Datang Tepat Waktu

1902 Kata
Bel istirahat berbunyi. Rea tetap tinggal di kursinya. Dia mengeluarkan tempat bekal, dan bersiap untuk makan. "Re, bawa bekal apaan?" tanya Sisca mengintip tempat bekal Rea. "Wuih …, ayam balado. Siapa yang masak? Elo?" "Mama," ujar Rea. "Mau donk …." Rea mengeluarkan satu tempat bekal yang kain untuk Sisca. "Ini buat kamu Sis. Aku emang sengaja bawa buat kamu," ujar Rea sambil menyodorkan tempat makan lainnya. "Wah …, baiknya Rea …." "Ini enak banget Re," ujar Sisca dengan mulut penuh makanan. Rea tersenyum mendengar perkataan Sisca. Dia senang kalau ada yang memuji masakan mamanya. "Eh, tapi itu satu lagi buat siapa?" tanya Sisca yang melihat ada satu tempat bekal yang masih tertutup. "Buat Liana. Dia ke mana ya?" Rea mencari-cari Liana, tapi anak itu tidak ada di kelas. Robert berdiri di luar kelas melihat Rea dan Sisca sedang memakan bekal. Ada rasa iri di hatinya melihat Rea memberikan bekal pada Sisca. Robert berjalan menuju meja Rea. Teman-teman Rea yang berada di kelas terdiam melihat Robert. Namun, mereka tidak berani berkata apa-apa. "Kenapa gue nggak dibagi?" tanya Robert setelah tiba di meja Rea. Sisca terbatuk mendengar suara Robert. Sisca melirik ke arah Rea. Yang dilirik tetap makan dengan tenang dan tidak terusik dengan kehadiran Robert. Robert merebut tempat makan Rea dan berkata, "Kenapa nggak jawab pertanyaan gue?" Rea melotot pada Robert. Hilang sudah selera makannya. "Kalo lagi makan nggak boleh sambil ngobrol!" jawab Rea dengan ketus. Rea mengelap sendok yang sudah kotor dengan tisu, kemudian dibungkus dengan tisu baru. "Kenapa sendoknya disimpan?" tanya Robert bingung. "Udah kenyang." "Hei nggak boleh gitu. Makan tuh harus dihabisin," ujar Robert. "Udah hilang selera makannya. Karena ada orang yang ngambil makanan aku," ujar Rea sembari melotot ke arah Robert. "Nih gue balikkin," ujar Robert sembari meletakkan kembali tempat makan Rea. Rea menutup tempat makan yang diletakkan Robert di meja. Kemudian dimasukkan kembali ke dalam tas bekal yang dia bawa. "Lo beneran marah?" tanya Robert. "Sis, tolong kasih ini ke Liana ya," pinta Rea. "Oke. Elo mau ke mana?" "Mau ke kamar mandi." Rea diam dan tidak menggubris pertanyaan Robert. Dia bangun dari kursi, tetapi Robert mencegahnya dengan menahan tangan Rea. "Barusan aku bilang mau ke kamar mandi. Emang nggak denger? Mau ikut juga?" jawab Rea dingin. Rea berjalan meninggalkan Sisca yang masih memakan bekal dan Robert. Dia berjalan keluar kelas. Robert berjalan mengejar Rea. Dia mengikuti Rea sampai ke ujung selasar yang mengarah ke kamar mandi. "Lo marah sama gue?" tanya Robert yang sudah berdiri di depan Rea. "Nggak," jawab Rea. "Buat apa marah?" "Karena gue udah ambil tempat bekal elo." "Gapapa. Nggak usah dipikirin." "Sori," ujar Robert. "Bercanda gue keterlaluan ya?" Rea yang awalnya kesal pada Robert, menjadi tidak tega melihat wajah menyesal Robert. "Tadi iya. Sekarang udah nggak lagi," ujar Rea. "Beneran?" Rea mengangguk sebagai jawaban. "Ya udah. Sana kalo mau ke kamar mandi. Gue tungguin di sini." Dari jauh Lydia cs melihat semua kejadian antara Robert dan Rea sejak dari Robert meninggalkan kelas menuju ke kelas Rea. "Dasar belagu banget tuh cewe! Sok kecakepan!" Lydia berkata dengan marah. Dia merasa cemburu melihat Rea bisa dekat dengan pujaan hatinya. Dia yang telah mencoba mendekati Robert sejak kelas 10, tetapi tidak pernah bisa, malah selalu ditanggapi dengan dingin. Hal itu membuatnya sangat marah dan menjadi benci ke Rea. "Awas tuh cewek, bakal gue kasih pelajaran biar nggak merasa diri paling cantik!" "Emang lo yakin bakal bisa ngalahin itu cewek Lyd?" tanya Fanny. Fanny merasa gentar jika harus berhadapan dengan Rea. Dia masih bisa merasakan pelintiran tangan Rea kemaren. "Ngapain harus takut?! Dia belum tau siapa gue! Tunggu aja pembalasan gue!" sesumbar Lydia. "Lo lupa sama yang dia lakuin kemaren Lyd?" Kali ini Ria yang bertanya. Sejujurnya Ria pun segan jika harus menghadapi Rea lagi. "Mana mungkin gue lupa," jawab Lydia. "Kemaren karena itu cewe lagi beruntung aja." Fanny dan Ria saling bertukar pandang. Terkadang Lydia kerap bertindak nekat dan tanpa dipikir terlebih dulu. Dan membuat mereka jadi sering terkena masalah. "Lo yakin mau ngelabrak Rea?" tanya Ria. "Liat aja nanti. Cabut yuk," ajak Lydia. Rea keluar dari kamar mandi dan mendapati Robert masih berdiri bersandar pada pilar. Rea berjalan menghampiri Robert. "Aku mau ke kelas." "Gue mau tanya," ujar Robert. "Lo suka sama Calvin?" Robert bertanya tanpa basa-basi. Rea berjalan meninggalkan Robert. "Re, tunggu!" Robert mencekal tangan Rea. "Mau apa lagi?" "Lo belum jawab pertanyaan gue!" tuntut Robert. "Emangnya aku mesti jawab apa?" "Tinggal jawab lo suka sama Calvin apa nggak! Gampang kan!" "Aku nggak tahu, karena aku nggak mikirin. Puas?!" Robert melihat kejujuran di mata Rea. "Oke. Gue anggap itu jawaban." Robert tersenyum senang. Rea berjalan kembali menuju kelas. Bel masuk berbunyi tepat ketika Rea tiba di kelas. Tengah pelajaran, Rea mulai merasakan badannya tidak enak. Kepalanya terasa sedikit pusing. "Elo kenapa Re?" tanya Sisca yang melihat Rea mengernyitkan keningnya. "Aku gapapa." "Bener?" "Iya." *** Bel pulang berbunyi. Setelah kelas sepi, barulah Rea dan Sisca keluar dari kelas. Mereka berjalan bersisian menuju gerbang sekolah. "Re, di depan ada Kak Calvin tuh." "Biarin aja." "Lo kenapa sih Re? Dari tadi tingkah lo aneh," ujar Sisca. "Gapapa Sis. Aku mau langsung pulang ya." "Terus gue gimana?" tanya Sisca. "Loe juga pulang ya. Kasian Pak Joko tuh." "Iya, iya. Gue pulang." Setelah Sisca naik mobil dan pulang, Rea meneruskan langkah menuju halte bis. Kepalanya semakin terasa berat, dan matanya mulai berkunang-kunang. Rea ingin segera pulang dan beristirahat. Rea tidak melihat Calvin yang berdiri di depan. "Kamu mau ke mana Re?" tanya Calvin. Rea kaget mendengar suara Calvin. "Eh Kakak." "Ngelamunin apaan Re?" goda Calvin. "Nggak ada Kak." "Kamu mau ke mana?" Calvin mengulang pertanyaannya. "Oh. Aku mau pulang Kak." "Aku antar ya." Calvin merendengi langkah kaki Rea. "Jangan Kak. Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri kok," tolak Rea. "Lho kenapa nggak boleh? Takut Robert marah?" Rea terkejut dengan perkataan Calvin. "Hah?" Calvin tertawa melihat reaksi Rea. "Ayo aku antar sampe halte." Rea berjalan sampai halte ditemani Calvin. Begitu juga sampai bis yang ditunggu datang. "Aku duluan Kak," ujar Rea. "Hati-hati ya Re." Rea naik ke dalam bis, dan melambaikan tangan pada Calvin. Ketika bis jalan, Rea menyandarkan kepalanya di jendela. Rea memejamkan mata, berharap rasa peningnya berkurang. Rea mencoba untuk tetap terjaga sampai bis yang dia tumpangi berhenti di halte dekat rumahnya. Turun dari bis Rea masih harus berjalan menuju ke g**g rumahnya. Ditahannya rasa pening yang semakin menjadi. Tanpa Rea sadari sejak dari halte dekat sekolah, Robert mengikuti bis yang dia tumpangi. Robert menambah kecepatan motor dan mengejar Rea. Robert membunyikan klakson setelah dekat dengan Rea. "Naik ke motor!" perintah Robert. Rea sangat senang melihat Robert. Tanpa berpikir panjang, Rea naik dan duduk di bagian belakang motor. Robert terkejut ketika Rea langsung naik ke motor. "Ini anak kenapa?" Robert bertanya dalam hati. Rea menyandarkan kepala di punggung Robert. Deg! Jantung Robert berdetak kencang. Robert mengendarai motor dengan perasaan berbunga-bunga. Dia tersenyum-senyum sendiri di motor. Robert menghentikan motor tepat di depan rumah Rea. "Re, turun. Udah sampe rumah lo." Rea mengangkat kepalanya perlahan-lahan. "Hm. Oh udah sampe." Rea mencoba turun dari motor, akan tetapi kepalanya terasa berat dan semuanya serasa berputar. Rea merebahkan kembali kepalanya pada punggung Robert. "Hei elo kenapa Re?" Robert terkejut melihat Rea seperti itu. Robert membalikkan badan dan memegang badan Rea yang oleng. Wajah gadis itu sangat pucat dan berkeringat. Dipegangnya dahi Rea, terasa panas. "Elo sakit Re?" Rea tidak menjawab pertanyaan Robert. "Mana kunci rumah lo?" Robert bertanya lagi. Namun, lagi-lagi Rea tidak menjawab. Robert turun dari motor dengan tangan yang terus memeluk Rea. Dia mencari-cari kunci di tas Rea. Kunci rumah sudah Robert dapatkan, tinggal membuka pagar. Tapi Robert bingung bagaimana caranya, karena tidak mungkin meninggalkan Rea di motor. "Ada apa Nak?" tanya seorang ibu-ibu yang datang menghampiri. "Eng …, ini Bu. Saya mau membuka pagar rumah Rea, tapi nggak mungkin ninggalin dia di motor sendirian." "Biar saya yang pegangi dulu. Kamu cepetan buka pagar." Ibu tersebut memberi perintah pada Robert. Robert menatap ibu tersebut dengan tatapan curiga. "Maaf, Ibu ini siapa ya?" "Saya Mira, tetangganya Rea. Itu rumah saya di seberang rumah Rea," ujar Mira sambil menunjuk ke seberang. "Oh, maaf kalo gitu. Saya titip Rea sebentar." Robert bergegas membuka pagar rumah Rea, sekaligus pintu depan. Setelah itu, dia kembali ke motor. "Makasih Bu," ujar Robert. "Kamu temannya Rea?" Mira bertanya dengan pandangan menyelidik. "Iya Bu. Permisi, saya mau bawa Rea masuk dulu." "Oh, silakan. Motor kamu dibawa masuk aja." "Iya." Robert menggendong Rea dan membawanya masuk. Robert memandangi rumah Rea. "Kamar Rea yang mana?" Robert berjalan melewati ruang tamu menuju pintu pertama. Robert mencoba membuka pintu. Terkunci. "Berarti bukan yang ini," gumam Robert. Robert berpindah ke pintu kedua. Ada hiasan bertuliskan nama Rea. Dia membuka pintu, berjalan masuk ke kamar. Kemudian meletakkan Rea di atas tempat tidur. Robert melepaskan sepatu Rea, kemudian mengambil selimut. Robert duduk di karpet di samping tempat tidur Rea. "Sekarang gue mesti ngapain?" Robert mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan menelepon Mbok Sumi pengasuhnya sejak kecil. "Mbok," panggil Robert. "Iya Den." "Mbok kalo ada orang badannya panas, harus diapain?" "Siapa yang sakit Den?" "Temen Obet." "Kompres kepalanya pake handuk kecil yang dibasahi air hangat Den. Kalo handuknya udah mulai kering, dikasih air hangat lagi." "Cuma gitu aja Mbok?" "Jangan lupa dikasih makan sama minum obat." "Oke. Ntar Obet telepon lagi." Robert mematikan sambungan telepon. Dia memandangi wajah pucat Rea. Dipegangnya kening Rea, dan masih terasa panas. Robert keluar untuk mencari air hangat. Di dapur, Robert tidak menemukan air hangat. Karena itu, dia mengambil panci kecil bersih dan mengisinya dengan air kran. Ditaruhnya di atas kompor yang sudah dia nyalakan apinya. Setelah mendidih, Robert menuangkan air ke dalam baskom, kemudian ditambahkan air dari dispenser supaya suhunya sesuai. Kemudian dibawanya ke kamar Rea. Robert membuka lemari Rea untuk mencari handuk kecil. Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu di lemari paling bawah. Robert mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom berisi air hangat, setelah diperas ditempelkan di dahi Rea. "Pa …, Papa …." Rea mengigau memanggil papanya. Robert mengelus lembut rambut Rea. "Kalo sakit kenapa lo masuk sekolah sih?" gumam Robert. Ponsel Robert bergetar. Ada pesan masuk dari Gerry. Gerry : Bro, di mana lo? Gerry : katanya mau main basket Gerry : dicariin tau ya nggak ada di sekolah Obet : sori bro gue ada perlu Gerry : perlu apaan? Gerry : elo di mana sih? Obet : rea sakit Obet : gue di rumah dia Gerry langsung menghubungi Robert setelah membaca pesan. "Elo serius Bet?" "Hm." "Sakit apaan tuh anak? Perasaan tadi baik-baik aja." "Gue juga baru tau. Bilang sama Calvin gue nggak main dulu. Suruh Aaron gantiin gue." "Oke. Bilang ke pacar lo supaya cepet sembuh." Selesai telepon, Robert bangun dari karpet. Dia melihat-lihat kamar Rea. Ada foto-foto ketika gadis itu mendapat medali di pertandingan taekwondo. Ada juga foto gadis itu semasa SMP. Ada juga foto gadis itu bersama seorang pria yang tengah memeluk Rea ketika gadis itu masih kecil, sekitar usia enam tahun. Di foto itu Rea sedang tertawa lebar sambil memeluk sebuah boneka beruang berwarna putih dan sedang digendong oleh papanya. "Kok nggak ada foto bareng nyokapnya ya?" gumam Robert. "Pa …. Papa, Rea kangen." Robert menghampiri tempat tidur. Dilihatnya Rea kembali mengigau memanggil papanya. Robert menyentuh dahi Rea. Panasnya sudah turun sedikit. Robert mengambil handuk kecil di kening Rea, kembali membasahi dengan air hangat, kemudian diletakkan kembali pada kening Rea. Setelah itu Robert duduk di karpet menemani Rea yang masih tertidur. "Re, gue ijin ke dapur. Gue haus, pengen minum," ujar Robert pada Rea yang tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN