*POV RENATA*
Di usiaku yang sudah memasuki angka 24 tahun ini entah sudah berapa kali aku berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jambi, Bali, Surabaya, Jogya, Bandung dan kini aku akan menapakkan kaki di Jakarta.
Sesuai dengan janji Papa tempo hari, beliau benar-benar menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukannya untuk mengantarkan aku Bandung. Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jakarta beberapa kali Papa memberiku petuah dan nasehat yang tidak biasa.
"Saat di Jakarta kalau bisa Rere tidak usah nyanyi-nyanyi lagi ya," ujar Papa.
"Kenapa, Pap?"
"Fokus saja pada pekerjaanmu. Nyanyi itu hanya buang-buang waktu saja. Kalau Rere rindu nyanyi mending sewa vip room di tempat karaoke."
"Tapi, pap,"
"Kamu mau membantah Papa, Renata?"
Fine, papa menang dan selalu menang. Ucapku dalam hati sembari membuang wajah ke kaca jendela di samping kiriku. Mama meremas jemariku tanda wanita yang paling aku sayangi itu mencoba memberi dukungan padaku.
Semenjak kuliah aku memang diberi kebebasan oleh Papa untuk mencari jalan hidupku sendiri, dengan syarat harus melepas beberapa fasilitas mewah yang diberi oleh orang tuaku. Dengan bakatku di bidang tarik suara aku sudah biasa berkecimpung di dunia siaran, dan menjadi penyanyi di beberapa kafe yang cukup terkemuka. Entahlah aku mendapatkan bakat Tuhan ini darimana? Karena papa dan mama tidak begitu menyukai seni. Kedua orang tuaku lebih mencintai buku, tidak heran kalau papa dan mama sampai memiliki perpustakaan pribadi di rumah.
Sopir pribadi papa mengarahkan mobil memasuki pintu gerbang sebuah hotel yang terlihat mewah. Aku menaksir hotel ini tergolong hotel bintang 5. Namun aku sedang dalam mode malas berbicara pada Papa, jadi aku pilih diam dan mengikuti langkah Papa menyusuri lobi utama menuju meja resepsionis.
Dari hasil mencuri dengarku, Papa memesan sebuah kamar hotel untuk kami bertiga dengan satu buah ekstra bed.
"VIP room nomor empat, lantai 20. Ini kartunya Bapak Adrian Gunawan. Selamat beristirahat dan semoga merasa nyaman di hotel kami," ujar petugas resepsionis perempuan seraya memberikan kartu kamar pada Papa.
Papa hanya mengantarkan aku dan Mama sampai kamar, lalu beliau pergi lagi entah kemana. Karena tidak mengatakan apa pun pada Mama saat pamit.
Mama yang memang mudah lelah saat melakukan perjalanan memutuskan untuk istirahat terlebih tanpa memikirkan makan malam. Masih kenyang adalah dalihnya untuk menutupi sakit kepala yang kerap mendera Mama jika bepergian keluar kota tidak terlalu jauh seperti sekarang ini.
Menghalau rasa kesepian dan bosan yang mulai menderaku, kuputuskan menghubungi Enrique kekasihku yang berada di jauh sana.
Renata.Aulia:
"Aku sudah sampai Jakarta. I miss you"
Pesan singkat terkirim. Tidak lama kemudian ada balasan kembali. Tumben dia cepat membalasnya. Biasanya butuh waktu hingga bermenit-menit bahkan berjam-jam lamanya.
Enrique.Tanama:
"Rencana kamu mau tinggal dimana sayang?"
Renata.Aulia:
"Sementara di hotel sama papa dan mama.kamu cepat pulang ya".
Enrique.Tanama:
"Kalau kamu mau, kamu bisa pakek apartemenku dulu. Aku mungkin masih lama di Jepang, mamiku sakit Sayang. Oya nanti aku kasih alamat apartemenku."
Renata.Aulia:
Oke sayang. Terima kasih banyak. salam untuk mami kamu. semoga lekas pulih.
Enrique.Tanama:
thankyou sayang.. Hati2 ya kamu di jkt. Banyak cowok tampan dan mapan disana. Jangan khilaf!
Renata.Aulia:
Tenang sayang. Kamu yang paling tampan buat aku. Btw selama kamu di Jepang ketemu Natasha nggak? Kabar terakhir yang aku dengar dia lagi di Jepang.
Lama aku tidak mendapat jawaban dari Enrique. Sekalinya menerima balasan, dia hanya memberikan alamat lengkap apartemennya di Jakarta.
'Huft selalu begitu saat aku membahas soal Natasha. Apa ada yang Enrique sembunyikan dariku?'
Kuletakkan ponselku di atas nakas samping ranjang, kutarik selimut dan mencoba terlelap secepatnya.
---+++---
-Jepang-
*POV AUTHOR*
Enrique menatap nanar pada sederet pesan singkat Renata. Tidak lama ponsel di tangannya telah melayang ke samping ranjang akibat perbuatannya.
"Kenapa nggak dibalas? Mau sampai kapan kamu menutupi semua ini, Riq?" seorang perempuan muda memungut ponsel Enrique yang jatuh tepat di ujung jari kakinya.
"Nanti sampai semuanya sudah jelas, Sha." Enrique mengempaskan punggungnya di sandaran sofa bed. Tatapannya menerawang jauh memikirkan Renata. Enrique juga sedang memikirkan mau sampai kapan dia melarikan diri layaknya pecundang seperti ini.
"Aku capek sembunyi seperti ini terus. Aku pengen ketemu Renata, hatiku sakit bohong sama dia terus. Selama berteman dengan Renata dia selalu bersikap baik dan banyak membantuku. Aku pengen balik ke Indonesia. Mamaku sudah nggak ada, jadi buat apa lagi aku bertahan di sini?"
Kemudian Natasha berteriak histeris. Enrique berusaha menenangkan Natasha dan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Natasha mulai tenang tapi masih menyisakan isak di pundak Enrique.
"Cukup, Sha! Aku lebih sakit dari kamu. Kenyataan ini hampir membunuh aku. Saat semuanya sudah jelas kita akan bersama-sama menjelaskan kenyataan ini pada Renata. Aku janji semuanya akan baik-baik saja."
Enrique membelai lembut rambut perempuan yang berada dalam pelukannya. Natasha hanya mengangguk pelan dan semakin menenggelamkan kepalanya di d**a bidang Enrique, yang memberi aroma menenangkan bagi jiwanya yang gundah.
Kecupan ringan diberikan Enrique di leher Natasha yang terekspose sempurna, karena saat ini perempuan tersebut menggulung rambutnya jadi satu ikatan dan menyisakan helaian anak rambut nakal di sekitar tengkuknya. Dia kemudian mengedikkan tengkuknya saat kecupan Enrique ditambah dengan sedikit jilatan memutar dan mengecup bekas jilatan tersebut. Sebuah desahan berhasil lolos dari bibir tipis Natasha.
"I need you," ujar Enrique dengan suara serak basah yang terdengar sangat seksi di rungu Natasha. Tak ketinggalan jemari panjangnya yang mulai bergerilya dari leher menuju d**a Natasha.
"Bukankah kita baru menyelesaikan permainan panas tiga jam yang lalu. Memangnya kamu nggak lelah?" tanya Natasha berusaha menahan hasratnya karena tangan Enrique kini sudah berada di payudaranya. Meraba dua benda kenyal yang berada di balik kaos dan bra yang masih dikenakan oleh Natasha. Detik berikutnya dua lembar penutup tubuhnya itu sudah tergeletak mengenaskan di lantai.
"Sebentar saja," jawab Enrique lalu memosisikan tubuh Natasha berbaring di atas sofa bed.
Natasha tak bisa protes lagi saat tugas tangan Enrique kini sudah digantikan oleh bibir dan lidah laki-laki itu. Enrique merendahkan tubuhnya sambil sesekali menggesekkan juniornya di kedua paha Natasha. Lidah Enrique tak tingggal diam memberi kecupan dan isapan pada dua benda kenyal milik Natasha. Lidahnya yang sudah sangat basah itu terus berputar seiring jarum jam di puncak p******a Natasha. Tubuh perempuan itu semakin menggelinjang saat Enrique menghisap dengan kuat p****g payudaranya.
"s**t! Lakukan sekarang, Riq!"
Enrique meremas gemas salah satu p******a Natasha yang sudah mengeras. Dia bergegas menanggalkan seluruh lembaran kain yang menutupi tubuhnya, menampilkan tubuh atletis polos tanpa selembar kain pun. Natasha hanya sanggup menahan saliva saat menatap tubuh sempurna dengan otot-ototnya yang menggoda iman, sambil menahan senyum saat tatapannya telah sampai pada junior Enrique yang sudah menegang sempurna.
Kamar yang tadinya dingin mulai terasa panas saat desahan penuh gelora napsu dunia menggema memenuhi ruangan. Peluh dan napas saling berburu dari keduanya terus menghangatkan suasana. Jeritan Natasha dibungkam oleh bibir Enrique saat perempuan itu mengalami pelepasan hebat entah sudah yang keberapa kalinya. Terlihat sekali ekspresi telah terpuaskan di raut wajahnya saat ini.
Enrique terus memompa miliknya yang menemukan kehangatan di pusat tubuh Natasha. Rasanya enggan menghentikan permainan yang selalu sulit untuk diakhiri ini. Namun janji Enrique untuk mengunjungi kedua orang tuanya, membuatnya harus mengakhiri permainan ini dengan segera.
"Aku keluar sekarang ya, honey," ujar Enrique dengan napas tersengal yang makin membangkitkan gairah Natasha.
"Me too," ujar Natasha yang sedang kuwalahan mengimbangi Enrique yang mulai mempercepat gerakan pinggulnya. Jeritan dan desahan panjang dari keduanya menjadi tanda pelepasan hebat yang dinanti telah tiba dengan sempurna.
---+++---
*POV RENATA*
Setelah dua hari di hotel aku menyuruh papa dan mama kembali ke Bandung. Aku memberi kabar bahwa sudah mendapatkan apartemen untuk kutinggali selama hidup di Jakarta. Tentu saja aku menutupi soal apartemen tersebut milik kekasihku.
Sopir kiriman Enrique telah menjemputku di hotel,. Namun aku baru bisa menemui sopir tersebut setelah papa dan mama berangkat untuk kembali ke Bandung.
Aku tak banyak tanya pada sopir berusia lebih tua dari Papaku itu. Beliau juga tidak bertanya apa pun selain memastikan namaku saat aku menemuinya di lobi tadi.
Sesampainya di gedung bertingkat yang aku yakini adalah gedung apartemen yang ditinggali oleh Enrique, sopir tersebut mempersilakan aku turun terlebih dulu di dropzone, memintaku menunggunya di lobi sembari dia memarkir mobil di basemen.
Aku membiarkan sopir bernama pak Maryo tersebut melangkan terlebih dahulu sambil menarik kedua travel bag milikku. Aku mengikuti dari arah belakang, sesekali menoleh ke samping kanan dan kiri saat menyusuri koridor panjang setelah kami berdua keluar dari lift.
"Ini apartemennya nona Renata. Mari silakan masuk."
Aku masuk ke sebuah unit apartemen yang sangat mewah. Aku ingin bertanya apa benar apartemen mewah ini milik Enrique atau kami salah alamat. Namun keinginan itu gugur saat melihat sebuah foto Enrique terpajang di salah satu sudut ruangan di unit apartemen ini. Bayanganku saat Enrique menawarkan apartemennya adalah sebuah apartemen studio berukuran kecil berisi perabotan sederhana. Kalau ini sih lebih mewah dari fasilitas hotel tempatku menginap kemarin.
"Terima kasih, pak," ujarku tanpa berpaling dari tatapan kagum menatap serangkaian peralatan dan perabotan canggih di dalam apartemen ini. Mewah, elegant, dan sangat menunjukkan sisi maskulin karena pemiliknya adalah laki-laki.
Semua perabotan tertata rapi dan sangat indah desain interiornya. Apartemen ini terlihat rapi dan bersih meski telah ditinggal oleh pemiliknya hampir tiga bulan ini. Pasti Enrique rajin menyewa petugas cleaning service untuk membersihkan apartemen mewahnya ini.
"Kamarnya ada dua non, kamar mandi juga dua. Yang satu di ujung sana dan yang satu lagi di dalam kamar utama. Pesan Tuan Enrique, Nona bisa memilih kamar mana yang disuka. Jika nona ingin menempati kamar utama, saya akan menghubungi petugas cleaning service untuk membantu memindahkan barang-barang milik tuan Enrique ke kamar tamu," jelas pak Maryo panjang lebar dengan logat Betawinya yang medok.
"Ngg...nggak usah, Pak. Saya pakek kamar tamu saja tidak apa-apa kok. Barang-barang Enrique jangan dipindahkan kemana-mana, biarkan pada tempatnya," ujarku meninggalkan pak Maryo dan melenggang menuju kaca besar yang terlihat mempesona saat pak Maryo menyingkap korden tebal yang menutupi kaca tersebut. Pandanganku dari posisi berdiriku kini bisa menembus suasana kota Jakarta dari atas gedung lantai 20 ini.
"Tinggalkan saya sendiri ya, Pak. Biar saya sendiri saja yang membereskan semua bawaan saya."
"Baik non. Kalau ada apa-apa jangan sungkan telpon saya," ujarnya seraya menyerahkan sebuah kartu yang berisi alamat serta nomor telepon miliknya yang bisa dihubungi olehku.
"Baik pak."
"Emmhh nona, maaf mau tanya. Apa nona mempunyai hubungan khusus dengan Tuan Enrique? Karena Tuan muda tidak pernah sekalipun membawa teman perempuannya ke sini apalagi mengijinkan untuk tinggal di sini sejak kejadian malam itu."
"Bisa dibilang saya teman dekatnya Enrique. Memangnya apa yang terjadi malam itu, Pak? Kejadiannya kapan?" Aku bertanya karena memang penasaran. Sepertinya Pak Maryo menyimpan sebuah rahasia besar tentang Enrique.
"Oh..., Emmhh..., Kalau soal kejadian itu sudah lama, non. Pada saat Tuan Enrique masih SMA. Jangan terlalu dipikirkan, kejadian itu sudah lama sekali dan sudah usai."
Keningku berkerut tanda sedang mencurigai sesuatu. Pak Maryo bergegas meninggalkanku saat aku mulai menunjukkan gelagat ingin melontarkan pertanyaan berikutnya soal Enrique.
Renata.Aulia:
Aku sudah di apartemen kamu sayang. Apartemennya sangat bagus. Terima kasih ya
Enrique.Tanama:
Sama-sama. semoga betah ya. Be carreful yasayang. kalau butuh apa2 jangan segan menghubungi pak Maryo. dia standby 24 jam.
Kuletakkan ponselku di nakas samping kaca besar di apartemen ini. Kemudian mulai membereskan semua bawaanku yang cukup banyak ini.
---+++---
Keesokan paginya terjadi kegaduhan di unit apartemen Marcell. Shelina dengan tidak tahu malunya mendatangi unit apartemen Marcell dengan membawa koper besar berisi barang-barang milik perempuan tersebut. Shelina tidak terima saat Marcell menjelaskan secara baik-baik bahwa mereka berdua tidak bisa tinggal satu atap meski masih memiliki hubungan saudara jauh. Perempuan malah nekat menghamburkan semua barang yang berada di dalam kopernya ke lantai unit apartemen Marcell. Akirnya Marcell meradang dan memutuskan Shelina dan segala kegilaan perempuan tersebut.
"Anggaral! Mau ke mana kamu?"
"Aku mau pergi. Kalau kamu tidak juga enyah dari apartemenku lebih baik aku yang pergi dari sini!?"
"Kamu mau pergi kemana Marcell?"
"Bukan urusan kamu! Aku pastikan Ayahmu sendiri yang akan menjemputmu di sini dan menyeretmu kembali ke Jerman detik itu juga!"
"f**k!? Baiklah, aku pergi sekarang."
"Bagus! Sekarang kemasi semua barang-barangmu ini."
Setelah kepergian perempuan aneh yang terus mengganggu hidup Marcell selama dua tahun terakhir, Marcell mengempaskan tubuhnya di ranjang di kamarnya.
"Lama-lama Shelina membuatku muak. Kenapa dia terus saja menghantui hidupku. Seenaknya membawa barang-barang sebanyak itu masuk ke dalam unit apartemenku. Sial!" Marcell terus mengumpat meski Shelina sudah tidak ada lagi di hadapannya.
Teringat sesuatu hal penting pagi ini, Marcell bangkit dari ranjang untuk mengambil ponselnya dari atas nakas.
"Lani, hari ini saya tidak ke kantor. Sampai kapannya saya belum tahu. Mungkin dalam waktu yang agak lama. Segala urusan perusahaan saya handle via laptop. Kalau ada yang mencari saya tolong sampai kan bahwa saya mengadakan perjalanan bisnis ke luar negeri."
"Baik, Pak."
Setelah mematikan sambungan telepon pada sekretarisnya Marcell melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Tangannya terulur ke nakas di samping ranjang. Dia meraih sebuah foto terbingkai rapi berukuran post card.
"Maaf Rena, aku belum bisa menghadapimu. Aku belum siap bertemu denganmu," ujar Marcell sambil terus menatap wajah perempuan yang ada dalam bingkai foto tersebut.
Marcell memeluk bingkai foto dengan erat, seolah sedang memeluk orang yang gambarnya ada di dalam bingkai foto. Memejamkan kedua mata, dia merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang.
---
^vee^