Pasar Seni

1777 Kata
Rea terbangun mendengar ponselnya yang terus berbunyi. "Uh, siapa sih yang telepon pagi-pagi?" gerutu Rea. Hari Sabtu dan Minggu adalah saatnya dia bisa bangun siang. Rea mencari ponselnya di tempat tidur. "Hm …," ujar Rea setelah mengangkat telepon. Robert terdiam mendengar suara bangun tidur Rea. "Hei Pemalas, bangun." "Mau ngapain telepon pagi-pagi?!" sahut Rea. "Gue ada di depan rumah lo." "WHAT?!" "Makanya bangun, dan keluar. Bukain gue pintu. Nggak sopan nyuruh tamu nunggu lama di depan rumah!" Robert langsung mematikan ponsel. Dia sudah menunggu di depan pagar sambil bersandar di motor kira-kira hampir satu jam. Sejak tadi dia mencoba menghubungi Rea, tapi tidak diangkat. Ternyata gadis itu masih tidur. Rea berjalan keluar rumah dengan tergesa. Benar saja, Robert ada di depan pagar. "Ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Rea. "Ini udah jam delapan Re," sahut Robert. "Buat aku ya masih pagi." "Hei, pamali bangun siang. Nanti rezekinya dipatok ayam," ujar Robert. Rea tidak menanggapi ucapan Robert. "Mau apa ke sini?" "Mau sampe kapan gue disuruh berdiri di luar Re?" Mendengar pertanyaan Robert, Rea langsung membukakan pintu pagar dan mempersilakan Robert dan motornya masuk. "Ayo masuk," ujar Rea setelah Robert memarkir motornya. Robert masuk dan duduk di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga. "Tunggu bentar," ujar Rea. Rea meninggalkan Robert dan menuju ke dapur. Dia membuatkan teh manis untuk Robert. "Diminum dulu," ujar Rea sembari meletakkan cangkir berisi teh hangat di meja. "Ada perlu apa ke sini?" tanya Rea. "Udah sikat gigi belum?" Robert balik bertanya. "Ih, ditanya malah balik nanya," gerutu Rea. "Elo kan juga suka gitu ke gue," balas Robert. "Ceritanya mau balas dendàm?" sahut Rea. "Mandi sana! Gue mau ngajak elo jalan." "Ke mana? Mau ngapain?" berondong Rea. "Cerewet banget sih! Nggak bisa ya bilang iya?!" "Biarin. Suka-suka aku dong," timpal Rea tidak mau kalah. "Buruan sana mandi," sahut Robert gemas. "Jawab dulu mau apa dan mau ke mana?!" Rea menuntut jawaban Robert. "Sumpeh Re, elo keras kepala banget sih," dumel Robert. "Gue mau ajak elo ke Pasar Seni." Akhirnya Robert mengalah dan menjawab pertanyaan Rea. "Mau ngapain ke sana?" tanya Rea lugu. Robert geleng-geleng kepala demi mendengar pertanyaan gadis itu. "Mau main basket," ujar Robert kesal. "Ngapain main basket jauh-jauh ke sana," timpal Rea. "Dengan gemas Robert mencubit hidung bangir Rea. "Mau jalan-jalan Rea …! Mau liat-liat karya seni …!" Robert mencoba menahan sabar dengan kelakuan Rea. "Ya masa gue ke sana main basket." "Aku juga tau. Tapi mau ngapain ke sana?" "Di sana bagus Re, apalagi buat foto-foto. Banyak tempat bagus buat jadi objek foto." Robert menjelaskan tujuannya ke sana. Rea menganggukkan kepala serta membentuk huruf O tanpa suara. "Tapi ini baru jam delapan, emang udah buka?" "Gue mau tanya, elo jawab yang bener ya!" "Apaan lagi?" sahut Rea. "Nanya mulu deh." "Gue perhatiin, elo nggak pernah nyebut nama gue, kenapa?" Rea diam mendengar pertanyaan Robert. "Bingung aja," ujar Rea setelah terdiam sejenak. "Mau manggil Kakak, rasanya kaku. Manggil Rob, kamu kan bukan robot. Manggil Robert, kepanjangan," ujar Rea. "Mau panggil Gunung Es, ntar marah," kali ini Rea bergumam pelan, takut didengar Robert. "Barusan elo ngomong apa?!" Robert bertanya curiga. "Nggak, nggak ada," sahut Rea cepat. "Aku mau mandi dulu." Rea langsung berlari ke kamar. "Dasar cewek jutek," ujar Robert pelan. Dia mendengar ucapan Rea yang terakhir. Dia juga tahu itu julukan yang diberikan teman-temannya. Namun, anehnya terasa manis saat Rea yang menyebutkan kata itu. Robert menyalakan televisi sambil menunggu Rea mandi dan bersiap-siap. Dirinya sudah bersiap jika gadis itu akan berdandan lama. Namun, Robert tidak perlu menunggu lama. Sekitar lima belas menit kemudian Rea sudah siap. Dengan kemeja panjang yang digulung berwarna biru langit dan celana jeans berwarna senada, Rea berjalan menghampiri Robert. Wajahnya tidak dirias, hanya memakai lipgloss berwarna pink, rambut digerai. Robert terpana melihat Rea. "Aku udah siap," ujar Rea. Robert melihat Rea membawa tas ransel berwarna hitam. "Ngapain elo bawa ransel?" "Oh ini. Ntar sore aku ada latihan, jadi sekalian bawa baju ganti." "Oke." Robert bangkit dari sofa dan berjalan keluar. Rea mengikuti di belakang. "Elo udah sarapan Re?" tanya Robert ketika sedang mengeluarkan motor. "Belum." "Kenapa belum sarapan?! Elo mau sakit lagi?!" "Nggak biasa sarapan pagi," ujar Rea sambil menggembok pagar. Robert tidak menanggapi perkataan Rea, tetapi dia menyimpan informasi tersebut dalam hatinya. "Ayo naik," ujar Robert setelah Rea selesai menggembok pagar. Rea menuruti perintah Robert. Setelah Rea naik, Robert pun menjalankan motornya. Di tengah perjalanan, Robert menepikan motornya. "Kenapa berhenti?" tanya Rea. "Gue laper. Makan dulu ya." jawab Robert. “ Rea hanya diam. Dia mengikuti Robert ketika pemuda itu berjalan menuju tenda bertuliskan ketoprak. Robert berjalan memasuki tenda dan memesan ketoprak pada Bapak penjual. “Pak, pesen ketopraknya satu, dan pedes.” “Siap Mas,” jawab Bapak penjual. “Cuma pesen satu Mas?” “Elo mau nggak Re?” tanya Robert pada Rea. “Boleh,” jawab Rea pada Robert. “ Minta pedesnya sedeng aja ya Pak” ujar Rea pada penjual ketoprak. Rea tidak menyadari bahwa Robert tersenyum di belakangnya. Ini adalah salah satu siasat Robert supaya Rea mau makan. Padahal sebenarnya sebelum ke rumah Rea, dirinya sudah sarapan. “Ayo duduk Re.” Robert menarik tangan Rea supaya mengikutinya ke meja yang ada di sana. Rea berjalan mengikuti Robert. Mereka duduk berseberangan. Setelah duduk, Robert membersihkan meja dengan tisu. Semua diperhatikan dengan seksama oleh Rea. “Sangat berbeda dengan selentingan yang aku dengar tentang dia,” bisik Rea di dalam hati. “Woi …! Bengong mulu,” ujar Robert sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Rea. “Ih …! Ngeganggu mulu,” ujar Rea kesal karena lamunannya terganggu. Robert tertawa senang melihat Rea kesal. Dia mengulurkan tangan ke arah wajah Rea, dan mencubit hidung Rea dengan gemas. “AW! Sakit tau !” gerutu Rea. “Ini pesanannya.” Bapak penjual mengantarkan pesanan ketoprak Robert dan Rea. Rea dan Robert mulai makan. “Enak juga,”ujar Robert. “Rasanya juga pas.” Tengah makan, Rea tiba-tiba terdiam. Dia memandangi Robert dalam diam. Dari yang Rea dengar di sekolah, Robert berasal dari keluarga yang kaya raya. Rasanya sangat bertolak belakang dengan apa yang Rea dengar dan lihat saat ini. Pemuda di depannya benar-benar seperti rakyat jelata biasa, yang tidak risih jika makan di pinggir jalan bertutupkan tenda biru. “Gue ganteng banget ya?” tanya Robert tiba-tiba pada Rea. “HAH?” Rea kaget mendengar pertanyaan Robert. “Elo dari tadi ngeliatin gue nggak pake kedip. Elo suka ma gue?” goda Robert. “Ih …, geer. Siapa juga yang ngeliatin kamu.” Rea meleletkan lidahnya pada Robert dan kembali makan. "Duh, ini muka mau ditaruh di mana?" Rea bergumam lirih. "Kenapa dia mesti pake tahu kalo aku ngeliatin dia." Sedangkan Robert yang duduk di seberang tertawa tanpa suara melihat kekikukan Rea. Diam-diam Robert mengeluarkan ponsel dan memotret Rea menggunakan kamera ponsel. Robert yang selesai makan terlebih dahulu, duduk diam memperhatikan Rea yang masih makan. "Kenapa togenya nggak dimakan?" tanya Robert. "Aku nggak suka toge," ujar Rea. "Ini anak! Toge itu enak tau, apalagi kalau ditumis pake tahu," ujar Robert. "Nggak doyan masa mesti dipaksain?!" gerutu Rea. "Ya udah. Buruan habisin." Selesai makan dan membayar, Robert dan Rea melanjutkan kembali perjalanan menuju Pasar Seni. Setibanya di Pasar Seni, terlebih dahulu Robert mencari tempat parkir. Setelah memarkir motor, mereka berdua berjalan berdampingan menuju pintu masuk. Robert dan Rea berjalan-jalan sambil melihat-lihat banyak hal. Di sebuah kios, Rea berhenti dan menatap dari luar. Dia melihat seorang seniman sedang melukis seorang wanita. Perlahan, Rea berjalan menghampiri. Tatapannya hanya tertuju pada satu titik, pada seniman yang sedang melukis. Rea berjongkok tak jauh dari seniman yang sedang melukis. Dia memperhatikan dengan seksama lukisan wanita yang menjadi objek. Begitu nyata dan terlihat hidup. Rea seolah tersihir dengan kepiawaian sang seniman. Sedangkan Robert, dia begitu terpana melihat kelakuan Rea. Dan saat itu wajah Rea terlihat begitu cantik alami. Robert mengambil kamera yang dia bawa, dan mulai memotret Rea. Sang seniman tahu dirinya sedang diperhatikan oleh seorang gadis. Setelah selesai menyelesaikan lukisannya, sang seniman mengubah posisi duduknya menghadap Rea. "Kamu juga mau dilukis?" tanya sang seniman pada Rea. Namun, Rea tidak mendengar pertanyaan sang seniman. Dia masih terlena melihat lukisan yang begitu indah. Sang seniman melambaikan tangan di depan wajah Rea. "Halo," ujar sang seniman. "Eh," ujar Rea terkejut. "Maaf, maaf kalo sayang ganggu," ujar Rea merasa bersalah. "Kamu mau saya lukis?" ulang sang seniman. "Lukis? Saya? Ah, nggak. Saya suka aja sama lukisan Bapak. Bagus banget dan kaya asli," ujar Rea cepat. Wanita yang telah selesai dilukis menghampiri sang seniman. Dia menerima lukisan wajahnya dan memberikan sejumlah uang pada sang seniman. "Bapak? Gue belum setua itu kali," ujar seniman itu ramah. "Maaf," ujar Rea salah tingkah. "Ini pacar kamu Bet?" tanya sang seniman setelah wanita itu berlalu. "Bukan. Ini temen sekolah gue," ujar Robert. "Re kenalin, ini Dimas temen gue." Robert memperkenalkan sang seniman. "Oh." Rea terkejut mendengar perkataan Robert. Rea mengulurkan tangan pada Dimas. "Hai, apa kabar. Saya Rea, adik kelas dia," ujar Rea sambil menunjuk ke arah Robert. "Dimas," ujar Dimas sambil menerima uluran tangan Rea. Dimas membereskan peralatan kerjanya dan berkata pada Robert, "Tumben amat lo ajak cewek ke sini." Robert menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Diam-diam Dimas memperhatikan Robert. Ada semburat malu di wajah pemuda itu, juga sinar mata yang berbeda ketika menatap Rea. Perlahan, Dimas tersenyum melihat Robert. Setelah selesai membereskan peralatan, Dimas menghampiri Robert dan Rea. "Gue haus, cari minum yuk," ajak Dimas pada mereka berdua. Dimas berjalan keluar dari kiosnya, menuju ke kios minuman di seberang kios miliknya. "Mbak, minta es kelapa satu." Dimas berjalan menuju meja untuk empat orang dan duduk di sana. Sedangkan Robert dan Rea akhirnya mengikuti menuju kios minuman. Dimas melambaikan tangan pada Robert dan Rea. "Mau minum apa? Langsung pesen aja, gue yang traktir," ujar Dimas. "Elo mau minum apa Re?" tanya Robert. Rea bingung untuk menjawab. Perutnya masih terasa kenyang. Namun, dirinya merasa tidak enak jika menolak. "Es kelapa, tapi nggak mau terlalu manis," jawab Rea. "Oke. Duduk dulu sama Dimas ya. Gue pesen minuman dulu." Robert berjalan menuju meja kasir. "Elo udah lama kenal sama Obet?" tanya Dimas setelah Rea duduk. "Ehm belum terlalu lama. Sejak masuk sekolah aja," jawab Rea. "Berarti sekitar dua bulan setengah," sahut Dimas. "Boleh juga tuh anak." "Maksudnya?" tanya Rea. "Nggak ada. Tenang aja," ujar Dimas. Robert kembali setelah memesan minuman, dan duduk di kursi di samping Rea. "Bet. Gue mau pinjem cewe lo." "Pinjem?! Elo pikir ini anak barang, yang bisa dipinjam seenak udel?" jawab Robert. "Wajah dia tuh unik, dan gue penasaran gimana jadinya kalo wajah dia gue pindahin ke kanvas." Dimas menjelaskan. "Iya, gue tau maksud elo. Cuma jangan tanya sama gue. Tanya langsung ke orangnya," sahut Robert. "Re, elo mau kan jadi model lukisan gue?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN