*POV RENATA*
Planningku malam ini setelah pamitan pada om Satya siang tadi adalah memohon doa restu kedua orang tua. Aku memang menempatkan orang tua pada posisi orang yang terakhir mengetahui kabar baikku ini. Karena menghadapi orang tua khususnya papaku dibutuhkan kesiapan mental dan fisik yang tangguh. Aku punya keyakinan tersendiri papa pasti akan menentang keinginanku. Maka dari itu aku benar-benar harus menyiapkan segalanya dengan sangat matang, termasuk risiko penolakan dari Papa tentunya. Namun aku juga sudah mempersiapkan segalanya supaya Papa tidak punya kesempatan berpikir untuk menentangku kali ini.
Malam ini aku menceritakan soal penerimaan lamaran pekerjaanku. Dan berniat akan bekerja di Jakarta. Papa cukup terkejut saat aku menyebutkan nama perusahaan tempatku diterima bekerja. Seperti biasa papa selalu mendebat segala keinginan dan tujuan hidupku. Sama seperti malam-malam sebelumnya jika aku menyampaikan keinginanku yang biasanya akan berakhir dengan aku mengalah dan menuruti kemauan Papa.
"Pertimbangkan kembali keputusan kamu untuk bekerja di Jakarta, Re. Papa sudah menyiapkan planning yang lebih cerah untuk masa depan kamu."
Aku tak menjawab perkataan papa sama sekali. Silent is gold.
"Papa akan mengirim kamu untuk kuliah Manajemen Bisnis di Inggris. Setelah itu kamu akan meneruskan usaha papa."
Aku mengangkat kepala kali ini. Papa mulai kelewatan. Papa tidak bisa seenak itu menentukan masa depanku. Aku bukan anak kecil lagi yang harus diatur-atur hidupnya. Sudah cukup papa mengatur hidupku selama ini. Aku lelah selalu menjadi boneka hidup papa.
"Bukannya hal itu sudah pernah kita bicarakan ya, pap? Kalau nggak desain ya seni. Hanya itu yang ingin Rere geluti. Rere ngga tertarik sama sekali dengan bisnis."
Aku menatap tajam ke dalam bola mata yang berwarna hitam pekat itu. Bola mata yang menampakkan watak keras kepalanya. Tidak ada cahaya teduh di mata itu ketika sang pemilik sedang berada di ambang batas emosinya.
"Rere nggak mau pergi ke Inggris. Tolong pap, ijinkan Rere untuk bekerja di Jakarta. Bukannya Jakarta lebih dekat dengan Bandung, dari pada Inggris? Papa dan mama juga kan bisa lebih mudah menengok Rere."
Papa mendengkus kesal. Wajahnya semakin memerah karena mendengar bantahan dari anaknya ini.
"Bekal Jurusan S1 Desain yang kamu ambil dulu tidak akan membantumu. Kamu perlu bekal pendidikan yang lebih baik Rere, papa sayang sama kamu, papa peduli sama masa depan kamu."
"Mama dan papa tidak perlu khawatir. Rere bisa bertanggung jawab atas setiap keputusan. Rere pasti akan menjaga diri baik-baik di Jakarta, dan janji tidak akan membuat papa dan mama kecewa."
"Kenapa kamu keras kepala banget Rere?"
Papa mulai naik pitam. Andaikan tidak ada mama di sampingnya sudah habis aku dicaci makinya. Demi tidak melanjutkan perdebatan ini, aku memilih beranjak dan meninggalkan kedua orang tuaku di ruang tamu.
"Selalu begitu. Tiap kali papa kasih nasihat, kamu selalu menghindar. Dewasa lah sedikit, Re. Hadapi setiap permasalahnmu dengan wajah tegak, jangan bisanya hanya menghindar."
Arrgghh... bisa-bisanya papa ngomong begitu. Aku menghindar bukannya lari dari masalah. Aku hanya tidak ingin berdebat dengan orang yang sangat aku hormati.
"Mulai kapan kamu kerja di perusahaan itu, Re?"
Suara papa sekali lagi mampu menghentikan langkahku sesaat sebelum aku menapaki tangga menuju kamarku di lantai dua.
"Awal bulan depan, pap," jawabku sambil memutar badan dan menatap wajah kedua orang tuaku.
"Jadi seminggu lagi? Dan kamu baru memberi tahukannya pada kami Renata?"
"Memang pemberitahuannya mendadak, pap. Baru dua hari yang lalu informasinya."
"Baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusan kamu. Papa yang akan mengantar kamu ke Jakarta. Bekerja lah yang tekun, karena perusahaan yang menerima kamu bukan perusahaan kecil, memang sekarang sudah dipegang oleh generasi kedua, karena pemiliknya telah meninggal dunia, tapi kiprah perusahaan ini di dunia bisnis masih diperhitungkan."
Aku langsung menghambur ke pelukan papaku kemudian mencium pipi kanan dan kiri mamaku yang berada di sebelah papa.
"Terima kasih karena sudah memberi Rere kesempatan, pap."
"Papa mengijinkan karena tahu seluk beluk perusahaan yang menerima kamu bekerja. meski kamu hanya seorang Sarjana Strata 1, mereka sudah memperhitungkan kinerja kamu."
Aku kembali memeluk papa. Kemudian setelah mengobrol ringan aku berpamitan untuk kembali ke kamarku.
Setelah berada di dalam kamar, aku menarik pintu kaca menuju balkon kamarku, mengambil posisi duduk di atas pagar beton pembatas balkon. Menatap langit cerah malam ini. Kerlipan bintang-bintang di langit seolah membuat pesta merayakan kebahagiaanku.
Renata.Aulia:
Papa sudah mengijinkan aku untuk bekerja di Jakarta. Seminggu lagi aku berangkat. Kapan kamu kembali ke Indo?
Pesan singkat terkirim pada kekasihku yang sudah tiga bulan ini ada di jepang. Katanya untuk mengurusi perusahaan barunya. Pecahan dari perusahaan milik orang tuanya.
Enrique.Tanama
Selamat ya. Aku masih belum tau bisa kembali ke Indo kapan sayang. Tapi aku usahakan dalam waktu dekat ini lah
Aku membaca balasan dari Enrique dengan perasaan kecewa, sedih, dan juga rindu. Kulihat jam di ponsel ku sudah menunjukkan pukul 23:20WIB.
Aku harus tidur karena besok ada siaran pagi. Aku masuk kembali ke dalam kamar, kemudian meringkuk di bawah selimut.
Baru memejamkan mata satu menit, ponselku bergetar, ada satu pesan singkat masuk.
Enrique.Tanama:
Sorry dear bukan maksudku membuat kamu kecewa. Kamu istirahat ya. Have a nice dream honey
Renata.Aulia:
It's okey, udah biasa kok. Iya ini aku mau tidur
Tidak ada balasan lagi. Kupeluk erat boneka Beruang berwarna putih hadiah dari Enrique saat anniversary pertama kami.
Aku merasa masih ada yang membebani pikiranku sehingga membuat aku sulit terpejam.
Ya, Perkataan perempuan yang menghampiriku siang tadi, tiba-tiba terngiang lagi di telingaku. Aku belum pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya, tapi dia sudah berani-beraninya menuduhku telah mendekati kekasihnya.
"Siapa ya tadi namanya? Angga siapa sih tadi? Dipikir-pikir kayak nggak asing sama nama itu. Ach tau deh, nama seperti itu kan pasaran."
===
*POV AUTHOR*
Tiga hari setelah mengetahui lokasi tempat tinggal Renata, Marcell bergegas menuju Bandung dan mencari studio radio tempat Renata bekerja.
Marcell menunggu dari dalam mobilnya dengan perasaan gusar dan gelisah.
Diputarnya Radio yang berada di mobilnya. Sesaat setelah lagu 'One More Night dari Maroon 5' selesai berputar, ada suara penyiar yang bersuara khas mengucapkan salam perpisahan untuk siaran pagi menjelang siang ini. Suaranya menyanyikan lagu one more night pada bagian reff nya terdengar sangat merdu tanpa ada fals sedikitpun.
"Apa ini suara kamu Renata? Jadi kamu menggunakan nama Rere saat siaran di radio. Suara kamu mengingatkanku pada saat kita pentas seni waktu kita SMP dulu."
Marcell tersenyum sendiri, tapi pandangangannya tidak berpaling sedikit pun dari pintu studio. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir kemudi di hadapannya dengan tidak sabar.
"Kamu di mana Rena, aku sudah nggak sabar ingin melihat kamu."
Selang beberapa menit dilihatnya seorang perempuan keluar dari studio bersama pria yang memiliki perawakan gemuk dan berkacamata minus.
Renata hari itu mengenakan kemeja berwarna putih bermotif bunga warna warni yang dipasangkan dengan rok mini jeans sebatas 2 cm di atas lututnya. Dua orang yang sedang diperhatikan Marcell tengah asik bercanda dari mulai pintu keluar hingga masuk ke dalam mobil Honda Jazz putih.
"Loh, bukannya itu Jonathan, teman ngebandku waktu SMA? Jadi selama ini dia dekat dengan Renata? Astaga, orang suruhanku benar-benar nggak becus. Tapi kesalahanku juga semenjak tamat SMA, sengaja loss contact dengan semua teman-teman sekolahku."
Marcell berhenti merutuk dan mulai menyalakan mesin mobilnya untuk mengikuti Renata.
Ternyata mobil Renata berhenti di sebuah cafe. Marcell masih menatap Renata dan Jonathan yang masuk ke dalam sebuah kafe yang lokasinya tak jauh dari studio itu dari dalam mobilnya.
Setelah memesan makanan dan minuman yang diinginkan, Renata dan Jonathan melanjutkan obrolan ringan mereka. Marcell pun turut masuk melalui pintu lain yang terletak membelakangi posisi tempat Renata duduk.
"Habis ini lo mau ke mana Jo?"
"Nggak ada. Gue ada siaran masih entar sorean. Kenapa? Lo mau ngajak gue makan?"
"Ikut gue belanja ke mall. Gue mau beli baju yang cocok buat ngantor di Jakarta. Secara kan gue nggak punya baju-baju ala wanita karier kantoran, Jo."
"Boleh aja, tapi gue minta imbalan. Ditraktir makan di resto Jepang," jawab Jonathan tanpa meninggalkan perhatiannya yang tengah serius bermain salah satu game di smartphonenya.
"Selalu deh lo gitu," jawab Renata sambil mencibirkan bibir bawahnya. Renata menatap kaca jendela di samping tempat duduknya. Tatapannya menerawang kosong ke jalanan kota Bandung yang mulai ramai.
"Woyyy... Jiiyyahh mikir apa sih lo?" Jonathan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah sahabatnya itu.
"Gue kangen sama pacar gue Jo. Sudah tiga bulan ini gue nggak ketemu dia."
Sorot mata Renata berubah menjadi sedih. Tatapannya berpindah dari luar kafe berputar memandangi bagian dalam kafe dan dia tertarik memerhatikan pengunjung kafe yang tidak terlalu ramai pagi itu. Dia ingin merekam keadaan kafe yang sangat memorial ini ke dalam memori otaknya.
Tatapannya bertabrakan dengan mata seseorang di ujung ruangan cafe itu. Tatapan tajam dan menatap tepat di iris mata Renata. Renata balas menatap sesaat lalu kembali menatap kaca jendela di sampingnya.
"Pacar lo masih di Jepang? Pria yang aneh. Membiarkan gadis seperti elo selama ini. Nggak takut apa ada cowok yang bakal ngerebut ceweknya?"
"Apaan sih lo Jo? Gue ini type cewek setia tau nggak lo?"
"Iye, setiap tikungan ada maksudnya?"
Renata melemparkan sweater miliknya tepat di wajah Jonathan.
"Eh, kan bener juga maksud gue Re?"
Kemudian keduanya terbahak. Tanpa sadar bila ada sepasang mata yang terus memerhatikan interaksi mereka sedari tadi dan ikut tersenyum melihat tingkah Renata saat melempar wajah Jonathan dengan sweaternya.
"Kamu berubah banget Rena. Semakin cantik dan terlihat lebih dewasa." Pria itu menggumam dan tersenyum menatap Renata dari jauh. Marcell sama sekali tidak menunjukkan tatapan marah melihat pemandangan Renata yang sedang bercanda dengan Jonathan.
"Tapi siapa yang sedang kamu pikir Rena? Terlihat jelas sorot mata kerinduan di mata kamu. Siapa orang itu yang bisa membuat kamu seperti harus menahan rindu seperti itu."
Marcell mengepalkan tangan kanannya hingga buku-buku jarinya nampak memutih. Marcell bukan cemburu pada keakraban Renata dan Jonathan. Dia justru cemburu karena melihat Renata seperti sedang memikirkan seseorang yang begitu dirindukan oleh gadis itu.
+++
^vee^