Waktu istirahat siang sudah berakhir, ponsel Andreas bergetar di atas meja, sebuah panggilan masuk dari seseorang. Pikiran semrawut dan rasa lelahnya hilang saat melihat siapa yang menghubunginya.
"Bima Sakti!" seru Andreas bersemangat setelah menekan tombol 'terima' di layar ponsel. "Di mana kau? Kebiasaanmu tidak pernah berubah, Kawan." Nada bicaranya bernada kesal yang disengaja. Terdengar sambutan tak kalah seru di ujung telepon, sepertinya mereka memang saling merindukan.
Tidak lebih dari 10 menit, obrolan singkat Andreas dengan teman laki-lakinya itu berakhir. Andreas segera berkemas untuk pulang ke Apartemennya, tidak lupa ia membawa serta kotak surat miliknya.
Langkah Andreas terasa lebih ringan, ia berjalan tegap keluar dari ruangannya dengan siulan kecil yang terdengar aneh bagi si penjaga ruangan. "Saya harus pulang sekarang, jika ada yang ingin bertemu, katakan saya tidak ada di ruangan. Tunda semua janji yang masuk untuk hari ini," jelas Andreas pada penjaga ruangannya, "oh, ya, katakan pada Sandra, suruh ia menelepon saya setelah jam kerja selesai," pesannya lagi, dan laki-laki di hadapannya segera menjawab mantap untuk melaksanakan perintah.
Andreas menyeret langkah cepat-cepat, dengan tangan kanan menenteng kotak berukuran besar yang berisi surat-suratnya sendiri. Langkahnya mengundang perhatian para karyawan, dan selamanya seperti itu. Separuh lebih pekerja wanitanya merasa kagum dengan apa yang ada dalam diri Andreas meski ia terkesan dingin dan tertutup. Kebanyakan wanita menyukai laki-laki pendiam dan sorot mata tajam yang memukau.
Para wanita mempertanyakan mengapa ia tidak tertarik mencari pendamping hidup, sementara wanita-wanita cantik berkelas secara diam-diam mengidolakannya. Tidak ada wanita menolak dipersunting pengusaha kaya, terlebih pria itu tampan. Hanya segelintir wanita, berani secara terang-terangan menginginkannya karena status lajang yang hingga saat ini masih Andreas sandang.
"Siang, Paaak." Banyak karyawan menyapa saat Andreas melintas atau kebetulan berpapasan. Si tua itu hanya menjawab singkat dan tersenyum kecil. Sekiranya ia tidak terburu-buru, Andreas kerap menyenangkan para karyawan yang mulai lelah saat bekerja. Semisal yang sering ia lakukan setiap tanggal tua, "Apa kalian butuh sesuatu yang menyegarkan?" tanya Andreas dengan senyum lebarnya, "kurang setengah jam lagi waktu istirahat siang, bersiaplah untuk minum meminum segar di Caffe seberang. Saya diberitahu ada rasa baru yang wajib kita coba." Andreas mengedipkan mata pada mereka dan segera ia mendapat sorakan dan seruan yang riuh. Mentraktir karyawan sudah menjadi hobi walau sekadar minum atau makan di kantin atau Cafe. Andreas tidak terlalu pelit dalam hal itu.
Baru saja Andreas keluar dari lift lantai dasar, ia berpapasan dengan salah satu manager terbaiknya, Ronald.
"Siang, Pak," sapa Ronald sopan, "kebetulan kita bertemu, ada hal penting yang ingin saya sampaikan," katanya secara langsung, ia tahu Andreas tengah terburu-buru.
"Ada hal apa?" tanya Andreas, langkahnya berenti sebentar.
"Tentang penawaran kerja sama dari sebuah perusahaan yang kemarin sempat mempelajari profil kita, saya rasa beliau tertarik."
Kening Andreas mengerut, ada banyak calon investor dalam bulan ini. Dan beberapanya memang menawarkan kerja sama.
"Siapa?" tanya Andreas singkat.
"Direktur utama PT. Wirautama Indonesia, Bapak Wiranto Putra," ungkap Ronald, ia memberikan file tentang perusahaan orang yang dimaksud.
Andreas menerima file itu dan seraya berterima kasih dan berlalu pergi. Dalam ingatannya, nama Wiranto Putra terdengar tidak asing baginya, tetapi di mana?
***
Andreas sudah duduk santai di ruang istirahat di Apartemennya, bersama Bima. Sahabat yang sejak kemarin Andreas tunggu kedatangannya. Dua cangkir kopi asli kopi hitam Sumatera mereka sesap dengan nikmat. Andreas sengaja menghindari pertemuan di kantor, ia ingin lebih rileks dan nyaman saat bertemu Bima. Sudah lama sekali mereka tidak saling mengunjungi sejak setahun terakhir. Keduanya disibukkan oleh bisnis masing-masing.
Sebenarnya, Andreas sendiri menyukai pergi ke tempat-tempat wisata yang memacu adrenalin bersama Bima, seperti yang sering mereka lakukan semasa muda, tetapi pertemuannya kali ini, memang lebih serius dan Andreas ingin lebih santai.
Sebagai sahabat, Andreas akui, Bima memang bukan sekadar teman, ada keunikan tersendiri dalam diri Bima membuat Andreas menyukainya.
"Dia gadis berbibir penuh bak kelopak mawar merah, tatapan sendunya membuat sendi-sendi lunglai seketika. Cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan keelokkan, ia bidadari tanpa sayap penuh pikat," goda Bima terus membaca serangkai tulisan dalam lipatan kertas yang ia dapat dari saku tas miliki Andreas. Ia terus mengulang sampai hafal. Hingga saat ini pun, Bima masih mengagumi betapa puitisnya sahabatnya itu.
Andreas tergelak saat Bima kembali mengingatkan masa-masa kebersamaan mereka semasa SMA. Andreas si kutu buku yang bercita-cita ingin menjadi seorang penulis. Sementara Bima Sakti penggemar setiap rangkaian kata yang Andreas tulis. Banyak puisi-puisi yang Andreas tulis atas nama Bima--tentu saja Bima merengek memaksa--untuk diberikan pada gadis-gadis incarannya. Bima beralasan; kebanyakan wanita menyukai syair dari para pujangga meski mereka tahu si pujangga itu adalah seorang k*****t sekalipun.
"Terima kasih sudah datang menemuiku, Kawan. Aku benar-benar butuh teman bicara saat ini." Andreas menatap Bima yang tampak masih gagah dan bersemangat.
Bima menyandarkan punggungnya di sofa, melipat kedua tangan ke belakang kepala sebagai sandaran. Ia menoleh pada Andreas. "Kau yang memaksaku untuk datang, Gilang. Tapi aku memang mengkhawatirkanmu. Kau baik-baik saja?"
"Sudah lama sekali aku tidak mendengar seseorang memanggilku dengan nama itu," timpal Andreas, "ya, seperti yang kau lihat. Aku semakin redup dan tua."
Mendengar ucapan Andreas, Bima merasa bahwa sahabatnya itu memang butuh pertolongan. Tetapi ia melihat binar lain dalam sorot mata Andreas, ia lebih kuat di banding sebelumnya. "Kau tampak lebih baik kurasa." Bima berkata jujur.
"Yah," desah Andreas, "hanya karena seorang gadis polos yang baru-baru ini bekerja di kantorku."
"Oh, ya?" Bima bersemangat. Ia mengatur posisi duduknya kembali, kali ini menatap wajah Andreas serius. "Siapa gadis itu? Kau mencintainya, Kawan?" Bima mengulum senyum, dan Andreas melihat teman lamanya itu geli.
"Kau selalu tertarik jika gadis-gadis yang jadi topik pembicaraan. Ayolah, ada sesuatu yang lebih penting dari membahas gadis-gadis. Ingat, kita sudah tidak lagi muda." Tawa Andreas pecah, ia berhasil membuat Bima terdiam, menyadari bahwa mereka memang sudah pantas disebut kakek.
"Tidak, tidak, kau saja yang tua. Saya masih berusia 17 tahun hingga saat ini. Itulah mengapa jiwa saya masih b*******h dan penuh semangat," tangkis Bima, ia memasang wajah tampannya seperti dulu yang kerap ia pamerkan pada gadis-gadis.
"Jangan konyol, Kawan." Andreas tidak dapat menahan lelucon Bima.
Kedua sahabat itu tenggelam dalam obrolan ringan yang menyenangkan, lalu mengenang masa lalu yang pernah mereka habiskan bersama. Masa sekolah adalah masa paling menyenangkan untuk diingat. Ada banyak keseruan bagi para laki-laki muda untuk dikenang dalam mendapatkan gadis-gadis incaran. Bima termasuk deretan cowok-cowok keren yang memiliki banyak pacar. Entah apa yang gadis-gadis itu pikirkan tentang Bima Sakti, di balik berwajah tampan, tubuh atletisnya dan keturunan keluarga kaya, ia seorang penipu ulung. Menipu gadis-gadis dengan puisi indah yang bukan hasil karyanya sendiri.
Bima meringis saat mengingat ia pernah didamprat seorang gadis karena ketahuan Andreas-lah yang menulis puisi yang diakui Bima bahwa puisi itu hasil karyanya. "Dasar cowok payah, aku tidak sudi lagi menerima apapun lagi darimu!" jerit gadis itu sembari menyobek kertas berisi puisi cinta. Itu kali terakhir ia meminta dibuatkan puisi, dan Andreas merasa senang.
Bicara surat, akhirnya Andreas membahas mengenai surat-suratnya untuk Arini. Andreas menarik kotak besar yang sudah ada di samping sofa.
"Kau gila!" umpat Bima, ia melihat banyak surat di dalam kotak yang Andreas buka. Sementara Andreas hanya tersenyum getir.
Bima menarik napas dalam. Andreas memang sudah hilang kewarasannya. Tetapi sebagai orang yang dianggap kurang waras, Andreas cukup bersih dan rapi saat pandangan Bima menyapu setiap sisi ruangan dengan saksama. Tampak bersih, luas, dan nyaman. Berbeda jauh dengan apartemen miliknya yang seperti tempat tinggal laki-laki berandal.
"Kau cocok juga jadi seorang desain interior," kata Bima sembari menunggu Andreas memilih surat-surat dalam kotak.
"Aku memang cocok dalam segala hal, kecuali menyatu dengan Arini," dengkus Andreas, kedua tangannya masih sibuk.
"Tidak, Kawan. Takdir itu sebenarnya ada dalam genggamanmu sendiri. Kau terlalu nekat menghabiskan sisa hidupmu tanpa pendamping. Oh, Tuhan, itu ide gila yang pernah kudengar! Seandainya kau memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk bahagia, mungkin, saat ini kau sudah membacakan cerita dongeng untuk cucumu. Cobalah kau pikir, apa indahnya menyimpan rasa pedih sendirian?" Bima mencoba membuka pikiran temannya yang keras kepala.
Andreas sudah banyak mendengar para penasehat dan kata-kata serupa dengan apa yang sudah Bima katakan padanya. Tidak jauh-jauh dari takdir, kebahagiaan, pendamping, dan sebagainya yang dibuat agar ia tersadar dari keterpurukan. Masalahnya, Andreas merasa semuanya lebih rumit dari apa yang terlihat. Ia mencintai seorang gadis, lalu cintanya bersambut, kemudian cinta itu hilang begitu saja. Hilang, benar-benar hilang.
"Kau siap membaca surat-surat ini?" tanya Andreas, ia sudah memilih surat-surat yang harus ia serahkan pada Bima. "Ada 100 surat yang kutulis untuk Arini, surat paling aku sukai di antara ribuan surat lainnya," lanjut Andreas.
Bima terkejut, laki-laki di hadapannya sudah sinting entah sejak kapan. Ia melihat setumpuk surat yang dihitung sebanyak 100 amplop. Semuanya untuk ... Arini.
"Aku tidak menyuruhmu membaca 100 surat ini sekarang, bacalah setelah tulisanku ini sudah menjadi sebuah buku." Andreas tersenyum lebar. "Kau tidak akan percaya bahwa cita-citaku akan segera terwujud. Aku akan memiliki buku hasil tulisanku sendiri, akan kuberi judul 'Surat untuk Arini', apa pendapatmu, Kawan?"
"Ide bagus." Hanya itu yang Bima katakan. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Isi kepala Andreas benar-benar sulit dipahami.
Sekarang Andreas merasa tenang, 100 surat sudah ia serahkan pada Bima untuk diserahkan kembali pada editor yang bekerja di penerbit milik Bima.
"Jika aku mati dan kau bertemu Arini, buku inilah pertama kali kau berikan padanya, dan jangan katakan apapun tentangku, Kawan. Seperih apapun itu." Suara Andreas serak, ia merasa ... hidup segera berakhir. Sedangkan Bima, menatap sahabatnya itu dengan sebal.
"Demi apa aku mempunyai seorang sahabat seaneh dirimu, Kawan!" Bima bersungut-sungut.