Entah mengapa hari ini aku benar-benar semangat. Dan salah satu faktornya adalah pelajaran Bahasa Arab, ternyata yang mengajarnya itu guru baru yang ketampanananya tidak bisa diragukan lagi. Kelas malah menjadi riuh saat guru itu memasuki kelas, mayoritas para perempuan yang heboh.
"Kalau kelasnya masih berisik saya tidak akan memulai pelajaran." Dia benar-benar datar. Seperti tembok berjalan.
Seketika kelas menjadi sepi.
"Baiklah, terima kasih. Silahkan berdoa terlebih dahulu, ketua kelas siapkan!"
Selesai membaca doa dia mulai berbicara kembali. Aku fokus memperhatikannya.
"Saya akan mengenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Muhammad Ali Jindan. Panggil saja Ali asal jangan Jin. Saya manusia bukan Jin."
Hahaha lucu sekali, wajah datar sepertinya mau melawak? Sungguh itu sangat ... tidak lucu.
"Ada yang mau bertanya? Silahkan, hari ini hanya ada sesi tanya, bebas, asal jangan ngelantur, saya usahakan akan menjawab semua pertanyaan kalian. Yang ingin bertanya bangun, sebut nama, baru bertanya."
"Saya, Ustaz. Nama saya Alya," ucap Alya teman satu kelasku yang duduk paling belakang. "Ustaz, udah punya calon isteri belum?" tanyanya enteng. Semua heboh menertawakan pertanyaan Alya.
Dia tersenyum singkat. "Belum, saya belum kepikiran ke sana, biar abi saja nanti yang pilihkan, ada lagi?"
"Saya, Ustaz." Sejak kapan aku berani seperti ini, aku malah kikuk saat bangkit, Mala pun terlihat tidak percaya melihatku bangun.
Dia menatapku, menunggu pertanyaan yang terlontar dari mulutku.
"Kenapa Ustaz ngajar Bahasa Arab, padahal lulusan Jerman?" Aku langsung duduk.
Dia menganggukkan kepalanya. "Menarik untuk saya bahas, siapa namamu, oh ya kamu belum menyebutkan nama. Bangun lagi."
Dengan malu-malu aku bangun kembali. "Nama saya Hafshah Mumtaza." Aku langsung duduk kembali.
Dia mengangguk. "Saya memang kuliah di Jerman, jurusannya pun tidak seiras dengan pekerjaan baru saya ini. Karena yang meminta saya mengajar Bahasa Arab abi saya, mau seperti apapun, saya akan menurut. Karena hanya dia yang akan saya banggakan setelah umi meninggal, setiap ucapannya saya akan kabulkan selagi saya sanggup."
Aku tekagum-kagum dengan jawabannya. Mungkin kalau jantungku bisa dikeluarkan sementara, jantung itu akan terlihat kembang kempis menahan gejolak keterpesoanaan versi cewek baperan kayak aku.
Setelah pertanyaanku banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya, hampir semua siswi di kelasku bertanya. Dan hanya pertanyaankulah yang bermutu, semua pertanyaan siswi di kelasku rata-rata menyiratkan keterpesonaan mereka melalui pertanyaan. Dasar perempuan, suka sekali menebar kode-kode.
Tidak terasa dua jam berlalu begitu cepat. Bel terdengar melengking-lengking di indera pendengaranku.
"Baiklah, karena sudah bel, berarti sesi tanya sudah selesai, sampai bertemu kembali di hari Kamis, pelajaran saya ada di hari Kamis dan Senin. Wassalamu'alaikum."
Saat sosok itu hilang dari pintu keluar, siswi yang ada di kelasku teriak-teriak heboh.
Gile ganteng banget ....
Auto rajin masuk ....
Dan lain sebagainya ....
Aku dan Mala hanya saling diam. Memuji guru muda bernama Ustaz Ali itu dalam diam.
***
Hari ini aku pulang dijemput kak Farhah, kakak perempuanku. Aku ini anak ke tiga dari tiga bersaudara. Kakak perempuanku berkuliah, kakak laki-lakiku juga berkuliah, hanya aku yang masih sekolah.
Kakak perempuanku kuliah di Jakarta sementara kakak laki-lakiku kuliah di Solo, otomatis dia masih menetap di rumah lama bersama kakek dan nenekku.
"Gimana? Udah mulai nyaman sama sekolahnya?" tanya Kak Farhah di sela kemudinya.
"Ya gitu deh, Kak, kadang seru, kadang ya ... gitu, asing. Mungkin adaptasi versi aku belum cukup dalam waktu tiga bulan."
Aku bisa merasakan kalau Kak Farhah itu tersenyum di balik helmnya. Kakak perempuanku ini orangnya lembut sekali, dia tidak pernah ngomel, cuma ... kalau marah kata-katanya lembut tapi nusuknya sampai ke rongga-rongga tidak kasat mata, jleb.
Coba aku, aku ini dulu banyak tingkah, suka ngelawak, banyak omong, banyak berbohong. Tidak tahu kenapa, seakan sudah mendarah daging waktu itu. Mulutku rasanya keram, kesemutan, segala macam deh kalau tidak seperti itu.
Alhamduillah, sekarang aku sudah bisa lebih menjaga lisan. Ternyata ada untungnya aku ditaruh di tengah-tengah orang asing, aku jadi lebih banyak diam.
Ternyata benar, bahwa setiap peristiwa itu pasti mengandung hikmah. Aku merasakannya sekarang. Banyak hikmah yang aku petik dari tiga bulan tinggal di kota baru, sekolah baru, tetangga baru, teman baru, bahkan rumah baru. Akan lebih mudah bagiku untuk merubahnya dari nol, karena mereka tidak mengenalku.
Coba aku berubah seperti ini di daerahku, aku pastikan sudah jadi trending topik satu kampung. Hafshah si brusukan jadi orang disiplin.
***
Aku senang sekali saat tahu kalau Ayahku membelikanku sebuah baju gamis berwarna hitam. Meski aku tidak suka warnanya, setidaknya Ayah membelikanku baju di saat aku sedang butuh baju. Baju-bajuku sudah banyak yang kecil.
"Ayah beli di mana?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku, Ayah malah menatap Mama seolah minta jawaban atas pertanyaanku.
"Ini pemberian dari seseorang. Kamu tidak perlu tahu siapa orangnya, ada masanya kelak kamu bakal tau," sambar Mama.
Aku melihat wajah Mama lekat-lekat. Seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dariku. Wajah Mama terlihat berbeda. Bibirnya terlihat begitu kering, celak matanya menghitam, kulit kuning langsatnya memucat.
"Mama lagi enggak sakit, kan?" tanyaku sambil mendekat ke arah Mama. Aku sudah tidak memperdulikan lagi baju gamis baru tadi.
Dia menebar senyum, wajahnya yang sudah menua seakan kembali muda. "Enggak papa, Mama cuma capek aja, Mama istirahat dulu, ya."
Ayah merangkul tubuh lemas Mama, perlakuan Ayah ini menambah kegelisahanku. Aku takut ada hal-hal yang disembunyikan dariku mengenai keadaan Mama.
Baru saja aku ingin melangkah mendekat, tapi urung saat ada tangan lembut menggenggam pergelangan tanganku.
Kak Farhah menggeleng. "Kamu juga istirahat, jangan ganggu Mama, mungkin Mama lagi capek, masuk kamar, gih."
Aku menghela napas berat sebelum akhirnya melangkah maju ke arah kamarku yang terletak di lantai dua bagian ujung.
Sesampai di kamar aku langsung meringkukkan tubuhku di kasur. Pikiranku dipenuhi dengan segala tebakan tentang keadaan Mama.
Aku pernah mendengar guruku sewaktu di MTs bilang, kalau hati sedang gelisah, galau, merana, cara menghilangkannya dengan cara berwudu, salat, lalu baca Al-Qur'an. Aku langsung bergegas untuk melakukannya.
Setelah malaksanakan itu aku bisa membuktikannya secara langsung. Benar. Semua yang diucapkan guruku memang benar. Aku merasa bodoh, sangat bodoh, mengapa tidak sejak dulu aku melakukan ini saat aku gegana (gelisah, galau, merana) karena sebab musabab yang tidak jelas dahulu. Ah ... memang semua hanya bisa disesali.
Masa lalu telah pergi, yang kita tunggu adalah masa depan. Masa depan memiliki dua belokan. Masa depan yang indah dan masa depan yang buruk. Bagaimana mendapatkan masa depan yang indah? Kita lakukan perubahan di masa kini.
***
Di pukul sepuluh malam aku lihat kak Farhah dari kejauhan sedang melamun, televisi menyala tapi tatapannya bukan ke televisi. Aku lihat dia memejamkan mata seolah sedang memendam banyak masalah. Apa yang terjadi dengan kakakku ini.
Mungkin dia kesepian, lebih baik aku menghampirinya agar ia tidak kesepian lagi.
"Kak, kok belum tidur?" tanyaku ketika sudah ada di lantai satu.
Dia menoleh, senyuman langsung tercetak di wajah cantiknya.
"Kakak enggak bisa tidur. Kamu sendiri kenapa belum tidur?"
Aku duduk di sampingnya. "Sama, aku juga enggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Aku lagi mikirin mama, mama kenapa sih, Kak?"
Tiba-tiba senyuman di wajah cantik Farhah meluntur. Ia menyenderkan kepalanya di sofa. "Jangan tanya itu ke Kakak. Kalau kamu mau tau jawabannya, carilah sendiri sama mama atau ayah. Tapi jangan sekarang. Tunggullah waktu yang menjawab."
"Keluarga kita lagi kenapa sih, Kak? Aku mencium aroma pembohongan di rumah ini."
Bukannya menjawab Kak Farhah malah menertawaiku. "Mencium aroma apa? Ketek kamu? Kamu belum mandi kali."
Sudahlah, aku tahu Kakak sedang menyembunyikan masalah dengan tawaan.
"Apa kalian masih menganggap aku kecil, ya? Makanya aku enggak boleh tahu masalah kalian? Padahal, kan, aku juga keluarga kalian?" Entah mengapa aku merasa sedih diperlakukan seperti ini.
Tawa di wajah Kak Farhah sirna perlahan. "Jangan paksa hal yang tidak seharusnya aku katakan terlontar dari bibirku ini. Sudahlah, mending kamu tidur. Kakak duluan." Setelah mengatakan itu Kak Farhah langsung pergi meninggalkanku.
Tunggu, tanpa meminta bantuan Kakak aku yakini kalau aku bisa membongkar semuanya sendiri. Aku tidak suka pembohongan. Apalagi yang membohongi keluargaku sendiri.
Mengapa aku tidak boleh tahu masalah mereka? Aku ini kan keluarga mereka juga, apa salahnya mereka membagi ceritanya kepadaku? Aku bukan Hafshah kecil lagi, aku sudah memiliki perasaan, aku juga sudah pandai menjaga rahasia. Mengapa aku selalu saja dianggap kecil oleh mereka.
"Hafshah, tidur." Suara dingin dan datar itu berasal dari kamar kakakku yang letaknya di lantai satu dekat tempat di mana aku berada sekarang.
"Ya." Setelah mengatakan itu aku langsung melangkahkan kaki menuju kamarku. Aku harus tidur, besok aku harus berangkat sekolah.