Siang ini, para pengunjung peragaan busana yang diadakan Guino Boutique sudah mulai berdatangan. Beberapa mobil mewah milik para ceo dari berbagai perusahaan-perusahaan internasional pun tak kalah menjadi sorotan awak media yang sudah menunggu di samping Red Carpet dengan kamera ditangan mereka.
Rhys bersandar pada mobil LaFerrari hitam miliknya dari kejauhan. Pria itu menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam. Tak jarang, beberapa wanita yang melewati dirinya menatap kagum pada Rhys.
Ya ... Bagaimana tidak?
Rhys bahkan terlihat seperti model setelan jas pria. Rambut coklat gelap yang tertata rapih dengan bulu tipis kecil-kecil yang tumbuh disekitaran dagu, dilengkapi kacamata yang bertengger diatas hidung mancung pria itu, tak luput dari perhatian para orang yang berlalu lalang.
Tak lupa, setelah jas mahal yang berwarna navy itu melekat pada tubuhnya menambah daya tarik. Pria itu semakin tampan, bahkan terlihat sangat berwibawa.
"Rhys, kau bahkan lebih terlihat seperti model peragaan busana pria dari pada ketua mafia!" celetuk Miller dari seberang jaringan pribadinya.
"Aku lebih tampan dari para model itu!" Timpal Rhys datar.
Ethan dan beberapa anak buahnya yang mendengar seketika menahan tawa seraya menoleh kearah Rhys yang masih bersandar pada mobil LaFerrari hitam miliknya.
"Kita bergerak!" titah Rhys mulai mengarahkan.
Pria itu dan para anak buahnya mulai bergerak dari posisinya. Miller kembali memonitor pergerakan mereka dari dalam sebuah van yang dirancang khusus oleh Rhys sebagai tempat bekerja Miller.
Rhys menekan mini earpiece ditelinganya kembali seraya berjalan ditengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
"Miller, kau sudah menyabotase seluruh cctv disekitaran gedung Guino Boutique?" tanya Rhys.
"Sudah," sahut Miller dari seberang jaringan pribadi mereka.
Rhys menekan dua kali pada telinga yang terdapat mini earpiece, dan mulai memberi arahan.
"Bersikap selayaknya pengunjung! Jangan terlihat mencolok dan pasang tampang ramah kalian. Acara akan di mulai pukul tiga. Kekasih pemilik Guino Boutique sudah tiba sejak pukul sebelas siang. Kalian mulai bergerak setelah mendapat arahan selanjutnya dariku!" ujar Rhys.
"Baik." sahut mereka bersamaan.
***
"Abigail, kemarilah. Duduk disampingku," ajak Abel saat peragaan busana itu akan segera dimulai.
Abigail yang sedang mencari tempat duduk segera mengangguk seraya tersenyum manis pada Abel.
"Setelah selesai acara, kau bisa mewawancarai Nona Patricia di ruangannya," bisik Abel saat Abigail sudah duduk di sampingnya.
Abigail mengangguk. Acara peragaan busana dimulai.Lampu-lampu dalam gedung di matikan dan hanya lampu sorot ke atas panggung yang terlihat menyala.
Seorang pembawa acara memulai beberapa kata sambutan. Yang kemudian diikuti kata sambutan dari Patricia, sang pemilik sekaligus designer dari Guino Boutique.
"Abel, aku permisi ke toilet sebentar." Bisik Abigail berbisik.
Abel yang mengerti mengangguk sesaat sebelum Abigail berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke toilet.
Sedangkan dilain tempat, Rhys dan para anak buahnya sudah duduk di kursi pengunjung peragaan busana yang sudah disiapkan oleh panitia. Dengan menggenggam selembar pamplet yang berisi beberapa foto desain pakaian yang dibagikan saat memasuki tempat acara berlangsung.
Tatapan Rhys mengarah pada seorang pria pelontos yang mengenakan setelan jas putih sedang berdiri di depan sebuah daun pintu tak jauh dari ruang ganti para model.
"Arah jam sepuluh sebelah barat laut dari posisiku," gumam Rhys.
"Jack Melton, dengan setelan jas berwarna putih," sahut Ethan yang duduk di sebelah barat Rhys.
"Target bergerak!" ujar Rhys.
Pria itu berdiri dari atas tempat duduknya dan mulai berjalan menuju target. Disusul oleh Ethan dan dua anak buahnya dari belakang dengan jarak yang cukup jauh agar tidak mencurigakan. Sedangkan beberapa orang aanak buah yang lain menunggu arahan selanjutnya dan tetap memonitor pada jalannya acara tersebut.
***
Seorang wanita berambut pirang dengan gaun merah yang dikenakannya, kini sedang menghadap pada cermin untuk menambahkan lipstik berwarna merah di bibirnya.
Abigail yang baru saja keluar dari toilet, kini merapikan t-shirt yang dipakainya lalu bercermin tepat disamping wanita berbaju merah tadi.
Abigail tersenyum sopan kala wanita itu menatapnya dengan tatapan mencemooh pada dirinya lalu melenggang pergi keluar dari toilet.
Abigail menghela napas cukup dalam saat kembali mendapati tatapan itu dari orang berbeda hari ini. Ia kemudian menarik kran wastafel lalu mencuci kedua tangannya.
"Kau cantik Abigail. Kau juga baik hati. Jangan mengambil hati dan mendengarkan apa yang orang lain katakan tentang dirimu," gumamnya pada dirinya dalam cermin.
Ia pun mulai melangkahkan kakinya keluar dari dalam toilet, dan menengokkan kepala kekiri dan kekanan mencari jalan untuk kembali pada tempat peragaan busana yang sedang berlangsung.
"Ya Tuhan, kenapa aku selalu lupa jalan pulang?" tanyanya lebih pada diri sendiri.
Ia lalu melihat kembali wanita berpakaian merah tadi sedang berjalan di lorong. Abigail pun memutuskan mengikuti arah wanita itu dan meyakinkan dirinya jika wanita tadi akan kembali ke acara peragaan busana, melihat dari pakaian mahal yang dikenakannya.
Abigail tiba-tiba menghentikan langkahnya, kala mendengar suara teriakan dari dalam salah satu ruangan yang baru saja ia lewati.
"Tolong!!" suara itu terdengar cukup pelan dan seperti tertahan sesuatu.
"Jangan bunuh aku, aku mohon!" terdengar kembali suara dari dalam ruang tersebut dengan lirih.
Abigail menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari bantuan, tapi saat itu entah kenapa, lorong menjadi sepi seketika. Wanita itu merasa penasaran dan mendorong sedikit pintu yang seperinya tidak terkunci itu.
"Siapapun yang melihat pembunuhan itu Doris, mereka akan mati ditanganku sebelum sempat melaporkan pada siapapun!" terdengar suara pria yang sangat berat membisikkan kata-kata tersebut.
Dan tepat saat itu, Abigail melihat sesuatu hal yang tak seharusnya dilihatnya. Seorang wanita berambut coklat tua yang tak lain adalah Abel, tergeletak dengan leher tersabit dilantai dan bersimbah darah.
Pria itu sempat menoleh ke arah pintu dan menyadari ada seseorang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya. Jack mendengkus sebal seraya memutar bola matanya, lalu berkacak pinggang.
"Kenapa selalu ada tikus kecil yang melihat urusanku?" gerutunya pada diri sendiri.
Belum sempat Jack melangkahkan kakinya, wanita yang mematung di balik pintu yang terbuka cukup kecil itu tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Jack segera membuka pintu dan menoleh ke kiri dan kekanan mencari saksi yang melihat pembunuhan tersebut.
Sedangkan di dalam satu ruangan lain, seorang pria bermata coklat dengan harum maskulin dari tubuhnya, kini sedang membekam mulut Abigail dan mengungkungnya pada tembok dibalik pakaian yang menggantung.
Ya ...
Saat Rhys sedang bersembunyi dari balik ruangan disamping tempat terjadinya pembunuhan, pria itu mendengar perkataan Jack dan menyadari ada orang awam yang melihat kejadian tersebut.
Pria itu segera membuka pintu tempat ia bersembunyi dan dalam sekali gerakan, Rhys menarik tubuh Abigail dan membawanya masuk ke tempat persembunyiannya.
Tubuh wanita dihadapannya itu bergetar sangat hebat. Bahkan, dari manik matanya tersirat ketakutan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Tiba-tiba, Rhys mengerutkan dahinya saat ia tak melepas tautan matanya dari mata wanita dihadapannya. Pria itu mengingat seseorang yang mempunyai mata sayu seperti ini. Perlahan, tangan yang sejak tadi membekam wanita itu ia lepaskan.
Namun, didetik berikutnya, Abigail terkulai lemas dan terjatuh tak sadarkan diri tepat pada d**a bidang Rhys.
"Kau ... wanita itu!" gumamnya seraya memperhatikan dengan seksama wajah Abigail yang berada diatas lengannya.
***