Aku melompat dari kasur saking terkejutnya. Bagaimana bisa aku tidur satu kasur dengan ustaz Ali. Aku menutup mulutku yang menggangga. Ya Allah, apa itu tandanya aku sudah tidak suci? Astaghfirullah, sampai lupa, kamu sudah menikah, Hafshah.
Nikmati saja, jangan banyak protes, cukup, jangan terkejut lagi.
Kuhela napasku pelan. Oke, aku sudah rileks.
Kutatap jam yang menempel nyaman di dinding, ternyata masih jam tiga. Jarang-jarang aku bisa bangun, itu tandanya aku harus gunakan untuk hal baik, salat Tahajud, ya benar.
Langkahku seketika terhenti.
"Jam berapa?" Suara serak, basah, berat. Seram juga ya.
Kulihat dia tidak membuka matanya, tapi kini dia sudah bangun, lucu sekali. Dia seperti anak kecil.
"Jam tiga, Ustaz."
"Aku mau salat Tahajud," ucapnya tanpa berubah posisi. Selonjoran, mata menutup, tangan ditaruh di atas paha.
"Yaudah," ucapku seraya meneruskan langkah untuk pergi ke kamar mandi.
"Kamu juga mau salat?"
Dan lagi-lagi langkahku terhenti.
"Iya."
"Nanti bareng, ya?"
"Iya."
Oh Allah, kenapa manis sekali makhluk-Mu ini. Rasanya aku ingin menjenggut rambutnya, menggemaskan.
***
Tubuhku gemetar saat melihat dia menggelar sajadah di depan sajadahku. Dia masih diam saja, mukanya menampakkan kalau ia masih mengantuk.
Dia mengeraskan suaranya, tidak terlalu keras, hanya orang yang berada di kamar saja yang bisa mendengar. Suaranya lirih, merdu dan menenangkan. Aku sampai menitihkan airmata saat ia membaca surah Al-Qoriah dengan suara lirih, aku benar-benar merinding.
Sujud terakhirnya sangat lama. Aku tidak tahu doa apa saja yang ia untaikan, pada intinya, aku yakin, saat ini dia pasti sedang sedih.
Setelah salam dia berdoa cukup lama. Aku berharap, namaku ada di salah satu doanya.
Aku pejamkan mataku sebentar, berdoa untuk mama, semoga tenang di alam sana, untuk ayah, aku berharap dia bisa terus sehat dan bahagia, untuk kakak-kakakku, semoga mereka bisa menggapai cita-cita mulianya, dan untuk suamiku, semoga kita bisa terus bersama dalam keadaan yang diridhai Allah.
Tubuhku tidak bisa digerakkan. Ada yang memelukku sangat erat. Siapa lagi kalau bukan suamiku.
"Ustaz kenapa?" tanyaku gugup.
Wajahnya menelusup di bahuku, aku bisa merasakan kalau dia menggeleng pelan.
"Aku rindu umi, dahulu bahunya selalu kujadikan tempat penenang di saat kugundah. Kamu, aku merasa tenang saat memelukmu," ucapnya pelan.
Hatiku mencelos. Itu berarti dia sedang gundah saat ini. Aku merasa tersanjung saat dia mengatakan itu, tapi entah mengapa hatiku ikut merasa sakit mendengar ucapannya.
Dia melepas pelukannya, dia menatap wajahku dengan jarak yang sangat dekat. Kulihat wajahnya sangat bersih dan lembab, tapi, matanya memerah.
"Maaf membuatmu takut," ucapnya seraya menjauh.
Hatiku terasa terhantam, apa dia sedih tidak mendapat pelukan balasan dariku? Aku sama sekali tidak takut, tapi kenapa dia merasa kalau aku takut kepadanya.
Dia kini membelakangiku. Aku jadi merasa bersalah.
Perlahan tapi pasti, aku mendekat ke arahnya, kupeluk tubuhnya dari belakang, kusandarkan kepalaku di punggungnya.
"Aku enggak takut kok sama kamu," ucapku seraya mempererat pelukan.
Dia mengelus tanganku yang kini berada di perutnya. Dia melepas pelukanku, ia berbalik dan langsung memelukku. Aku segera membalas pelukannya, semoga dia bisa tenang setelah ini.
"Aku mencintaimu, menyayangimu, isteriku."
Aku tidak bisa menahan senyum. "Aku juga."
***
Hari ini aku berangkat sekolah bersama Ustaz Ali. Jantungku berdegup kencang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temanku nanti.
"Kalau ada yang tanya aku harus jawab jujur atau enggak?" tanyanya.
Aku terdiam. Aku juga bingung harus seperti apa.
"Baiklah, aku akan diam jika ada yang tanya."
"Tapi kalau kita sembunyiin malah jadi masalah ke depannya, Ustaz," ucapku ragu.
"Hm, yaudah aku bakal ngaku aja."
"Tapi kalau kita mengakui di depan umum, aku takut kena bully-an."
Ustaz Ali menghela napas, ia melirikku sekilas. "Lalu aku harus apa?"
Aku menggaruk telungkukku yang tidak gatal, aku bingung sekali harus apa.
Tiba-tiba dia mengelus puncuk kepalaku. "Biar aku yang mengakuinya, jika kamu ditanya, kamu cukup diam atau katakan tanya saja kepadaku."
Sudahlah, biarkan saja kenyataan diketahui. Lagi pula apa yang membuatku malu mengakuinya, toh suamiku tampan, guru favorite, seharusnya aku bangga, ayolah, Hafshah.
Akhirnya aku mengangguk nurut. Semoga saja bayangan buruk yang terus menghantuiku tidak menjadi kenyataan.
***
Aku dan Ustaz Ali sampai di sekolah sangat pagi. Aku mengikuti jadwal datangnya, biasanya aku akan mengulur waktu agar saat sampai tidak lama setelahnya bel.
Tapi ada untungnya, parkiran masih sepi, dan itu tandanya, hari ini aku tidak akan menjadi topik utama pergibahan karena satu mobil dengan ustaz Ali.
Saat ia memberhetikan mobilnya di parkiran, aku segera turun. Aku tidak boleh jalan beriringan dengannya di sekolah.
Langkahku terhenti, ia memanggil namaku. Aku menoleh. Ia mengerutkan kening.
"Kemarilah."
Aku menghela napas pelan. Aku melangkah mendekat lagi ke arahnya.
"Apa, Ustaz?"
Tiba-tiba dia menjabat tanganku, lalu ia seakan mengajariku untuk menyaliminya. Ya Allah, aku lupa.
Aku menunduk saat ia melepas jabatannya. Ia tersenyum ke arahku, tapi aku langsung menunduk.
"Maafin aku, ya ...," ucapku.
Dia mengelus puncuk kepalaku. "Lain kali biasain, ya."
Aku mengangguk nurut.
"Yaudah, gih ke kelas, aku ke ruang guru, ya."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk menurut.
***
Sesampai di kelas masih sangat sepi, baru ada aku dan dua orang teman perempuanku. Selama kelas sebelas aku lumayan dekat dengan perempuan bernama Bilqis, saat Mala sibuk tidur atau bicara dengan orang lain, Bilqis selalu menemaniku.
Bilqis sangat lucu, dia sering melawak, dan anehnya setiap lawakannya selalu membuatku tertawa.
Baru saja diceritakan, anaknya kini sudah datang. Dia tersenyum lebar saat melihatku sekolah kembali. Dia berlari ke arahku lalu memelukku.
"Cacaku udah masuk," ucapnya seraya melepas pelukannya.
Aku tersenyum semanis mungkin.
"Kamu kenapa enggak masuk?" tanyanya seraya menaruh tas di atas meja lalu duduk di sampingku.
"Ada acara."
Dia menganggukkan kepala. "Kemarin kamu dicariin kak Barra tau."
Seketika jantungku berdegup kencang. Lupakan deretan laki-laki idaman, lupakan, Hafshah, lupakan.
"Ada apa?" tanyaku sok tidak perduli.
Bilqis menggedikkan bahu. "Aku tanya ada apa dia malah langsung pergi."
"Dia ke kelas?"
Lagi-lagi Bilqis mengangguk. "Iya."
Pembicaraan kami terputus saat tiba-tiba Mala datang lalu berhamburan memelukku. Aku kira dia marah kepadaku karena aku digosipin dekat dengan ustaz Ali. Ternyata tidak.
"Kamu kok baru masuk sih, Ca?" tanyanya seraya duduk di bangkunya yang berada di depanku. Dia memutar tubuhnya ke arahku.
"Iya, La, ada acara," ucapku sambil tersenyum.
"Eh, tadi aku lihat ustaz ganteng masuk lho," ucap Bilqis.
Aku tersedak air liurku sendiri, apa katanya, ustaz ganteng?