Minggu pagi, langit tampak cerah dan udara terasa sangat sejuk. Allea menatap ibunya dengan sorot lembut, berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu tengah asik membersihkan rumput-rumput kecil di halaman samping rumah. Sudah lama sekali Allea tidak membantu merawat kebun sayuran mereka semenjak ia sibuk bekerja.
"Ibu," panggil Allea, "apa ibu ingin aku belikan bibit tanaman lain? Seperti sawi hijau atau paprika," tawar Allea, tentu saja ia mencari topik yang pas untuk membuka obrolan.
Tidak ada sahutan dari wanita itu, ia terus mencabuti rumput seolah hanya kesunyian yang ada. Ia tidak mendengar apapun, tidak pula suara parau Allea berusaha mengajaknya berbicara.
Allea mendesah dengan tarikan napas panjang, sungguh ia merasa lelah dengan sikap ibunya. Tetapi gadis itu tidak ingin cepat berputus asa, ia harus memaksa ibunya untuk segera melepas endapan-endapan yang mengeras dalam hatinya tentang masa lalu. Beban itu tidak hanya milik si ibu, tetapi miliknya juga.
"Aku mencintaimu, Ibu, sangat," ucap Allea, ia melangkah ke samping ibunya dan ikut berjongkok. "Apa Ibu bahagia memilikiku?"
Satu pertanyaan memecah sunyi, kedua mata wanita yang Allea cintai itu kini menatapnya lekat. Ia mencari manik hitam di mata Allea, seakan ingin menemukan jawabannya sendiri di sana. Ia melihat pantulan wajahnya di mata Allea yang bening, mata penuh kejujuran, mata yang sama seperti matanya, ada jutaan kasih sayang, puluh jutaan, ratusan juta, miliaran ... kini ia terguguh dan mendapat jawabannya sendiri bahwa Allea adalah dunianya. Dunia tempat ia bertahan hidup hingga saat ini.
Kedua tangannya yang kotor oleh tanah terulur memegangi pipi lembut Allea dan mengatakan dengan kedua mata yang sudah basah sejak tadi. "Ibu mencintaimu sejak tahu kamu hidup dalam rahim Ibu, Nak. Cinta Ibu sepanjang waktu. Kasih Ibu tak pernah putus. Kau anugerah dari Tuhan yang pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa Ibu akan memiliki seorang putri yang cantik sepertimu."
"Apa ibu pernah membenciku?"
"Tidak pernah, meski Ibu menyadari laki-laki itu tidak memiliki hati."
"Apa Ibu masih membenci Ayah?" Sekali lagi Allea bertanya tentang perasaan ibunya.
Allea melihat ibunya menggeleng lemah dan mengatakan, "Benci itu sudah berakhir, Allea. Sudah lama sekali." Ia menarik tangannya, dan mengangkat tubuh untuk berdiri dari duduknya dengan susah payah. Allea segera membantu.
Allea ikut berdiri, ia hanya melihat ibunya menuju keran air di ujung taman dan mencuci kedua tangannya di sana. Tubuh itu masih kuat dan gagah, hanya saja ia terlihat lebih tua dan rapuh karena duka, penderitaan yang ia sendiri enggan mengobati. Ibunya pernah mengatakan, kerinduan yang mendalam akan menggerogoti tubuh, jiwa, dan dapat pula membunuh secara perlahan. Hanya satu yang mampu menyebuhkan, yaitu sebuah pertemuan.
Ada rahasia yang ia tutup rapat-rapat. Ia simpan sendiri dalam peti di bilik hati. Allea tidak tahu, kapan ibunya dengan suka rela berbagi rindu dengannya, berbagi harapan bahwa ia masih mengharap sebuah bayang.
Wajah Allea mendongak, sinar matahari mulai meninggi. Ia masuk ke rumah menuju dapur. "Bu, masuklah, aku memanggang roti untukmu, kali ini kutambahkan selai cokelat dan taburan keju kesukaan Ibu." Suara Allea terdengar dari jendela dapur yang terbuka. Ia tampak sibuk menyiapkan piring di atas meja makan.
Ibunya tersanyum menatap ke arah jendela dapur dengan mata menyipit, cahaya matahari menyilaukannya. Tetapi ia merasa lebih baik saat panas matahari menjalari tubuh dan membuatnya berkeringat.
***
Perasaan Allea sekarang jauh lebih ringan, ia melihat sinar itu kembali di wajah ibunya.
"Minggu ini, hari paling membahagiakan bagiku, Bu." Allea berkaca-kaca, ia tidak tahan untuk mengungkapkan perasaannya. "Tapi aku lebih bahagia lagi jika Ibu berbagi rasa denganku, maksudku ... aku ingin Ibu menganggapku wanita dewasa seperti teman. Bisakah aku jadi pendengar yang baik atas setiap masalah yang Ibu hadapi? Ayolah, usiaku sudah lebih dari 17 tahun, Bu. Aku bahkan sudah memiliki KTP. Aku juga ... sudah punya pacar." Allea terkekeh saat mengakhiri ucapannya, sampai-sampai membuat ibunya terkejut.
"Benarkah?" Wanita itu seakan tak percaya.
Allea beranjak dari duduknya, roti panggang sudah matang. Allea membuka oven dengan hati-hati, aroma roti panggang yang ia buat membuat perut siapa saja menjadi lapar. Allea segera menaruh roti ke dalam piring yang sudah tersedia di atas meja.
"Aku tidak pernah sepercaya diri seperti ini membuat roti. Roti buatan Ibu jauh lebih sempurna dari hasil buatanku sebelumnya." Allea masih sibuk meletakkan nampan panggangan roti di meja dapur, kemudian kembali duduk di hadapan ibunya sembari memotong roti.
"Kamu bicara terlalu banyak, Allea. Bagaimana soal ... pacarmu tadi?" Tanggapan ibunya membuat Allea kembali tersadar soal 'pacar' yang ia ucapkan tadi. Tiba-tiba ia merasa menyesal.
"Lupakan, Ibu. Aku hanya membual soal pacar-ku itu. Tidak ada laki-laki yang berani memacari anakmu ini. Percayalah, mana ada yang sudi dengan gadis miskin yang bahkan ayahnya sendiri tak menginginkannya."
"Allea!"
"Oh, Ibu, maafkan aku."
Allea dan ibunya terdiam. Tidak ada kata-kata apapun selama beberapa menit. Gadis itu tahu ibunya kecewa.
"Dengar, hidup miskin bukanlah aib, Allea. Walaupun tidak ada ayah di antara kita, tapi kamu masih punya ibu." Ada ketegasan dalam nada bicara wanita itu, ia tidak ingin Allea terus mengutuk dirinya sebagai anak yang tidak diinginkan. "Ibu selalu bangga padamu," ucapnya lagi.
"Kamu cantik, kamu mirip seperti Ibu saat masih muda. Bahkan, Ibu sendiri seakan tidak percaya mengapa begitu banyak kemiripan di antara kita. Setahu Ibu, kebanyakan anak perempuan, dominan lebih mirip ayahnya ketimbang ibu."
"Itulah sebab mengapa aku berbeda. Tuhan tahu aku sangat mencintai Ibu, bukan ayah," timpal Allea cepat.
"Tapi kamu tidak boleh membenci ayahmu terlalu dalam, Allea. Bagaimanapun juga, laki-laki itu ayahmu."
Allea terdiam. Ia tidak tahu lagi harus bicara apa untuk menangkis ucapan ibunya. Ia masih belum menerima kenyataan mengapa ia dan ibunya harus dicampakkan.
Allea kembali mengingat saat ia berusia 10 tahun, berdiri di sisi ibunya dengan wajah memucat. Ia mendapati kenyataan pahit saat berhadapan langsung dengan seorang laki-laki yang ia panggil ayah saat itu.
"Saya tidak memiliki anak darimu, Arini. Saya rasa ... itu anak laki-laki lain," ucap laki-laki itu tepat di hadapan Allea. Saat itu juga ibunya terisak-isak.
Sebagai anak berusia 10 tahun, ia cukup mengerti bahwa dirinyalah yang dimaksud. Ia menyadari bahwa ayah kandungnya tidak akan menganggapnya sebagai anak. Ia dicampakkan begitu saja.
Allea tidak menangis, tidak pula berkata apapun di hadapan ayahnya saat itu. Ia tidak tahu kebenaran berada di pihak yang mana. Tetapi ia percaya, ibunya tidak akan pernah berbohong. Ibunya mengatakan, suatu saat takdir akan menyadarkannya.
Allea tidak tahu apa itu takdir. Akan bagaimana dan seperti apa. Yang ia tahu, adalah menunggu. Menunggu keajaiban Tuhan, kapan sang ayah mencintainya.
"Jangan terlalu dicemaskan. Roti panggangmu bisa habis disantap para semut berandal jika tidak segara dihabiskan."
Allea mengerjap, ia melihat isi piring ibunya sudah bersih sedangkan roti panggang miliknya masih menyisakan setengah potong. Cokelat lumer di dalamnya terlihat tampak menggoda.
"Ibu, berjanjilah agar selalu mencintaiku," pinta Allea sebelum menjejalkan sepotong roti ke dalam mulutnya. "Berjanjilah tidak pergi dariku," ucapnya lagi dengan mulut penuh, "Terima kasih sudah mencintaiku dengan tulus," lanjutnya, tanpa melepaskan pandangan dari wajah ibunya, bibir wanita itu tersenyum ... lalu terisak penuh rasa bahagia.