BAB 3
Membenci dan mencintai. Aku masih dalam perjalanan menuju dua arah tersebut. Ke arah mana aku melangkah nanti itu tergantung bagaimana kamu memperlakukanku.
ΔΔΔ
Lelah berkeliling, akhirnya Anaya dapat beristirahat juga. Gadis itu mengambil posisi terlentang di atas kasur, menghela napas panjang. Anaya terlalu senang sore ini, hingga tak ada celah untuknya memanyunkan bibir. Andre pun nampak bersahabat dengannya, selama mereka berkeliling pria itu tidak sedikitpun bersikap yang membuat mood Anaya buruk. Andre nampak menikmati perjalanan mereka, hingga kebahagiaan yang tak kalah besar juga dia dapat.
Andre mengajak Anaya ke taman yang dipenuhi berbagai macam bunga di sana, tempat itu benar-benar indah bagi Anaya yang baru sekali mengunjunginya. Kalau saja Anaya tahu ada tempat seindah ini, dia akan selalu mengunjunginya di akhir minggu untuk melepas penat dari berbagai kegiatannya. Membayangkan selalu berkunjung ke tempat indah ini saja sudah membuatnya senang, apalagi jika memiliki rumah di sana?
Anaya mengambil kamera miliknya, melihat-lihat kembali hasil bidikannya dan Andre tadi. Senyum Anaya mengembang, ternyata pria datar itu pandai dalam pengambilan sebuah gambar, hanya beberapa hasil bidikannya yang tidak sesuai. Besok Anaya akan mencetaknya.
Pintu terbuka mengalihkan pandangan Anaya, gadis itu menoleh beberapa saat. Sebelum memfokuskan kembali pandangannya pada layar kamera, Anaya berucap, "Dari mana?" tanyanya tanpa sadar. Ah, sejak kapan Anaya peduli pada pria itu?
Andre tidak terlihat menunjukkan ekspresinya, wajah tampannya tetap sama, datar. "Kamar Mami," balas Andre singkat.
Anaya hanya ber'oh'ria. Tidak terlalu peduli juga mau ke mana dan apa saja yang dilakukan oleh Andre. Mengurusi hidupannya lebih penting daripada mencampuri urusan pribadi pria datar dan kaku itu yang belum tentu akan melakukan hal yang sama padanya.
"Lo apa gue yang mandi duluan?" tanya Andre kemudian. Pria itu sedang duduk di atas sofa, melepas sepatu dan kaos kakinya.
Anaya diam, berpikir beberapa saat. "Gue duluan," jawabnya lantas menyimpan kameranya ke dalam laci nakas, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Andre membuka laci nakas yang terakhir kali Anaya buka, mengambil kamera gadis itu. Andre menyandarkan punggung pada kepala ranjang, dia ingin melihat satu persatu foto yang ada di dalam kamera tersebut. Siapa tahu dia mendapatkan sesuatu yang dapat dijadikan bahan untuk mengerjai gadis manja yang sedang bersenandung ria di dalam kamar mandi tersebut.
Tanpa dia sadari, Andre menyunggingkan senyuman ketika melihat foto masa kecil Anaya. Anak itu terlihat begitu cantik, lucu, dan menggemaskan dengan memakai dress selutut ditambah bando kupu-kupu di kepalanya. Andre beralih pada foto lain yang memperlihatkan seorang anak kecil yang sedang berulang tahun. Senyum lebar Anaya pada foto itu membuat hati Andre berdesir. Entah apa yang sedang dia rasakan.
Melihat foto-foto masa kecil Anaya, mengingatkan Andre pada masa kecilnya dulu yang begitu kaku dan monoton, sadar betul masa kanak-kanaknya tak semenyenangkan gadis itu. Andre bahkan baru memiliki teman dekat ketika dia duduk dibangku sekolah menengah atas. Sedari kecil Andre selalu bermain sendiri, belajar sendiri, dan hanya sekali dia merayakan ulang tahun bersama kedua orangtua, ketika berumur enam tahun. Menyedihkan? Memang. Tapi tak masalah, Andre sudah terbiasa dengan kehidupannya, seorang diri.
Senyuman yang tadi tercetak manis pada bibirnya lenyap dalam sekejap mata ketika Andre melihat foto siapa yang kini berada di layar kamera tersebut. Seorang pria dengan wajah dipenuhi bedak tebal dan beberapa coretan merah yang tak lain adalah lipstik. Andre memutar kembali memori yang tersimpan dengan baik pada kegiatan yang berujung memalukan tiga tahun lalu, tepatnya saat pria itu dihukum oleh senior ketika terlambat datang di hari pertama pengenalan lingkungan sekolah. Yap, seseorang yang berada di layar kamera tersebut adalah dirinya, Andre.
"Ngapain buka-buka kamera gue!" bentak Anaya yang langsung merebut kamera miliknya dari tangan Andre.
Andre menatap Anaya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Gadis itu hanya mengenakan jubah mandi, dan handuk yang melilit di kepala. Andre diam beberapa saat, penampilan Anaya seperti ini benar-benar membuatnya merasakan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Ini wajar, Andre pria normal.
Anaya menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Dasar otak m***m!" Anaya menutup kasar wajah Andre menggunakan bantal yang ada di dekatnya. "Awas aja lo sampai berfantasi liat sama tubuh gue!" ancam Anaya tak main-main. Sorot matanya menjadi ciri khas wanita itu ketika kesal. Andre tertawa dalam hati.
Andre menaikkan sebelah alisnya. "Ogah juga gue bayangin tubuh lo yang datar itu. Gak ada lengkukannya sama sekali, gak doyan gue!" balasnya acuh, mengangkat sebelah bahu.
"Dasar pria berotak m***m! Tapi baguslah kalau lo gak tertarik sama tubuh gue. Itu menguntungkan buat gue," balasnya Anaya tersenyum miring, kemudian berlalu meninggalkan Andre, berniat mengganti jubah mandi dengan pakaian santai miliknya.
Sebelum Anaya menghilang di balik tembok kamar mandi, Andre teringat dengan foto yang terakhir kali dilihatnya pada layar kamera gadis itu. Dengan santai dan tanpa dosa dia berucap, "Gue baru tahu kalau lo suka sama gue." Diiringi senyuman miring khas dirinya.
Anaya lantas menghentikan langkahannya. Berbalik menghadap Andre dengan memelototkan matanya. "Hey! Jangan sembarangan kalau ngomong! Gak ada dalam kamus gue suka sama cowok macaman lo begini, wajah datar kayak tembok dan sok dingin!"
"Masaaaa?" balas Andre lagi nampak sedang menggoda wanita itu.
"Yaiyalah! Kurang kerjaan suka sama lo! Ogah, ogah!"
"Tapi lo ngambil foto gue diam-diam." Andre menyipitkan matanya.
"B-bukan gue! Itu kerjaan Bella sama Rara."
"Owh mereka ... yakin?"
Anaya sedikit melebarkan matanya. "Terus lo pikir gue bercanda? Jangan mimpi, gue gak pernah suka sama lo!" kesalnya. Anaya menggerutu dalam hati, "Memangnya siapa yang mau suka sama cowok datar dan gak berperasaan macam lo? Kalau gue mah ogah!"
Andre tersenyum manis dengan mengangguk kecil. "Kita lihat aja nanti. Gue tunggu lo suka sama gue."
****
Ketika pagi tiba, Anaya terlihat begitu bersemangat. Dia sudah membersihkan diri dan rapih dengan pakaiannya. Menepati janjinya kemarin, pagi ini Anaya bangun lebih awal dan akan membantu pekerjaan di dapur.
Anaya menoleh ke arah Andre yang masih tidur dengan nyaman. Menyebalkan sekali ketika teringat ucapan pria itu terhadapnya tadi malam. Karena perdebatan mereka itu, Andre maupun Anaya tidak saling bersinggungan. Satu sama lain saling mengunci mulut, menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing hingga larut dan tidur dengan posisi saling memunggungi.
Anaya menggeser sedikit tempat duduknya, berniat langsung menuju dapur tanpa membangunkan sang suami. Anaya tidak akan menegur pria itu terlebih dahulu. Karena menurut Anaya, penyebab perdebatan mereka tadi malam murni dari pria itu, maka yang menyapa lebih dulu harus dari pihak yang bersalah, Andre.
"Pagi, Bi," sapa Anaya pada salah satu asisten rumah tangga yang sedang memotong-motong sayuran.
"Pagi juga, Neng Anaya." Asisten rumah tangga yang Anaya panggil Bibi itu membalas dengan ramah dan sopan. "Biar Bibi aja, Neng, yang melakukan semua pekerjaannya," ucap Bibi tersebut melarang Anaya yang berniat membantu memotong sayuran yang lain.
Anaya tersenyum. "Enggak pa-pa, Bi. Naya bisa kok, Naya sudah sering melihat cara memotong sayuran yang benar."
"Bukan begitu, Neng Anaya. Hanya saja Bibi gak enak--"
"Udah santai aja kalau sama Naya, Bi. Anggap aja kita berteman," potong Anaya diakhiri dengan kekehan. "Sekalian aku belajar masak, Bi, biar jadi istri yang baik. Bukannya memang seharusnya kayak gitu? Istri harus pinter masak biar disayang suami. Iyakan, Bi?" candanya sambil tertawa kecil. Benarkah itu Anaya yang berucap? Untuk disayang suami? Bukankah itu kedengarannya Anaya menginginkan Andre agar menyayangi dirinya?
Bibi ikut tertawa mendengarnya, kemudian mengangguk mengiyakan. Benar adanya, ketika seorang istri pintar mengolah masakan dan suaminya selalu merasa senang atas perlakuannya, maka dia akan mendapatkan cinta dan kasih sayang yang luar biasa dari sang suami. Tentu saja itu sebagai hadiah untuk membayar lelah atas pekerjaannya.
Ketika diperhatikan, Anaya lumayan jago dalam bidang memasak. Tidak disangka, dengan bermodal kuota saja gadis itu telah menguasai beberapa keahlian dalam mengolah masakan.
Anaya begitu menikmati kegiatan paginya yang menurutnya sangat menyenangkan dan tentu saja tidak seburuk yang dia pikirkan selama ini. Saking asiknya, Anaya sampai tidak menyadari kehadiran sang suami yang tengah berdiri tidak jauh darinya--pria itu menyandarkan sebelah bahunya pada lemari es. Pria yang nampaknya baru saja selesai mandi itu melipat kedua tangannya di depan d**a, memperhatikan sang istri yang begitu cekatan mengulek sambal.
"Ngapain berdiri di situ?" tanya Anaya sedikit terkejut menyadari keberadaan sang suami. Kemudian sorot matanya menajam ketika melihat ke arah kepala pria itu. "Kenapa tuh rambut gak dikeringin?!" bentak Anaya sedikit kesal. Jangan bilang kalau mengeringkan rambut pria itu adalah tugas baru dirinya di setiap pagi?
Tanpa bicara, Andre melemparkan handuk kecil miliknya pada Anaya. Dia rasa Anaya mengerti maksud mengapa Andre melempar handuk tersebut.
Anaya mendengus kesal. Dengan perasaan sedikit jengkel, dia menyuruh Andre menunduk. Untung saja pria itu langsung menurut, sehingga tidak menimbulkan keributan seperti pagi sebelumnya. "Manja banget!" cibir Anaya dalam hati.
"Yang ikhlas dong."
Anaya memutar bola matanya malas. "Benar-benar pria ini!" geramnya lagi dalam hati.
"Beso-besok keringin sendiri!" Anaya menatap tajam Andre, masih menggosok-gosokkan handuk putih itu untuk mengurangi kadar air di rambutnya. "Jangan manja. Lo punya dua tangan sempurna, gunain! Jangan cuman buat main games," lanjutnya masih dengan nada tidak bersahabat.
"Lo dengar gue ngomongkan? Ini yang terakhir kalinya gue keringin, besok-besok oga--"
Cup. Andre mencium kening Anaya secara tiba-tiba membuat gadis itu kehilangan kata-kata. Anaya mengerjap beberapa saat seraya menetralkan detak jantungnya.
"Lo lebih cakep diam."
Anaya melebarkan matanya lantas mengembalikan handuk yang berada dalam genggamannya kepada Andre. Kemudian beranjak meninggalkan pria itu menuju kamar tanpa menoleh kembali.
"Itu ternyata kelemahan lo ...." Andre bergumam pelan dengan senyuman tipis--mengandung banyak arti.
****