Menutupi

667 Kata
Matahari kian meredup, kututup tirai jendela berwarna abu-abu. Dengan senyum mengembang aku mulai bisa membiasakan diri dengan keadaan. Walau tak jarang masih banyak hal yang kututupi. Jujur, aku menutupi rasa Maluku, ku gantikan dengan percaya diri agar bisa menjalankan hari-hari. Entah mengapa, aku selalu percaya bahwa yang terhina bukanlah diriku saja. Diluaran sana, bahkan masih banyak yang melakukan hal buruk. Ini hanya masalah,keberuntungan saja. Apesnya aku ketahuan melakukannya disuatu tempat dan alhasil membuatku seperti demikian. Kabar buruknya, keluargaku seakan kalah dari peperangan itu. Irgan yang hanya di tahan semalam saja membuat kami merasa kalah. Ya, walau desas-desus itu kudengar bahwa pihak keluargaku meminta denda tetapi tetap saja kami merasa dirugikan. Sejujurnya aku tak begitu memikirkan hal tersebut, bagiku Irgan sudah cukup mendapat hukuman. Bahkan aku merasa itu sedikit curang bagiku, seharusnya Kamilah yang dihukum. Maksudku, biarkan aku dan Irgan yang mendapat hukuman tersebut. Perjalanan waktu yang begitu pahit, sedikit banyaknya mengajarkanku tentang kejamnya dunia. Dari masalah tersebut, aku bisa menilai teman yang tulus terhadapku serta orang-orang yang tidak hanya menilai ku dari keburukan ku saja. Selain itu, aku bisa menjadi pribadi yang setidaknya mungkin lebih baik lagi. Semakin aku terhina, semakin kuat kakiku melangkah maju. Entah mengapa persepsiku kini berbeda, sekarang begitu banyak waktu yang mereka buang untuk mengurusi hidupku. Ya, sekuat apapun aku menutup mulut mereka, tetap saja mereka akan menggunjing ku, menilai keburukan ku dan memandangku jalang. Tidak masalah, aku hanya mempunyai dua telinga, dan tugasku hanya menutup kedua telinga itu menggunakan dua tanganku. Beberapa Minggu telah lewat, keadaan sedikit membaik. Kedua orang tuaku semakin bisa menerima semuanya. Namun nihil, aku sama sekali belum mendapatkan tamu bulanan. Kadang menjadi beban pikiran di kala tengah malam saat terbangun dari tidur, namun aku yakin aku tidak apa-apa. Orang tua tentu semakin kebingungan takut anaknya hamil diluar nikah apalagi jika memang terbukti aku hamil tak bisa kembali bersama Irgan. Karena kedua keluarga telah menyepakati tidak ada hubungan apapun diantara kami. Sedih memang, akan tetapi inilah jalanku. Kutapaki kerikil tajam dan pahitnya hidup. Pedih harus berpisah dengan seperti ini, tetapi kami yang salah. "Jangan menyentuhku." suara Kirana nyaring terdengar digendang telinga. Adikku itu sedang menegurku yang tak sengaja menyenggolnya. "Berlebihan sekali," sahutku Semenjak masalah yang terjadi, Kirana mulai semakin menjaga jarak, dan terlihat enggan denganku. Meski demikian, tak pernah mencoba untuk mengambil hati. Kami tengah makan malam bersama, seperti biasa terasa kaku dan canggung meskipun kami keluarga. Ya, masalah yang kubuat merubah segalanya. Keadaan rumah, harmonitas dan pribadi setiap individunya. Mau bagaimana lagi? Ini sudah jalannya. "Ayah ingin menjual motor itu." Deg bagai disambar petir, kenapa tiba-tiba ayah ingin menjual motor kami satu-satunya. "Ayah lalu aku kesekolah bagaimana?" Kirana nampak protes, ya karena gadis itu tidak ingin datang terlambat kesekolah. "Kalian bisa jalan kaki, atau naik angkot cukup dekat sekolah kalian." "Lagi pula tidak ada cara lain untuk membayar hutang Ayahmu di pak Retno." Kami mendesah, tak bisa menolak dan memilih diam kecuali kirana, dia terus mengomel karena motor kesayangannya dijual. Motor itu jugalah yang menemaniku untuk selalu bertemu dengan Irgan. Kendaraan roda dua tersebut memiliki banyak kenangan. Dan entah mengapa aku yakin ayah menjual motor tersebut bukan karena ingin membayar hutang akan tetapi ingin menghilangkan kenangan. Batinku menangis, malu untuk mengeluarkannya padahal benar-benar terluka. Tiada yang tahu apa mauku, dan yang kubutuhkan. Sejujurnya aku ingin bersama Irgan, menjalin rumah tangga akan tetapi demi kedua orang tua ku ikhlaskan hubungan yang tak direstui banyak orang. ________________________________________________________ Mereka mengatakan bahwa aku gadis bayaran, harga murah hanya dua puluh lima juta. Dampak dari kejadian yang menimpaku banyak orang-orang perlahan menjauh, mereka memberi peringatan kepada orang lain untuk berhati-hati denganku. Jujur saja hal itu membuatku terpuruk akan tetapi bukan begini caranya. Mencoba untuk mengabaikan mereka, ucapan yang menyakiti hati. Siapa peduli, kakiku melangkah bukan untuk mereka dan bukan karena mereka. Aku kuat untuk diriku dan keluarga. Di sekolah, bahkan bisa terlihat mana sahabat yang benar-benar setia denganku. Namun bersyukurnya satu kelas tidak membentuk jarak denganku. Aku bisa melihat bahwa mereka berhati baik bahkan ada beberapa teman yang sengaja mengunjungiku untuk menyemangati. Mereka benar-benar luar biasa. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN