Allea disibukkan membawa file beserta buket bunga mawar besar menuju meja kerjanya. Hatinya sangat riang. Ia tidak akan bisa melupakan bunga-bunga mawar itu memenuhi ruangan Andreas, membuatnya betah berlama-lama walaupun bosnya berbicara panjang lebar seperti pidato kelulusan sekolah.
"Allea!" panggil seseorang. Allea terkejut, Thalita sudah ada di belakangnya, kedua mata gadis itu menatapnya penuh kebencian. Hingga ia melihat buket bunga mawar dalam dekapan Allea.
"Dasar penjilat!" teriak Thalita, kedua tangannya merampas buket bunga mawar milik Allea, beberapa kuntumnya hancur dan membuat kelopak-kelopak itu berserak di lantai.
Beberapa pasang mata menyaksikan kemarahan Thalita pada Allea, ia tidak hanya merampas bunga, Thalita sempat menarik rambut panjang Allea kuat-kuat.
"Lepaskan!" jerit Allea menahan sakit akibat rambutnya yang ditarik kuat. "Kau sudah tidak waras, Thalita!" maki Allea masih berusaha menjauhkan tangan Thalita. Beruntung, kebrutalan Thalita segera diamankan oleh beberapa karyawan yang datang melerai.
Wajah Allea memerah, ia hampir menangis dan merasa takut. Tubuhnya gemetar mengingat betapa mengerikannya kekasih bosnya itu.
"Allea!" Vino berlari cepat menghampiri Allea, disusul Sandra di belakangnya. Kedua temannya itu menatap Thalita gusar.
"Beberapa orang melapor kamu bertengkar dengan Thalita," ucap Vino cemas, ia segera merangkul Allea. Tubuh gadis itu gemetar dan akhirnya iya tersedu di d**a Vino.
Sandra menatap Vino. Ia pikir kejadiannya tidak akan seperti ini. "Kau memang penggosip paling menyedihkan, Thalita. Kau pikir dirimu siapa, Hah? Jangan harap Pak Andreas akan memaafkanmu jika ia tahu Allea sudah disakiti." Sandra menatap tajam wajah Thalita.
"Pergi kalian semua, pergi!" usir Thalita murka, gigi-giginya beradu menyuarakan gemeletuk keras. "Jangan sentuh aku!" teriaknya pada salah seorang karyawan yang masih berjaga-jaga agar Thalita tidak lagi bertindak kasar.
Sandra memberi kode agar semua yang ada di sana bubar, dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa orang melenggang pergi membawa rasa penasaran seperti apa kelanjutan tontonan gratis mereka.
Sandra melihat buket bunga mawar tergeletak di lantai setengah rusak. Lalu menatap ke arah Thalita yang sudah seperti nenek sihir. Sandra mengeluarkan ponsel canggihnya, satu gambar berhasil ia simpan. "Tinggal pilih, minta maaf atau dipecat?" Mata Sandra mendelik ke arah Thalita.
"Kau harus bertanggung jawab atas semuanya." Kali ini Vino menambahkan sebelum ia mengajak Allea yang masih terguncang kembali ke meja kerja. Ia akan segera menenangkan gadis itu segera.
Vino memberi tahu Sandra, ia akan membawa Allea. "Susul aku setelah kamu membereskannya," ucap Vino.
Sandra mengangguk, tetapi matanya tak lepas menatap Thalita.
"Sudahlah, Sandra. Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Kau juga membenci Allea, aku tahu itu. Kau tidak menyukai gadis lugu itu sampai kau berani menyebarkan gosip tentang Allea dan Pak Andreas. Kau orang paling munafik di kantor ini!" Suara Thalita sengaja dikeraskan, ia berharap banyak yang mencuri dengar ucapannya.
Raut wajah Sandra seketika berubah. Ia tidak menyangka Thalita mengetahui kebenarannya. Kini ia tampak ragu.
"O, ya. Soal kau menyebarkan gosip itu, Pak Andreas pun sudah tahu. Kau tinggal menunggu waktu, kapan angkat kaki dari kantor ini. Jangan terlalu sombong dengan posisimu, Sandra, tidak lama lagi Allea akan melangkahimu!"
Lagi-lagi Sandra terdiam. Ia merasa kata-kata Thalita ada benarnya. Tetapi ia tidak begitu membenci Allea, soal gosip itu ia hanya ingin sedikit bersenang-senang.
Sandra meraih buket buket bunga yang masih tergeletak di lantai. Wangi segarnya begitu menyenangkan.
"Aku tidak ingin berdebat denganmu, Thalita. Kasus ini biar kuserahkan pada Bayu, ia lebih berhak menangani perihal ini." Sandra memutar tubuhnya dan segera meninggalkan Thalita dengan membawa buket bunga mawar.
Thalita menghentakkan kakinya kesal, ia bertingkah seolah ingin mencekik leher Sandra kuat-kuat. Tidak ada yang peduli pada gadis itu, semua karyawan seolah tidak melihat atau mendengar apapun. Kecuali teman-teman geng gosipnya.
***
Saat Sandra tiba di meja kerja Allea dan Vino, ia meletakkan buket bunga mawar di atas meja kerja Allea. Ia melihat kedua mata Allea sembab, tetapi ia terlihat lebih baik. Vino berhasil menenangkan Allea.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Vino pada Sandra.
Sekretaris itu tersenyum miring, ia merasa tersanjung Vino perhatikan, tetapi tidak yakin mengingat laki-laki itu memang mempunyai sifat kepedulian yang tinggi pada siapapun.
"Tidak ada kekurangan apapun, hanya saja ... kita harus waspada pada si binal itu."
"Dia hanya cemburu kurasa." Vino menambahkan.
Allea menatap Vino, "Harusnya itu tidak terjadi. Ia sempat mengatakan bahwa mereka akan bertunangan," kata Allea, ia menceritakan apa yang ia dengar tadi pagi saat mereka berada di ruangan Andreas.
Mulut Sandra terbuka lebar, ia sangat terkejut mendengar ucapan Allea. Sedangkan Vino hanya menggeleng tak percaya.
"Aku tidak tahu kebenarannya, aku hanya mendengar dari mulut Thalita, sedangkan Pak Andreas belum mengatakan apapun soal pertunangannya," jelas Allea lagi.
"Dan kamu percaya?" Sandra dan Vino hampir bersamaan.
"Entahlah, aku tidak peduli." Allea menjawab malas.
Vino menatap Allea, ia tidak yakin dengan jawaban gadis itu. Ia berharap Allea bersungguh-sungguh dengan ketidakpeduliannya itu.
Ponsel Sandra berdering, seseorang meneleponnya.
"Dari klien baru," bisik Sandra pada Allea dan Vino sebelum ia permisi meninggalkan kedua temannya.
"Sandra tampak bahagia saat melihat siapa yang menelepon." Allea mengatakannya begitu saja saat Sandra sudah menghilang dari pandangan.
Bahu Vino terangkat.
"Laki-laki memang tidak pernah peka." Allea memutar bola mata.
"Aku sudah selesai dengan Sandra, jadi untuk apa aku terlalu memperhatikannya?"
"Aku tidak berusaha membuatmu cemburu. Sekedar mengatakan saja, ia tampak seperti orang jatuh cinta." Allea mengatakan itu karena ia sempat melihat rona merah di wajah Sandra. Beberapa hari ditugaskan Andreas menemani Klien, mungkin ada sesuatu yang membuatnya memiliki debar yang berbeda.
Allea tahu, bagaimana sikap dan reaksi wanita saat ia tengah merasakan perasaan aneh bernama ... cinta. Entah mengapa ia memikirkan Andreas bersamaan dengan rona bahagia di wajah Sandra.
***
Setelah mendapat laporan dari Bayu--atas perintah Sandra--tentang keributan yang terjadi kemarin siang, kemarahan Andreas memuncak. Ia tidak tahan lagi ingin menyelesaikan semuanya. Pagi-pagi, setelah Andreas memarahi Sandra karena terlalu lelet mengorek semua informasi tentang Allea, kini ia menyeret Thalita ke ruangannya yang lain. Ia tidak ingin Thalita melihat banyak bunga mawar dalam ruang kerja utamanya.
Penampilan Andreas tampak kacau. Bima pernah mengatakan, ketika perasaan kita sedang buruk, kau akan menyadari bahwa wajah akan ikut terlihat kusut. Sahabatnya itu benar, Andreas sangat lelah akhir-akhir ini. Tepatnya setelah insiden memualkan di bar malam itu. Berkali-kali Andreas mengutuk diri sendiri mengapa ia sampai mencium gadis menjijikkan seperti Thalita.
Di mulai dari malam itu, Thalita memanfaatkannya. Ia memaksa agar Andreas mau menjadi kekasihnya, jika tidak, ia akan menyebarkan gosip bahwa ia sudah dihamili oleh Andreas. Andreas sendiri paham betul, Thalita memiliki seribu topeng, tetapi taktik gadis itu terlalu mudah untuk dipatahkan. Andreas punya caranya sendiri bagaimana seharusnya menghadapi ular.
Tatapan Andreas tertuju pada Thalita yang masih berdiri tak jauh darinya. Gadis itu terlalu keras kepala. Ia merasa tidak bersalah, dan mengatakan cemburu adalah sesuatu yang wajar.
"Aku mencintaimu, apa salah jika aku cemburu?" Thalita mencoba meraih tangan Andreas tetapi tidak berhasil, Andreas segera menarik tangannya ke belakang.
"Jelas kamu yang salah, Thalita. Dan perlu kamu ingat, kita tidak memiliki hubungan apapun. Kamu tidak lebih dari seorang karyawan bagi saya," jelas Andreas penuh penekanan.
Thalita mendengkus kesal. Ada perasaan benci menyelinap di hati Thalita pada Andreas. "Aku tidak peduli!" ketusnya.
"Kamu harus meminta maaf pada Allea," pinta Andreas, hanya itu yang ia inginkan. Tetapi, Thalita menolak, dia mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Tidak akan pernah terjadi. Aku lebih baik mengundurkan diri bekerja di tempat memuakkan ini daripada harus meminta maaf!" Thalita berang. Pernyataan Thalita membuat Andreas menggeleng-gelengkan kepala, gadis itu benar-benar kepala batu.
"Yah, baiklah. Terserah kamu saja. Keputusan ada ditanganmu sendiri. Dan ... terima kasih sudah bekerja dengan baik selama ini."
"Kau senang aku tidak bekerja lagi?" Thalita tak kalah terkejut. Matanya melotot tak percaya.
Andreas tersenyum miring, ia tidak tega untuk mengatakan sebenarnya. Jadi, dia memperhalus ucapannya. "Tidak sepenuhnya, kerjamu cukup membanggakan, Thalita. Harusnya kamu tetap di sini, tetapi saya tidak bisa menahan jika kamu memilih keluar. Kamu sendiri yang lebih paham, mana keputusan yang lebih tepat untuk diambil."
Mulut Thalita bungkam. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Seketika ia merasa menyesal. Tetapi percuma, ego dalam diri Thalita sangat tinggi.
"Kau akan menyesal, Tuan Andreas. Kau laki-laki berhati beku. Kau menciumku penuh gairah dan kau berpura seakan itu ketidaksengajaan? Hah, dasar tak tahu diri!" Emosi Thalita meluap. Dadanya bergemuruh, hubungannya dengan Andreas tidak bisa diharapkan. Percuma, laki-laki itu tidak peduli akan perasaan Thalita walau gadis itu menangis darah sekalipun.
Andreas tidak ingin berlarut-larut membahas sesuatu yang sama sekali tidak menarik baginya. "Jangan terlalu bermain-main dengan perasaan, Thalita. Saya yakin, banyak pria di luar sana yang menginginkanmu. Saya sangat menghargai perasaanmu, tetapi, untuk menjalin hubungan ke tingkat lebih serius itu mustahil."
"Dasar payah!" umpat Thalita, ia merasa bosan dengan sikap dingin Andreas. "Apa boleh aku keluar ruangan sekarang? Di sini mulai terasa gerah." Thalita melirik kesal ke arah Andreas dan mengibaskan rambutnya dengan gerakan cepat.
"Silakan," jawab Andreas datar. Dengan santai ia membukakan pintu untuk Thalita, agar mempermudah gadis itu keluar ruangan.
Thalita semakin dongkol. Langkah panjangnya meninggalkan ruangan Andreas dengan suara ketukan kakinya yang khas.