14. Hardik Ranti

2076 Kata
Sudah dua jam berlalu setelah dokter menangani Naina, Ferry belum menghubungi pihak keluarga gadis ini. Pun dia sengaja membawa Naina ke rumah sakit berbeda dari tempat biasa check up. Dia hanya ingin melancarkan rencana selanjutnya, membuat dirinya sebagai pahlawan di mata adiknya Rion ini. Ferry mengambil ponsel, mengirimkan pesan pada Yudha. [Urusan kita selesai. Selanjutnya, tutup saja mulutmu! Cukup katakan kalau semua ini karena kebencian kalian pada Wisnu.] Ferry menunggu hingga Naina sadarkan diri. Hari sudah gelap, ponsel Naina berdering sejak tadi. “Nai!” panggil Ferry saat pelupuk mata gadis itu mengerjap. Bibirnya yang pucat dan matanya yang sayu. Dia masih ketakutan saat melihat Ferry ada di hadapannya. “Yudha mana, Bang?” tanyanya, spontan memegang tangan Ferry dan menatap sekeliling. Ferry tersenyum, mengusap kepala Naina untuk menenangkan. “Kamu tenang aja. Aku udah amankan dia. Kamu istirahat aja, ya!” Tampak canggung, tapi Naina menyadari bahwa pria inilah yang menolongnya. Naina menahan tangis, merasa bodoh jika mengingat mudahnya dia terjebak pada pria m***m yang hampir menodainya itu. “Bang Ferry.” Naina menatap ragu. “Tolong jangan ceritakan pada siapa pun soal tadi, ya!” “Bahkan sama mama-papa kamu?” Naina terkesiap. Salahkan dirinya yang semudah itu terjebak hanya karena pria itu sangat tampan dan berkata cinta. Perlakuan yang sebenarnya modus, dianggap terasa tulus. “Harusnya mereka tau, supaya lebih berhati-hati biarin kamu deket sama cowok asing.” Tegur itu membuat Naina semakin malu, teringat akan keraguan Rion tentang Yudha. “Tapi ini, biasanya Rion selalu jagain kamu. Kaget, aku, liat kamu sampai ngalamin hal kayak tadi. Aneh aja! Bisa-bisanya Rion nggak peduli gini.” Naina tak bisa lagi menahan tangisnya. Dia mengambil ponsel, menatap jendela chat yang belum dibaca oleh abangnya itu. Dua hari berlalu, Rion belum memberi kabar apa pun. “Nggak salah Bang Rion. Dia udah nasehatin aku, tapi akunya bandel. Malah aku desak mama-papa buat serius ngomongin pernikahan ke orangtua Yudha.” Ferry menyimpan senyum sinis untuk rasa sakit gadis ini. ‘Bahkan adikku merasakan yang lebih lagi karena kelakuan abangmu, Naina! Tapi seenggaknya aku masih punya hati dan nggak biarkan si b******k itu nyentuh kamu,’ batinnya. Naina mengangkat pandangannya saat Ferry lebih mendekat ke arah wajahnya, mengusap sisi kepala gadis ini sambil membiaskan senyum. “Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku jadi kangen Fira. Semoga kamu tetap sehat dan selamat, Naina. Jangan sakit-sakit atau nangis lagi, ya!” Naina terkesiap, hatinya mendadak sejuk karena perhatian dan sikap lembut pria ini. Mirip seperti Rion. Tak ada kata yang mengisi detik. Ferry membiarkan Naina tenang lebih dahulu. Dia menyamankan diri duduk bersidekap di sofa sambil menatap ponsel. Naina merasa canggung, menyadari bahwa belum berterima kasih dengan benar pada Ferry. “Bang Ferry!” Ferry menaikkan pandangannya, menatap bias cantik Naina yang terlihat pucat. “Ya, Nai?” “Makasih banyak, ya! Maaf, udah repotin Abang.” “Iya. Kamu istirahat aja, biar abang yang nelepon papa-mama kamu dan ceritakan semuanya. Kamu pasti nggak berani bicara sama mereka, kan?” Ferry mengambil kendali atas permainannya. Gadis ini dengan cepat percaya padanya. Harusnya dia mengingat bagaimana benci dan marahnya Ferry saat itu pada Rion perihal kematian adiknya, tiga tahun lalu. Bahkan Ferry sendiri yang memenjarakan Rion untuk tuduhan pelenyapan dan yang bertanggung jawab atas kehamilan Fira. Naina kembali istirahat, lalu Ferry keluar menyambut Wisnu dan Ranti yang telah dikabarinya beberapa saat lalu. Dari lorong, wanita itu mempercepat langkahnya di samping suaminya. “Ferry!” Keduanya berdiri tepat di hadapan pria beralis tebal ini. “Apa yang terjadi? Naina kambuh? Kenapa dia bisa di rumah sakit?” Ranti memberondongi Ferry dengan pertanyaan. Wisnu belum menyahut. Setidaknya ingatan tiga tahun lalu masih belum hilang terkait Ferry. Ranti saja yang bicara pada pria seusia putra mereka itu. “Saya nggak tau harus memulai dari mana! Saya hanya kecewa kenapa Rion tidak bertanggung jawab seperti ini pada adiknya!” Nada amarah Ferry terasa meyakinkan, seperti racun yang akan membuat Rion semakin jauh dari Naina, lalu tersudut dalam keluarganya. Apalagi Ranti mulai keras pada Rion semenjak kejadian tiga tahun lalu, saat Rion egois dengan mengorbankan Naina demi kekasihnya. “Fer, ini maksudnya apa?” tanya Ranti, terbata. “Nai itu polos banget, Tan! Selama ini juga dia sering di rumah aja, kan. Sakit. Kenapa kalian biarkan dia pacaran dengan laki-laki itu?” Wisnu terperanjat. Laki-laki yang dimaksud Ferry adalah Yudha. Dia yang selama ini mengabaikan peringatan Rion tentang kekasih putrinya itu. Biasanya dia selalu mempercayai apa pun pilihan Rion terkait adiknya. “Yudha? Apa yang dilakukan Yudha pada Naina, Fer? Apa Yudha yang membuat Naina seperti ini?” Ferry mengangguk, membuka pintu kamar dan menunjukkan bahwa putri mereka sedang tertidur nyenyak. Masih tersisa sedikit dari cairan infus yang menggantung di sisi kasurnya. “Aku baru datang dari Jepang, ingin menginap di hotel Clara. Aku nggak tau kenapa Nai mau diajak ke sana sama pria itu. Dia hendak m*****i Nai saat penyakit Nai kambuh.” Keduanya shock, lalu segera masuk untuk menemui putri tersayang mereka. Air mata luruh dengan isak tipis, takut membangunkan Naina. Tinggallah Ferry yang berusaha menanam kepercayaan sembari menebar racun agar keluarganya membenci Rion. “Rion biasanya nggak pernah jauh dari Nai. Di mana dia, Tan?” Ranti berang. Rahangnya mengetat, jemarinya menggenggam erat. Dia bangkit, kembali menghubungi nomor ponsel Rion. Sudah dua hari dan Rion belum mengaktifkan ponsel-nya. “Ke mana, sih, anak ini?! Kurang ajar!” makinya. Walau mungkin memang Ferry yang menolong Naina, Wisnu belum merasa nyaman dengan keberadaan teman lama putranya itu. Tak lama, Naina membuka mata, lalu menangis takut sambil menggenggam jemari sang ayah yang berada tepat di sampingnya. “Pa.” “Tenang, Sayang! Nai udah baik-baik aja. Nggak apa-apa. Jadikan ini semua pelajaran, ya!” kata Wisnu sambil mengusap kepala putrinya. “Harusnya Nai nggak keras kepala dan dengar apa kata Bang Rion, Pa," sesal Naina. “Rion?!” Ranti memekik marah saat putrinya itu masih membela Rion. Sejak tadi Ferry hanya menahan senyum melihat keluarga ini begitu menyudutkan putra mereka. “Kenapa kamu nyalahin diri kamu sendiri, Nai? Kalau memang Rion segitu pedulinya sama kamu, harusnya dia terus jaga kamu dari si Yudha itu. Ini apa?” Wisnu dan Naina enggan menyahut. Tak ingin menyalahkan Rion karena memang, mereka yang terlalu terburu dan ceroboh untuk memulai hubungan serius dengan Yudha. “Udah dua hari dia nggak ada kabar. Egois! Dia sengaja ngambek karena pendapatnya nggak didengar! Apa itu penting, ngambek segala?! Harusnya dia tetap berusaha meyakinkan dan menjaga kamu, Nai!” Tak ada yang bisa menentang Ranti ketika dia sudah marah. Naina menatap sang ayah yang memberi kode. Membiarkan sang ibu puas tenggelam dalam kemarahan yang tak terbendung. Ferry bangkit dari duduknya. “Aku izin pulang, ya!” “Makasih atas bantuan kamu, Fer! Makasih karena menolong Naina,” ujar Wisnu sambil mengusap bahu kekar Ferry. Ferry mengangguk. Ranti melihat bahwa pria ini berjasa untuk keselamatan Naina. Pun saat ini, Rion menghilang dan tak bisa diharapkan. “Fer, apa kamu nggak bisa di sini saja?” pinta Ranti. “Temenin Naina ngobrol, biar nggak teringat terus sama kejadian tadi. Kamu yang nolong dia, pasti dia merasa aman.” Naina canggung mendengar permintaan mamanya itu. Ferry mengangguk, tertawa dalam hati karena perangkap yang dia pasang telah diterima baik. Dia hanya perlu sedikit merayu agar Naina lebih membuka hati padanya, membuat Rion sejauh mungkin dari adik dan keluarganya. * Satu hari berlalu lagi. Rion benar-benar memanfaatkan liburannya di rumah sakit tanpa tahu apa yang terjadi pada Naina. Bella pun masih sering mengajaknya bicara, merasa tersanjung karena hanya dari binar mata pria itu saja, bisa dilihat bahwa ada ketertarikan di sana. “Aku mau keluar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?” tanya Bella sembari merapikan bungkusan di atas meja. Rion tersenyum tipis, tak mengalihkan wajahnya dari Bella hingga perawat itu merona merah. “Udah aku-kamu, ya, sekarang!” Bella tersenyum kecut, lalu melengos pergi saja karena ada yang harus dia kerjakan. Setibanya di stasiun perawat, Bella merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. “Bel! Rajin banget, sih, nyamperin ruangan Pak Rion,” goda perawat berkacamata itu. Bella mendengkus, pura-pura kesal. Dia memperbaiki dandanannya lebih dulu dengan cermin kecil di tangannya. “Gimana nggak rajin? Kepala perawat sendiri yang minta aku concern ke Pak Rion aja. Kayaknya Pak Rion yang minta langsung ke pihak rumah sakit untuk dilayani sama aku. Udah kayak baby sitter-nya aja.” Walau mengomel, jelas terlihat Bella menahan senyumnya. Setelah itu, dia pergi untuk mendatangi counter yang tak jauh dari persimpangan jalan. Kemarin malam saat Rion tertidur, Bella mengambil ponsel pria itu. Ponsel yang membuatnya galau memandang seharian hingga membuat Bella tak tega dan membawanya ke counter untuk diperbaiki. Tak dia tahu, bukan sedih karena ponsel-nya hancur, tapi kegundahan karena sisi dilema jika benda persegi itu menjadi keputusannya untuk menikmati kebebasan, atau kembali ke dunia kelam yang memenjarakannya selama ini. “Gimana, Bang? Rusak total?” tanya Bella setelah berbicara dengan teknisi counter ponsel itu. Pria berjanggut tipis itu hanya menggeleng, lalu mengeluarkan ponsel yang telah dia perbaiki. “Ini hape mahal, Mbak! Kuat! Tahan banting. Budget-nya lumayan! Dilempar gitu, ya, nggak sampai rusak. Cuma memang LCD-nya yang retak. Udah saya ganti. Masih nyala, kok, mesinnya sehat.” “Makasih, Bang!” Bella mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu untuk mengganti LCD itu. Dia memutuskan untuk duduk menepi lebih dulu di coffee shop sebelah counter sambil menatap tiap inchi ponsel mahal Rion. “Nanti aku minta ganti, dong! LCD-nya aja mahal banget.” Bella mengaktifkan ponsel, layar terang itu terpampang di depan matanya. Sebentar Bella tenang, lalu dia terkejut saat nada notifikasi beruntun terdengar di ponsel Rion. “Ngeri banget panggilan negara!” guyonnya. Ada angka 30 berwarna merah di atas ikon What'sApp di layar. Baru disadari Bella bahwa ponsel Rion tak memiliki kode kunci atau pola dan sandi. “Baru ini ada orang yang nggak pernah ngasih privasi ke ponsel-nya.” Saat seseorang membuat privasi pada ponsel, dia mungkin menciptakan dunia baru miliknya yang tak ingin sembarangan diketahui orang lain. Menganggap itu sangat berharga dan tak harus dibagi. Rion berbeda. Dia hanya merasa tak memiliki dunia lain selain Naina dan keluarganya. Tak ada dunia yang terbentuk hingga dia harus membuat batasan privasi. Keluarga Kharisma sukses mengikatnya hanya karena memanfaatkan rasa sayangnya pada Naina dan juga rasa bersalah sejak kejadian collapse-nya Naina karena Fira, tiga tahun lalu. Nada pesan masuk berbunyi lagi. Kontak 'mama' muncul di layar. “Kemarin dia sampe ngigau gitu manggil emaknya. Pasti dia kangen.” Penasaran, Bella membuka pesan itu hanya untuk menyampaikan keberadaan putra yang mungkin dicemaskan ibundanya itu di sana. [Kurang ajar kamu, ya! Ke mana aja kamu, Rion?! Udah tiga hari nggak pulang. Kamu tau apa yang terjadi sama Naina?!] Bella terhenyak, menggulir ke atas untuk membaca pesan serapah yang lebih kasar lagi dari yang dia baca tadi. [Apa ini caramu berterima kasih pada orangtua yang membesarkanmu?! Apa menjaga adikmu terasa melelahkan?! Untuk apa kamu hidup kalau nggak berguna untuk kami?! Jaga Naina! Itu aja nggak bisa kamu lakukan?!] Mata Bella terasa panas saat air matanya berkumpul di sana. Apakah itu kata yang pantas diucapkan seorang ibu? Deretan pesan kasar yang belum sempat dibaca Rion itu dihapus oleh Bella. Tak tega jika nanti Rion membacanya. Dia menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk masuk ke dunia pria ini melalui ponsel-nya. Terasa sangat miris ketika dia mulai mengulik, tak ada foto selain Naina dan keluarganya di galeri ponsel. Bahkan kontak saja hanya terisi beberapa nomor. Mama, Papa, Naina, juga banyak nama dengan kata kunci ‘klien’, Office - atau Bapak dan Ibu. Bisa Bella pastikan bahwa tak ada yang seumuran dengan pria ini yang kontaknya disimpan di ponsel. “Hidup seperti apa yang dia jalani? Apa ini alasannya kenapa aku bisa berpikir kalau dia berbeda dari orang normal lainnya?” Bella hendak beranjak, tapi nada dering ponsel terdengar lagi. Kontak ‘Naina, Adik Tersayang’ muncul di layar. Mungkin setelah pesan chat Naina delivered, adiknya itu tak sabaran dan menelepon. "Halo, Bang Rion!" Suara Naina terdengar dari seberang. Bella berniat menjawab telepon itu dan menyampaikan kabar bahwa si pemilik ponsel sedang di rumah sakit meski telah selesai perawatan. "Maaf, ini Naina, ya, adiknya Mas Rion?" Tak ada sahutan. Mungkin Naina terkejut di sana. Panggilan diputus sepihak. "Lah? Ini apa lagi, sih? Ajaib banget sekeluarga, emang!" Bella membeli nasi dan lauk di rumah makan Padang untuk diberikan pada Rion. Setelah itu, dia kembali ke rumah sakit menemui Rion. Pria itu kali ini mengisi waktu sambil duduk selonjor di sofa sambil memainkan rubix di tangannya. Bella merasa semakin dekat dengan pria ini. Mungkinkah dia mulai jatuh cinta?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN