Abigail perlahan membuka matanya. Matahari sudah kembali bersembunyi, berganti dengan langit malam yang kini mulai menyapa. Rasa perih dari bagian kewanitaannya kembali terasa dan membuat wanita itu menangis dalam diam.
Abigail bangkit dari atas tempat tidur dan berjalan dengan langkah sedikit gontai menuju dapur untuk mengambil sebotol air mineral dalam lemari pendingin.
Drrrrtttt ...
Drrrrtttt ...
Terdengar suara getaran ponsel dari atas meja ruang tengah. Abigail menyudahi minumnya lalu berjalan untuk mengambil ponselnya. Wanita itu menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponsel pada telinganya.
"Ya Claudya," ujar Abigail tak bersemangat.
"Ya Tuhan! Kau kemana saja? Aku sudah menghubungimu sejak siang tadi, tapi tak ada satupun panggilan yang kau jawab!" Cecar Claudya, teman satu kantornya, dari seberang telepon.
"Ada perlu apa kau menghubungiku?" tanya Abigail tak menggubris perkataan Claudya.
"Kau dicari oleh Tuan Anders sejak pagi." sahutnya.
"Untuk apa mencariku?" tanya Abigail penasaran.
"Besok kau ditugaskan kunjungan ke New York olehnya. Bersiaplah!" jawab Claudya.
"Baiklah. Pukul berapa penerbangannya?" tanya Abigail lagi dengan nada pasrah.
"Penerbangan pukul sembilan pagi. Jangan lupa kau wawancarai Nona Patricia setelah acara fashion show itu selesai." Jelas Claudya.
"Baiklah, aku akan bersiap."
Abigail pun memutuskan panggilannya. Wanita itu menaruh kembali ponsel diatas meja dan berjalan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
'Aku benar-benar berharap segalanya hanya mimpi.'
***
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Sedangkan dalam markas besar Sygma, Rhys dan kawan-kawannya sedang mempersiapkan perbekalan persenjataan mereka sebelum keberangkatan untuk menjalankan misinya.
"Rhys, aku sudah menyiapkan seluruh peralatan yang harus kita bawa besok." Ujar Miller seraya memasukkan laptopnya kedalam sebuah tas kecil.
Rhys yang sedang mengecek persenjataannya hanya menoleh sesaat, lalu kembali terfokus pada sebuah pistol revolver berwarna hitam keemasan yang kini berada ditangannya.
Ruger Super RedHawk 454 Casull adalah jenis pistol revolver yang selalu lebih unggul dibanding jenis yang biasa. Dengan peluru yang lebih besar dari pistol lainnya membuat ruger super redhawk ini memiliki kelebihannya tersendiri.
Pistol revolver jenis ini dilengkapi dengan sebuah lensa bidik yang membuatnya mampu meletuskan peluru dengan sangat akurat pada sasaran. Kecepatan pelurunya sendiri bisa mencapai seribu sembilan ratus kaki per detik. Kombinasi akurasi dan kecepatan ini disempurnakan dengan deretan peluru sebesar dua ratus empat puluh gram.
Dan Rhys, memiliki pistol mematikan tersebut sebanyak lima buah. Ethan yang melihat pistol revolver itu, menatap Rhys lalu Miller bergantian.
"Kau akan membawa pistol Ruger mu?" tanya Ethan.
"Hanya untuk berjaga-jaga." Sahut Rhys singkat.
"Kau akan membawa semuanya?" tanya Miller.
"Hmm." Rhys yang baru selesai memasukkan enam peluru ke masing-masing pistol Rugernya mulai menaruh senjatanya ke dalam sebuah kantung yang didesain khusus untuk menaruh berbagai senjata dan peluru.
"Kita tidak bisa menggunakan Revolver ini sembarangan. Ruger hanya digunakan saat keadaan mendesak. Aku bahkan tidak tahu, bagaimana lawan yang akan kita temui di sana. Mereka anak buah Red Snike, kalian pasti tahu bagaimana terlatihnya anak buah mafia tersebut." Lanjut Rhys.
"Ya, Rhys benar! Kita tidak bisa meremehkan anak buah William yang sangat terampil itu," sahut Ethan menimpali.
"Apa pesawat jet pribadiku sudah disiapkan?" tanya Rhys.
Miller mengangguk.
Rhya menekan mini earpiece ditelinganya lalu terhubung dengan salah anak buah kepercayaannya.
"Lucas, apa kalian sudah siap?" tanya Rhys.
"Sudah tuan." Sahut Lucas dari seberang jaringan pribadi mereka.
Rhys kembali menekan mini earpiece ditelinganya, lalu panggilan tersebut terputus.
"Mereka sudah siap. Miller semua peralatan yang kau butuhkan tak ada yang tertinggal?" tanya Rhys memastikan.
Miller dan Ethan kini berdiri dari tempat duduknya lalu mengangguk pada Rhys. "Kami sudah sangat siap!" sahut Ethan dan Miller bersamaan.
Seulas senyum tipis terlihat dari salah satu sudut bibir Rhys.
"Kita berangkat!"
***
Pagi ini, rintik hujan mulai berjatuhan dan membasahi jalanan kota California yang cukup padat. Abigail yang baru saja turun dari taxi segera berlari kecil memasuki lobby bandara internasional California dengan pakaian sedikit basah.
"Ah ... sial sekali aku akhir-akhir ini," gerutunya.
Wanita itu melirik jam ditangannya yang kini menunjukkan pukul delapan pagi. Suasana bandara hari ini cukup lengang. Tak banyak orang yang akan melakukan penerbangan hari ini.
Setelah melewati pemeriksaan paspor dan visa, Abigail segera masuk kedalam pesawat dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor dalam tiket pemesanan onlinenya.
Tempat duduknya bertepatan di tengah-tengah, dengan kursi yang berjajar tiga baris. Abigail menaruh tas bawaannya keatas kabin lalu duduk di kursinya.
Wanita itu menyandarkan tubuh dan kepalanya pada sandaran kursi seraya menatap keluar jendela yang saat itu terjatuhi air hujan yang cukup deras.
Tiba-tiba saja pandangannya berkabut dan sedetik kemudian airmata yang sudah tak dapat tertahan itu jatuh begitu saja diatas wajahnya. Ia kembali teringat segala kejadian buruk yang menimpanya akhir-akhir ini. Bahkan, hingga membuat sesuatu yang berharga miliknya harus direnggut oleh orang yang tak dikenalnya sama sekali.
Abigail menyesali telah menerima tawaran minum dari Anders hingga berakhir seperti sekarang ini. Ia bahkan tak mengingat wajah pria yang sudah menidurinya saat itu.
Hanya suara berat yang masih terngiang ditelinganya.
Ya ... Suara berat yang nampak berbeda dari pria manapun, juga sebuah tato didada kirinya bertulisan Sygma.
Abigail tiba-tiba teringat itu, tulisan didada kiri pria yang sudah menidurinya.
"Aku ingat, sygma. Tulisan di d**a kiri pria itu sygma." Gumamnya pada diri sendiri.
Wanita itu hendak mengeluarkan ponselnya untuk mencari serangkai kata yang diingatnya, namun pesawat mulai bergerak. Abigail mengurungkan niatnya dan kembali memasukkan ponsel tersebut kedalam saku jaketnya.
'Walaupun aku kembali bertemu dengan pria itu, aku tak mungkin menuntut pertanggung jawaban darinya. Bahkan, aku sangat yakin, pria itu bahkan tak mengingat siapa aku!'
***
New York City, Amerika Serikat.
Hanya membutuhkan waktu empat jam lima puluh satu menit, pesawat yang di tumpangi Abigail sudah landing dan berhenti dengan sempurna di landasan pesawat.
Pintu pesawat sudah dibuka oleh crew kabin yang bertugas. Abigail bangkit dari tempat duduknya dan meraih tas bawaannya di tempat penyimpanan lalu berjalan keluar dari pesawat.
Setibanya di lobby bandara, seorang wanita berambut coklat tua sedang berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Abigail.
Wanita berambut hitam itu membalas senyuman rekannya dan saling berpelukan.
"Abel, aku sangat merindukanmu," ujar Abigail.
"Aku juga Abi. Bagaimana keadaanmu?" tanya Abel setelah melepas pelukan mereka.
"Aku cukup baik. Bagaimana kabarmu?" tanya Abigail.
"Ya, aku baik-baik saja." Sahut Abel.
Mereka mulai berjalan keluar dari lobby bandara menuju mobil Abel yang terparkir tak jauh dari pintu exit.
"Kau terlihat kurus Abi, apa kau sakit?" tanya Abel dengan nada khawatir.
Abigail membuka pintu mobil sisi penumpang, lalu masuk kedalam mobil hitam milik perusahaan Guino, mengikuti Abel yang sudah lebih dulu berada didalamnya.
"Aku baik-baik saja Abel, hanya sedang sedikit kelelahan," sahutnya.
"Hari ini acara fashionshow dimulai pukul tiga sore. Beberapa merek pakaian rancangan Guino Boutique. Setelah fashionshow itu selesai, kau bisa mewawancarai Nona Patricia. Beliau sudah dihubungi Tuan Anders perihal wawancara tersebut," ujar Abel.
Abigail mengangguk. Wanita itu meraih sebuah ipad dalam tasnya, lalu mengeluarkan benda tersebut dan mulai membukanya.
Beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan olehnya sejak di pesawat tadi kembali di cek satu persatu.
***
Sebelum bergerak menjalankan misi, Rhys dan para anak buahnya berkumpul di gudang tepat samping landasan pribadi milik Rhys. Beberapa anak buah dengan pakaian lengkap ala sniper memegang sebuah senjata laras panjang ikut andil dalam misi ini.
Miller mulai kembali memasang chip rahasia ke empat yang dimiliki Sygma pada sebuah alat yang kini dihubungkan pada laptopnya. Jari jemari terampil itu memasukkan beberapa kombinasi abjad numerik hingga tiga buah titik lokasi kembali ditampilkan pada layar laptop dihadapannya.
Miller meng-klik titik gps pertama yang berwarna biru, hingga sebuah alamat muncul beserta peta satelitnya.
"Guino Boutique?" tanya Miller pada Rhys yang sedang memperhatikan dari belakangnya.
"Sebuah chip dalam sebuah gedung toko busana? Apa itu mungkin?" tanya Ethan yang kini berjalan ke arah Miller dan Rhys.
"Miller, bisa kau lihat siapa pemegang chip tersebut melalui titik satelit?" tanya Rhys.
"Aku tidak yakin, tapi akan aku coba."
Miller memulai kembali pekerjaannya, memasukkan beberapa kombinasi abjad numerik yang kemudian beralih pada laptop ke dua disampingnya dan saling terhubung.
Butuh waktu cukup lama, hingga sebuah gambar hasil dari pencarian satelit tersebut berhasil didapatkan.
"Dia Jack Melton, kekasih dari pemilik Guino Boutique. Saat ini, mereka sedang mengadakan acara peragaan busana yang dihadiri beberapa ceo dari berbagai perusahaan mode di dunia."
"Apa hubungan Jack Melton dengan Red Snike?" tanya Rhys.
Miller kembali menekan tombol enter hingga menampilkan sebuah data informasi yang didapatnya.
"Dia tangan kanan William, Rhys." Sahut Miller.
Rhys mendengkus mendengar jawaban Miller. "Pantas saja dia memiliki chip tersebut."
"Sebenarnya untuk apa mereka merecah dan menyebar tiga chip tersebut ke beberapa kota?" tanya Ethan.
"Agar Harris dan timnya terkelabui. Mereka berpikir, Harris akan kesulitan mencari ketiga supermicro chip tersebut jika benda itu disebar ke beberapa tempat." Ujar Rhys menimpali.
"Mereka benar-benar bodoh!" maki Ethan.
"Miller, kapan acara itu dimulai?" tanya Rhys.
"Pukul tiga sore nanti. Apa rencanamu Rhys?" Miller beralih menatap ke arah Rhys diikuti Ethan yang juga menunggu jawaban dari Rhys.
Sedangkan pria dingin itu tersenyum simpul seraya melipat kedua tangannya diatas d**a.
"Kita akan menyebar, dan memasuki acara peragaan busana tersebut sebagai pengunjung. Setelah tiba di dalam, kita segera mencari dimana keberadaan Jack Melton. Tanpa mengambil perhatian dari satu pengunjung pun!"
***