih ada jadwal untuk mengajar lagi. Jika tidak sekarang, aku akan kehabisan waktu untuk mengisi perut.” Memang benar, perutku sejak tadi sudah meminta haknya untuk diisi.
“Eh, semoga gosip itu benar adanya. Aku tidak sabar untuk melihat ketua yayasan yang baru!” Orang di sampingku ini benar-benar berisik.
Tapi wajar saja, dia tak tahu jika aku sedang menghindari percakapan tentang itu. Lagi pula, aku hanya tinggal berusaha biasa saja jika itu benar terjadi. Walau hati kecilku berharap gosip itu tidak benar.
“Perpisahan dengan ketua yayasan yang lama saja baru akan diselenggarakan besok. Kenapa sudah memikirkan ketua yayasan baru?” tanggapku sambil menggelengkan kepala.
Perjalanan di lorong ini telah membawa kami ke dekat kantin. Aku dan kawanku sesama guru ini duduk di bawah gazebo dengan atap yang terbuat dari asbes berwarna biru.
“Kau mau aku yang mengantre,” ujarku.
Sengaja aku membawa dia duduk dulu, agar aku saja yang mengantre dan kita berhenti membicarakan tentang ketua yayasan baru itu.
“Ya, aku minuman saja! Dengan paket makan siang apa saja! Kalau ada soto, boleh, kan?” Dia tersenyum sambil membetulkan kerudungnya.
Aku mengangguk menyanggupinya, lalu kemudian masuk pada kerumunan anak-anak SMA yang tingginya sudah mengalahkanku.
Benar, yayasan milik Bu Laura telah berkembang begitu pesat. Dimulai dari aku dulu yang hanya mengajar di TK, lalu kemudian dia mendirikan SD dan SMP secara bersamaan. Kemudian lima tahun setelah itu, dia juga mendirikan SMA.
Bahkan yang lebih tak terduga lagi, beliau mendirikan lingkungan yayasan yang sama di ibu kota Jawa Barat seperti sekarang ini. Mulai dari TK sampai SMA tersedia dalam satu lingkungan yang begitu luas dan banyak gedung di dalamnya.
Tentu saja, aku adalah guru pertama yang ditunjuk untuk pindah terlebih dahulu ke Jawa Barat. Bukan karena apa-apa, tapi karena ini memang mauku. Apalagi tempat ini lebih dekat bila aku ingin pulang ke kampung halaman.
“Ibu mau pesan apa?” tanya salah seorang penjaga stan kantin begitu aku berdiri di depannya.
“Makan siang hari ini sama apa?” tanyaku.
“Padahal ibu bisa bilang nanti kami yang antar ke kantor guru,” tuturnya.
Aku tersenyum. “Sudah terlalu lapar, makan di sini saja!”
“Ada soto ayam, ayam goreng, sama tumis-tumisan begini. Kalau makan siang, kebanyakan tadi anak-anak meminta ayam goreng dan tumisan sayuran. Ibu mau apa?”
Masih mengamati hidangan yang tersaji di etalase. “Soto ayam saja, ditambah dengan ati ampela. Buat dua porsi ya, kami menunggu di sana!” Aku menunjuk pada gazebo depan kantin tempat kawanku menunggu.
“Siap, Bu!”
Berbalik dan meninggalkan ruangan tersebut. Rasanya cukup lega menghirup udara luar. Meski ada kipas pendingin dalam kantin, tapi tetap saja terasa pengap karena banyaknya anak-anak yang berkerumun di sana.
Tak lupa sebelum keluar, aku juga membeli minuman botol yang terletak di lemari pendingin. Lalu membawanya ke hadapan temanku ini.
“Waw, terima kasih!” Dia menyambar minuman dingin yang aku bawa dan meminumnya hingga tersisa setengahnya.
Aku yang mengamati itu langsung kenyang sebelum makan.
“Katanya anak Bu Laura itu ganteng-ganteng, loh!” Dia memulai lagi ocehannya tentang itu.
“Lalu kalau ganteng, kenapa?” tanyaku sambil membuka minumanku sendiri.
“Ya, lumayan buat cuci mata dong! Apalagi kalau belum menikah!” ujarnya sambil mengedip-ngedipkan mata antusias.
Aku menyeruput sedikit teh botol yang kubeli. Sedikit rasa manis membuat perasaanku lebih baik dari sebelumnya, meski orang di depanku ini tak berhenti mengoceh tentang anak Bu Laura. Lagi dan lagi!
“Katanya anaknya kembar, laki-laki dua-duanya. Wajahnya itu mirip ... artis Korea siapa, ya? Aduh aku lupa namanya!” Sambil bergosip dia gemas sendiri dengan ingatan payahnya.
Kini perutku menjadi semakin lapar. Selain karena soto pesananku belum datang, topik pembicaraan kali ini benar-benar menonjok ulu hatiku.
“Mungkin besok ketika perpisahan ketua yayasan, dia akan datang. Tapi kalau Pak Kepala Sekolah yang mengatakan, pastinya itu bukan gosip biasa. Pasti itu benar,” sahutnya lagi. Kali ini dia kembali menyeruput minumannya.
“Memang kau bicara dengan Kepala Sekolah?” tanyaku.
Dia menggeleng sambil mengayun-ayunkan kaki dan sesekali ujung sepatunya mengenai tulang keringku.
“Tidak, tapi tadi guru-guru yang ada di kantor berkata seperti itu. Katanya, mereka mendengar kabar tentang ketua yayasan baru itu dari Pak Kepala Sekolah. Kautahu sendiri, kepala sekolah kita yang gendut dengan wajah sangar itu tak suka bercanda, mana mungkin dia berbohong tentang ini!”
Beruntungnya, seorang pelayan dari kantin segera datang dan mengantar pesanan soto milik kami. Bau kuah dengan aroma daun jeruk ini menyela pembicaraan dan membuat aku langsung teralihkan.
“Terima kasih,” ucap kami sambil menerima mangkuk berisi nasi dengan kuah soto yang penuh.
Asapnya masih mengepul dan menunjukkan jika hidangan ini begitu hangat. Lalu ada suwiran ayam dan daun bawang, ditambah sambal yang diletakkan dekat sendok benar-benar menggugah selera.
Aku pun segera meraih sendok tersebut dan mengambil sedikit kuah soto menggunakan ujungnya.
“Bismillah.”
Sedikit bagian bibirku menyeruput kuah ini. Hangat dan rasa khas soto Bandung, mengobati rasa laparku.
“Hmmm, segarnya,” ujar kawan di depanku.
Beberapa suapan soto ayam ternyata membuat dia berhenti bicara. Tapi tak sampai makanan dalam mangkuknya habis, dia kembali berkata, “Kalau benar anak Bu Laura yang pindah kemari, bakal segar tiap hari cuci mata. Eh, kamu, kan, dari Jakarta tadinya. Pastinya pernah ketemu dong dengan anak Bu Laura? Dia ganteng, enggak?”
“Uhuk! Uhuk!” Aku pun terbatuk dan segara meraih botol minumku.
Makananku mendadak salah jalur saat melewati kerongkongan, begitu telinga ini mendengar pertanyaan barusan.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pertanyaan tersebut.
Aku juga bukannya tidak bisa menjawab pertanyaan itu? Atau aku tidak tahu bagaimana anak Bu Laura? Aku hanya ... sekedar tak ingin membahasnya.
Karena ...!
“Bu Shanum, kamu tidak apa-apa?” Guru wanita di depanku ini menatap dengan khawatir.
Aku mengangguk.
Memang, kerongkonganku sudah tidak apa-apa. Bahkan mungkin lambungku juga baik-baik saja. Tapi ... perasaan berdebar macam apa ini?
“Aku tidak apa-apa,” jawabku sambil mencoba menyelaraskan napas.
Nasi soto dengan kuah hangat dan limpahan daging ayam itu seakan tak membuatku berselera.
Dalam otakku kini telah memikirkan banyak kemungkinan, yang pada ujungnya aku dan hatiku masih belum bisa menerima. Jika benar-benar yang datang menjadi pengganti ketua yayasan ini adalah ... anak Bu Laura.
Aku sudah melupakannya.
Selama ini aku baik-baik saja!
Tapi aku masih belum siap untuk bertemu kembali dengan ... mantan suamiku.
Salah satu anak dari ketua yayasan pusat ini adalah mantan suamiku.