Pria itu kali ini mengisi waktu sambil duduk selonjor di sofa sambil memainkan rubix di tangannya.
Bella merasa semakin dekat dengan pria ini. Mungkinkah dia mulai jatuh cinta?
Bella menyimpan ponsel Rion di sakunya, lalu berjalan masuk mendekati duduk pria itu.
“Makan siang!”
Rion menoleh, memperhatikan perawat ini semakin dekat dengannya. Setelah mengetahui sebagian pribadi Rion lewat ponsel, Bella ingin menanyakan lebih jauh darinya.
Rion membuka bungkusan nasi padang itu. Bella memberikannya nasi campur dengan ikan gulai dan sedikit sambal terasi di ujung. Masih ada sambal udang dan sayur daun ubi di dalamnya.
“Aku alergi udang,” kata Rion, menutup kembali bungkusannya.
“Eh?” Bella terkejut. Segera dia mengambil mangkuk di atas meja yang berisi cookies itu untuk memindahkan sambal udang dari bungkusan Rion.
“Harusnya kamu bilang ada alergi. Kamu nggak pernah dirawat sebelumnya?” tanya Bella.
Rion menggeleng. Dia lebih selera dengan nasi kepunyaan Bella. Hanya ada telur rebus dan semur tahu. Dia menukar makanan mereka agar bisa dinikmati. Bella hanya tersenyum, merasa heran kenapa dia selalu mentolerir perintah pria ini.
“Kalau dirawat itu, kamu harusnya bilang ada alergi. Karena kadang beberapa obat yang akan diberikan pada pasien itu harus disesuaikan lebih dulu. Mungkin mengandung zat yang reaktif terhadap alerginya.”
Rion mengangguk, menikmati saja santapan siangnya. Bella masih menyimpan ponsel Rion. Sejak tadi tak henti bergetar di sakunya, entah itu pesan atau panggilan masuk. Dia memang membuat mode senyap agar tak menganggu Rion.
Usai makan, Bella merapikan bungkusan itu, membuangnya ke tempat sampah.
“Berapa?” tanya Rion sambil mengeluarkan dompetnya.
“Apanya?”
“Dua bungkus.”
“Delapan ratus lima puluh ribu rupiah, Pak Rion.”
“Eh?” Rion menutup dompet setelah tadinya hendak mengeluarkan lembaran uang seratus ribu. “Ini cuma nasi padang. Bisa semahal itu? Memangnya kamu langsung terbang naik pesawat ke Padang?”
Bella tersenyum tipis. Dia mengeluarkan ponsel Rion dari sakunya yang telah dia perbaiki. Gurat senyum Rion tadi berubah sendu. Ponsel itu sudah menyala dan ada banyak pesan yang tertera pada ikon w******p yang muncul di layar.
“Saya benerin. Itu biaya ganti LCD-nya. Hehe. Diganti, ya!” kata Bella, sopan. “Kamu tiga hari di sini. Kulihat kamu cemas megang hp mulu. Mungkin kamu sedih karena hp kamu rusak.”
Rion meraih ponsel-nya, memandang ragu pada benda persegi panjang itu.
“Aku nggak tau apa masalah kamu. Tapi ada baiknya kamu pulang. Naina pasti kangen dan pengen ketemu abangnya ini,” ujar perawat berlesung pipi itu.
Bias khawatir Bella justru mendapat respon sinis dari Rion. “Siapa yang ngasih kamu hak untuk cari tau tentangku?”
Bella terkejut mendapati amarah Rion. Walau memang Bella merasa bersalah, dia hanya tak mengerti kenapa bisa mendekati pria ini semudah itu seolah tanpa batas.
“Ya siapa suruh hp kamu nggak dikunci? Dari tadi bunyi terus, mungkin keluarga kamu khawatir sama kamu! Tadi niatnya aku mau ngabarin mereka.”
Rion pergi meninggalkan Bella yang dinilainya terlalu mencampuri urusannya. Niatnya memutus komunikasi hanya ingin menenangkan diri. Akan tetapi saat ponsel aktif, Rion bahkan tak bisa mengendalikan hatinya sendiri. Tanpa sadar, meski menentang ego-nya, dia akan melangkahkan kaki kembali ke rumah keluarga Kharisma.
“Pak Rion!”
Suara Bella menggema di lorong yang kosong. Rion tak peduli dengan panggilan perawat itu. Bella tak bisa membiarkan Rion pergi sebab merasa bersalah. Diikutinya Rion yang masih memakai seragam dan sendal pasien. Jalan raya adalah tujuannya. Dia tak menghentikan taksi, hanya menapaki sisi trotoar sembari mengisi kekosongan hatinya.
Ponsel di tangannya bergetar tak henti. Panggilan dari orang rumah yang akan menariknya kembali ke dunia otoriter mereka.
“Orion!” pekik Bella setelah berhasil menarik tangan Rion. “Kamu mau ke mana?”
“Aku mau pulang! Silakan kamu kembali bertugas!” tandas Rion, dingin.
“Ya, aku tau. Tapi bisa naik taksi, kan? Kamu nggak bawa mobil? Memangnya kamu mau jalan kaki sampai rumah?”
Rion melepaskan tangan Bella dari pergelangannya, menatap sendu binar khawatir wanita itu.
“Ya, seenggaknya itu akan menyita waktu lebih lama. Ini salahmu yang membuat keputusan sesukamu. Sekarang, aku nggak punya pilihan selain pulang.”
Bella bungkam.
“Setelah ini, jangan muncul lagi di hadapanku, Bella!”
Rion berbalik, kembali berjalan di antara lalu lalang kendaraan dan bisingnya klakson yang terdengar. Tiga hari cukup dirasanya beristirahat, dia harus kembali ke tempat asalnya.
Sementara itu, Bella bergegas ke rumah sakit untuk mengganti pakaiannya. Dia meminta izin pada kepala perawat agar membiarkannya pulang lebih cepat. Setelah mengambil beberapa barang di kamar Rion yang tersisa, dia mengambil sepeda motor di parkiran untuk menyusul langkah pria itu.
“Lo kenapa, sih, Bel? Beneran naksir dia?”
Bella menggerutu, melajukan pelan-pelan matic-nya itu mengikuti Rion yang berjalan lambat. Pria itu sengaja mengambil jalan memutar dari tepi jalan raya, melewati komplek untuk rute yang lebih jauh.
‘Dih! Kalau jalan kaki, bisa dua jam sampe rumah, sih! Belum lagi oleng di jalan, kecapean.’
Setengah jam berjalan dengan tatapan orang-orang yang memperhatikannya karena dia masih berseragam pasien. Taman menjadi tujuannya.
Bella menatap sedih pada bias wajah pria itu. Dia duduk di ayunan, menyandarkan pipinya pada rantai yang dicat putih. Walau masih mengira-ngira, setidaknya Bella tahu apa masalah pria ini hanya dari rentetan pesan dan isi ponsel-nya.
“Jadi yang kamu butuhkan cuma kebebasan, Orion?”
Rion menunduk, menatap layar ponsel-nya. Pesan Naina muncul di layar. Akhirnya, dia membuka pesan itu karena sangat khawatir dengan keadaan sang adik.
[Aku kecewa sama Abang. Abang nggak tau apa yang terjadi padaku, kan? Kupikir aku juga khawatir karena Abang nggak pulang, ternyata Abang bahagia di sana? Ya udah! Nggak perlu pulang lagi cuma untuk jagain aku. Silakan bebas seperti yang Abang inginkan selama ini.]
“Yang ini harganya 12 ribu!”
Rion mendongak ketika Bella menyodorkan ice cream cone untuknya. Disimpannya dulu ponsel ke saku, lalu mengambil benda dingin itu. Tersenyum, dia ingat bahwa ini favorit sang adik.
“Perlu aku bukain?”
Rion menggeleng, Bella pun duduk di ayunan samping. Mereka menikmati manisnya es rasa cokelat dan vanilla itu dalam suasana hening. Rion menyadari tadi dia terlalu keras pada Bella. Wanita itu pun menyesal karena lancang membuka privasi Rion.
“Maaf!”
Keduanya tertawa kecil saat berkata beriringan. Bella mulai mengayunkan kaki, bergerak pelan untuk menikmati angin segar siang itu meski cukup terik.
“Setiap orang berhak menentukan keinginannya sendiri. Bahkan meski mereka membesarkan kita, itu bukan berarti kita harus ada di kendali mereka.”
Rion belum menyahut, mengerti bahwa Bella mungkin sedikit mengetahui yang tak ingin dia bagi.
“Tapi kayaknya kamu juga sayang banget sama adik kamu, kan?”
“Bukan aku nggak pernah egois.” Rion mulai buka suara. “Aku pernah melakukan sekali, dan Naina hampir meninggal hari itu. Jadi kurasa, mungkin aku bisa mulai berpikir tentang diriku saat bisa melepaskan Naina pada pria yang baik nantinya.”
Bella mengangguk, tak bicara lagi. Rion juga mulai mendorong pelan ayunan besi itu. Hanya ingin menikmati beberapa menit lagi sebelum pulang. Karena pasti setibanya nanti di rumah, dia harus menebalkan gendang telinga dan juga memasang perisai terbaik di hatinya untuk serapah sang mama.
“Saat nanti ada seseorang yang mau berdiri di sampingku, memegangku untuk menentang mereka, sampai saat itu aku cuma akan jadi milik Keluarga Kharisma.”
“Aku?” tanya Bella, menghentikan ayunannya untuk bicara lebih serius. “Kamu ngelamar aku kemarin itu, kan?”
Semula Rion menatap serius, lalu tersenyum kecil. “Kamu percaya kalau aku serius?”
Bella beranjak bangkit, berdiri tepat di hadapan Rion. “Entahlah! Tapi aku yakin kamu sudah jatuh cinta padaku, Pak Rion!”
Rion terus berekspresi yang bertentangan di hatinya. Tentu saat dia kembali ke rumah itu, takkan ada ruang untuk memikirkan kebahagiaannya. Bahkan berteman pun, dia tak ingin melakukannya dengan Bella. Menumbuhkan cinta yang suatu saat membuatnya serakah dan ingin menentang keluarganya, meninggalkan Naina.
“Apa kamu nggak pernah pacaran sebelumnya? Sepolos itu sampai nggak tau kalau aku bercanda?” tanya Rion, mencibir.
Bella sedikit membungkuk. Mata Rion membeliak saat wajah wanita itu berada tepat di depannya, hanya lima inchi sampai bibir mereka bertemu.
“Cukup katakan kalau kamu nggak tertarik padaku, Orion!”
Bahkan bibir tak bisa berkata. Bella bisa merasakan bahwa Rion terpengaruh. Pelupuk matanya berulang kali mengerjap, menikmati degup dan hasratnya ketika bibir cantik wanita itu ingin sekali dia cecapi. Napasnya terurai berat menyapu permukaan kulit wajah Bella. Mungkin sedikit saja Bella lebih mendekat, Rion akan memejamkan matanya untuk menerima ciuman manisnya.
“Siapa yang polos, sekarang!” cibir Bella, lalu mengusap bibir Rion yang masih bernoda es krim.
Jantung keduanya berdegup kencang. Bella meneguk ludah saat menyentuh lembutnya bibir pria itu. Segera dia menjauh, berbalik badan.
‘Bisa khilaf kalau gini, sih!’ batin Bella.
Bella meninggalkan Rion sebentar, mendekati motor matic-nya untuk mengambil barang-barang dari bagasi jok. Saat hendak mengeluarkan jas Rion, Bella tersenyum usil.
“Ntar aja, deh. Biar ada alasan ketemu dia. Mau balikin barang.”
Bella kembali dengan jaket hitam miliknya untuk dia berikan pada Rion. Dia meletakkan di pangkuan Rion, lalu Bella berkata, “Aku antar pulang, ya! Kamu juga harus istirahat!”
“Kenapa kamu bersikap seolah-olah aku anak kecil? Aku ini udah 31 tahun. Ngerti?!” gerutu Rion, lalu memakai jaket hitam itu untuk menutupi seragam pasiennya.
“Itu karena aku tau, kamu bahkan dipaksa dewasa saat kamu harusnya menikmati masa mudamu. Benar?”
Rion memipihkan matanya, lalu beranjak dari ayunan itu. Wanita ini terlalu banyak tahu tentangnya.
“Kali ini, kamu punya tempat bermanja dan bersandar sekarang!” Bella tersenyum sambil mengusap sisi kepala Rion. “Kamu bisa cerita padaku setelah ini.”
“Jangan bercanda! Aku nggak berniat serius mengajakmu menikah. Aku harus pulang.”
“Aku udah simpan nomor kamu. Nanti aku telepon.”
Bella mengajak Rion untuk pulang naik sepeda motornya. Pria itu menggerutu karena menolak dibonceng oleh seorang wanita. Perdebatan terjadi di parkiran.
“Kamu, kan, pasien! Nurut aja, kek!”
"Biar aku yang bawa motornya."
"Nggak! Nanti kamu malah keliling-keliling lagi nggak jelas!"
Bella sangat tegas dan cerewet. Rion menurut, duduk di boncengan untuk dibawa meninggalkan taman. Canggung Rion hendak memegang ujung pakaian Bella sebab wanita itu terlalu mengebut melintasi jalan. Tak tahu berapa angka spidometer sekarang.
“Kamu berencana mengirimku ke rumah sakit lagi?” tanya Rion, sedikit meninggikan suara.
“Terlalu ngebut?”
“Pake tanya segala!”
“Aku lupa! Biasanya cuma sendiri doang. Kalau mau senderan, juga boleh. Tapi jangan peluk-peluk, ya, kalau kamu belum ada niat ngelamar aku!”
Wanita ini pintar sekali membuatnya tersenyum. Rion sangat tenang di sampingnya. Bella melambatkan laju motornya, lalu merasakan Rion menyandarkan kepalanya di bahu mungilnya.
Rion menyimpan senyum tipis. Seperti bocah yang kasmaran, dia sangat menyukai perhatian Bella untuknya.
"Kalau jadi temanku aja, boleh?" tanya Rion.
Bella belum menjawab, menatap Rion dari spion motornya. "Kenapa? Kamu nggak yakin bisa perjuangin hubungan kita kalau serius denganku? Atau kita bareng-bareng cari jodoh aja untuk Naina."
Rion tak menyahut lagi. Mungkin Bella adalah teman terbaik yang dikirimkan Tuhan untuk mengisi hatinya. Tak tahu bagaimana akhirnya hubungan mereka nanti.
“Bisa keliling-keliling sebentar, Bel? Nanti aku ganti uang bensinnya.”
“Sekalian uang LCD tadi!”
“Iya-iya!”
Keduanya menikmati detak cinta dalam balutan nuansa sederhana. Suasana mendung mendukung cinta yang mulai bersemi.
'Kalau aku mulai egois kali ini, apa bisa kulakukan? Aku takut nyakitin kamu nantinya seperti yang pernah kulakukan pada Fira. Aku pengecut, Bel. Aku nggak akan pernah bisa menentang mereka cuma buat kebahagiaanku sendiri. Jadi, jangan berharap padaku!'