BAB 2
Ketakutan terbesar dalam hidupku bukan kehilanganmu, tapi melihat dirimu kehilangan kebahagiaanmu.
ΔΔΔ
Sinar mentari memasuki setiap celah gorden yang ada di kamar pengantin baru--Andre dan Anaya. Pagi ini terasa semakin indah dengan alunan yang terdengar begitu merdu dari beberapa burung yang setia berkicau di setiap paginya.
Anaya menggeliat, mengerjap beberapa saat, hingga pandangannya menjadi jelas. Anaya terperanjat dan memelototkan mata mendapati wajah Andre berada tepat di depan matanya--hanya berjarak beberapa senti saja. Bukannya segera menjauh, gadis itu malah tersenyum kecil. Kalau dilihat dalam jarak sedekat ini, Anaya mengakui kalau pria itu memang mempunyai ketampanan di atas rata-rata. Dan ada hal baru yang dia dapatkan pagi ini, pria itu terlihat lebih manis ketika menutup mata.
Cukup sudah bagi Anaya mengamati wajah pria itu secara diam-diam. "Kalau ketahuan orangnya, bisa mati berdiri gue!" pikirnya dalam hati.
Ketika gadis itu berniat bangun, tangan kokoh Andre tiba-tiba melingkar pada pinggangnya. Anaya terkejut bukan main, dan langsung memejamkan mata berpura-pura tidur. Satu detik, hingga sepuluh detik diam dalam posisinya Anaya merasa tidak terjadi apapun. Anaya menghela napasnya lega, ternyata pria itu masih setia dengan mimpi indahnya. Perlahan namun pasti, Anaya mengangkat lengan Andre, dan secepatnya beranjak menuju kamar mandi.
"Aaaaa ...!" Anaya berteriak kencang ketika melihat hewan kecil berwarna cokelat yang sedang berjalan cepat ke arahnya. "Andre, tolong!" teriak Anaya yang sudah berdiri di atas kloset. "Andre ... Andre tolongin gue!" teriaknya sekali lagi--lebih panik dari sebelumnya. Bagaimana tidak, hewan kecil bernama kecoak itu tidak hanya satu ekor, tapi dua ekor.
"Kenapa teriak-teriak, sih, Nay? Masih pagi juga?!" tanya Andre dengan nada tidak suka dengan apa yang terjadi pagi ini. Andre adalah pria yang paling benci kebisingan.
Kaki Anaya bergetar saking takutnya. "Huaaa ... kecoak!" teriaknya khas orang yang benar-benar sedang ketakutan. Kecoak adalah hewan yang walaupun badannya kecil tetapi sangat di benci banyak orang sebab termasuk ke dalam hewan yang amat menjijikan, menggelikan, dan menakutkan.
"Diam, Anaya!" bentak Andre. "Ini masih pagi! Aish, cewek kok mulutnya kayak petasan gini!" Kemudian memijat pelipisnya, heran.
"Ayok, turun!" ucapnya berniat meraih tangan Anaya, menyuruh gadis pecicilan itu segera turun, menyudahi kegaduhannya.
"Enggak! Di bawah masih ada kecoak!"
"Nay jangan bercanda! Kecoak sama badan lo masih jauh lebih besar elu."
"Lo gak ngerti! Gue takut!" Anaya menghentakkan kakinya benar-benar kesal terhadap sikap pria itu yang tidak pernah mengerti dengan dirinya.
"Terserah!"
Sebelum Andre beranjak, dia kembali berucap, "Gue saranin mending lo besok-besok makannya nasi aja, jangan toak!"
Anaya meraih botol sabun di dekatnya, kemudian melempar dengan kejengkelan yang sudah berada di ubun-ubun. Senyum jahat Anaya mengembang, botol itu mendarat tepat mengenai kepala bagian belakang Andre. Pria itu meringis.
"Dasar cewek bar-bar!" geram Andre. Anaya memanyunkan bibirnya. Kemudian, tanpa malu dia berkata, "Gendong gue! Gue gak berani turun sendiri." Ditambah dengan nada sedikit merengek.
Andre berdecih, menatap kesal pada Anaya. Memang tidak tahu malu, umpatnya dalam hati. "Ogah!" tolak Andre, kemudian segera beranjak meninggalkan kamar mandi, dan menutup pintunya sedikit keras.
"ANDREEEE!!!"
****
"Orang jahat pendek umurnya!" sindir Anaya melirik dari cermin meja rias ke arah Andre yang sedang sibuk dengan benda pipihnya.
"Huh, dasar sok ganteng!"
"Sok dingin, muka kayak tembok gitu sombongnya minta ampun!"
"Moga cepat kelar hidupnya ya Tuhan," lanjutnya dengan nada yang terdengar seperti benar-benar memohon kepada Tuhan.
Andre yang awalnya tak menggubris sindiran demi sindiran yang dilontarkan Anaya, akhirnya merasa jengkel, dan angkat bicara, "Gue mati, lo jadi janda, Anaya! Lo pikir enak jadi janda, ha?!"
"Ah! Kayak ada yang ngomong, tapi kok, ya, gak ada wujudnya!" balas Anaya tak mau kalah. Segera dia beranjak dari meja rias, melangkahkan kaki meninggalkan Andre yang sedang menatap tajam ke arahnya. Anaya mengangkat bahu, tidak peduli.
Gadis itu melangkah menuju dapur. Daripada berdiam diri di kamar, membuat darahnya cepat naik, lebih baik membantu orang rumah menyiapkan sarapan.
Walaupun manja dan tidak pernah memasak sebelumnya, mau tidak mau akan ada saat di mana Anaya harus melakukan kegiatan itu untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai seorang istri, paling tidak ahli memasak makanan untuk sang suami. Anaya tidak menolak dan mau-mau saja melakukan pekerjaan yang akan menjadi kewajibannya setelah menikah, bahkan dia berniat akan belajar memasak setelah ini. Anaya tidak ingin dianggap istri tidak becus oleh sang suami, bagaimana pun caranya Anaya harus bisa memberikan kesan yang baik. "Siapa tahu si pria sok dingin itu jatuh cinta sama gue," batinnya tersenyum jahat.
Meski keahliannya mengurus rumah masih jauh di bawah rata-rata, jangan panggil Anaya kalau tidak bisa meng-handle semua pekerjaan rumah tangga.
"Pagi, Sayang," sapa Maya pada Anaya. Senyum wanita itu membuat hati Anaya lebih baik. Untung saja Anaya mendapat ibu mertua sebaik ibunya Andre. Wanita itu tidak jauh beda dengan ibunya. Anaya bisa merasakan kalau Maya juga sosok wanita penyayang.
Anaya balas tersenyum. "Pagi juga, Mami," sahut Anaya. Mami, itulah panggilan Anaya untuk sang mertua, sama seperti Andre.
"Naya bangunnya kesiangan ya, Mi?" tanya Anaya sedikit tidak enak hati, sebab makanan sudah tersaji rapih di atas meja makan.
"Sudah tahu pakai nanya lagi!" balas Andre lebih dulu dari Maya, pria itu berjalan ke arah meja makan, mengambil ropi selai kacang miliknya yang sudah disediakan oleh Maya di setiap pagi.
"Aduh ... aduh, Andre! Sudah Mami bilang kalau habis mandi itu dikeringkan dulu rambutnya! Gak malu, huh, sama istri kamu?" tegur Maya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nanti juga kering sendiri, Mi," jawab Andre dengan santai, kemudian meminum segelas susunya hingga tandas.
"Anaya, kamu keringkan dulu rambut suami kamu. Mami mau ngurusin Papi dulu ke kamar," ucap Maya lantas berlalu menuju kamarnya.
Andre menatap Anaya sambil memicingkan matanya. "Apa lo liat-liat?" tanyanya dengan ketus. Anaya menghentakkan kaki kasar, lalu mengambil kasar handuk yang berada di bahu kiri suaminya tersebut.
"Menunduk!"
Andre mencibir, "Makanya sering-sering minum s**u, biar badan lo tinggian dikit!" Andre menepuk-nepuk pelan kepala Anaya, sambil tersenyum miring. Sekarang dengan mudah Andre mengatai gadis itu yang sedari dulu tak pernah kesampaian.
Anaya memberengut. Tanpa mengeluarkan suara, Anaya langsung menarik kasar rambut pria itu hingga sang empunya meringis kesakitan.
"Mampus! Sakit kan, huh? Biar sekalian gue botakin rambut lo setelah ini!" desis Anaya.
Andre menarik paksa lengan Anaya, merapatkan tubuh mereka. Andre memberikan tatapan yang tak pernah Anaya terima sebelumnya. Tatapan yang sulit dijelaskan.
"Mau apa lo?" tanya Anaya sedikit takut melihat Andre yang seperti melirik ke arah bibirnya. Segera dia kantup rapat-rapat kedua benda kenyal itu.
Andre menyeringai, dia semakin mendekatkan wajahnya. Tidak berniat melakukan apa-apa, hanya ingin mengerjai gadis itu.
Anaya memukul-mukul d**a Andre, mencoba menghentikan kekonyolan ini. Tidakkah pria itu malu akan menciumnya di dapur seperti ini? Bagaimana kalau ada yang melihat mereka?
Anaya memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan untuk menghindari Andre. "Jangan macam-macam, ya, Ndre!" Anaya memperingatinya dengan penuh penekanan.
Andre tersenyum miring, kemudian menjauhkan wajahnya dari Anaya. Yang pertama kali Andre lihat adalah wajah Anaya yang nampak memerah.
"Nyebelin!" Anaya mendesis kesal. Dia memukul d**a suami menjengkelkannya itu sebelum beranjak pergi meninggalkan dapur.
****
Andre dan Anaya berjalan menuju meja makan bersama. Di sana tidak ada orang, karena orang rumah semua sudah sarapan terlebih dahulu. Membujuk wanita yang sedang merajuk jauh lebih sulit daripada menyelesaikan tugas fisika dan matematika. Sulit ditebak dan dimengerti maunya apa. Hampir satu jam lamanya Andre membujuk Anaya yang sedang merajuk padanya. Tidak mungkin Andre sarapan seorang diri, apa kata kedua orangtuanya nanti?
"Duduknya di sana aja! Jangan dekat-dekat!" bentak Anaya. Masih merajuk rupanya, pikir Andre.
"Nay, gak mungkin kan suami makannya berjauhan sama istri."
Anaya memutar bola matanya malas. "Mungkin aja kalau gue yang menginginkannya!" jawab Anaya asal. "Makanya jadi cowok itu jangan tengil. Jangan suka bikin orang marah!" imbuhnya kemudian.
"Terserah!" balas Andre tidak ingin ambil pusing. Dengan atau tanpa persetujuan Anaya, Andre mengambil tempat di sebelah gadis itu.
Anaya berdecak kesal.
"Ambilin nasi dan lauk gue!" pinta Andre begitu santai. Anaya menatap Andre dengan memicing.
"Punya tangankan? Ambil sendiri sana!" tolak Anaya mentah-mentah.
Tidak ingin berdebat lebih panjang, Andre mengalah. Dia mengambil nasi dan lauknya sendiri. Kemudian menikmati sarapannya dalam diam. Hanya terdengar gesekan antar piring dan sendok dari keduanya.
Usai menyelesaikan sarapan, Andre segera beranjak dari tempat duduknya. Baru melangkah, seketika dia ingat akan satu hal, dan kembali menolehkan kepala pada Anaya. "Kalau lo pengin keliling daerah sini, sore aja. Pagi ini gue sibuk, jadi gak bisa nemenin."
"Gak perlu ditemani. Gue bisa pergi jalan-jalan sendiri!" balasnya acuh. Anaya mengangkat kedua bahunya, tidak ambil pusing. "Akan lebih baik kalau gue perginya sendiri. Gak ada yang ngatur-ngatur," lanjutnya sedikit menambahkan sindiran.
"Gak! Gue gak izinin! Kita berkeliling nanti sore!" putus Andre. Sebelum Anaya menyela lagi, Andre lebih dulu memotongnya, "Gue gak suka dibantah, Anaya! Turuti aja, di sini posisi gue bukan lagi teman sekelas atau musuh bebuyutan, tapi suami lo!"
"Oh sekarang mainnya ngandelin posisi?" sindir Anaya, dia melipat kedua tangannya di depan d**a. "Gue gak janji akan tetap berada di kamar. Gue orangnya cepat bosan."
"Terserah mau ke mana, yang penting masih di rumah ini."
"Kenapa, sih? Gue sudah besar, gue gak mungkin nyasar jalan sendirian. Kalau lo gak bisa nemenin, gue bisa diantar sama Pak Arman!"
"Pak Arman lagi gak ada di rumah hari ini. Satu lagi, kalau merasa diri lo sudah besar, kenapa kelakuan masih kayak bocah? Susah diatur!"
Anaya yang tadinya membuang muka langsung menatap pria itu. Tentu saja menunjukkan tatapan tidak suka. "Nyebelin! Gue bukan bocah, dan gue gak suka diatur!" bentak Anaya tidak terima dikatai bocah.
"Gue berhak atas diri lo sekarang."
"Terserah! Terserah! Gue benci sama lo, Andre!" teriak Anaya, kemudian terdengar pintu yang ditutup dengan sangat keras, Anaya membantingnya.
Andre menghela napas. Benar-benar memungsingkan mendengar mulut mercon wanita yang sekarang berstatus istrinya tersebut. Impian hidup tenang setelah lulus sekolah menengah atas yang Andre pikir tak akan bertemu lagi dengan Anaya ternyata hanyalah angan-angan saja. Buktinya, mereka malah hidup bersama dalam satu atap dan dipererat dengan hubungan yang sakral.
****
Sudah menjelang sore, tetapi Andre masih saja berada di ruang bacanya. Anaya ingin sekali mengetuk pintu berwarna putih tersebut, namun diurungkannya. Takut-takut kalau sang empu ruangan mengamuk.
Anaya menyalakan layar ponselnya, berniat menghubungi pria yang berada di dalam ruangan tersebut. Anaya geram dibuatnya, tidak bosankah berada di dalam sana setengah hari penuh?
"Halo?"
"Kenapa?" tanya Andre tidak ingin berbasa-basi. Jemarinya dengan lincah bergerak di atas keyboard komputer miliknya.
"Jangan bilang lo lupa sama janji lo tadi pagi?!" sebal Anaya. Gadis itu sudah bersiap-siap dengan pakaian rapih, dan mempercantik wajahnya.
"Besok aja. Kerjaan gue belum selesai," jawab Andre terdengar begitu santai di seberang sana.
Anaya memelototkan matanya, dan langsung memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Tanpa mengetuk pintu, Anaya masuk ke dalam ruangan yang baru pertama kali dia masuki. Anaya melipat kedua tangannya di depan d**a, gadis itu berdiri di depan Andre yang nampak terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba.
"Apa?" tanya Andre dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Gak mau tahu, sore ini harus jadi keliling. Kalau lo gak bisa, gue bisa sendiri!" putusnya ketus. Tentu saja Anaya tidak terima dengan keputusan Andre yang seenak jidat membatalkan janji sedangkan Anaya sudah rapih dengan pakaiannya.
"Jangan kayak bocah. Gue beneran lagi ada kerjaan." Andre menjawab tanpa menoleh, melanjutkan ketikannya.
Anaya mendengus kesal. "Gue pergi sendiri!" Lantas beranjak dengan kesal.
"Aish! Dasar tukang rajuk!" cibir Andre yang langsung menyudahi pekerjaannya, segera menyusul Anaya sebelum gadis itu nekat berkeliling seorang diri.
****