Pijatan terapis terasa pas di punggung Ana sampai - sampai dia terlelap dibuatnya. Sementara itu Kana yang dipijat disebelahnya, terus memandanginya hampir tidak berkedip. Mereka sedang pijat di ruangan yang sama, semacam ruangan vip dan tidak ada pengunjung yang lain. Ana tidak keberatan satu ruangan dengan Kana karena dia juga tidak berniat mengganti bajunya dengan baju khusus pijat yang minim bahan. Hanya saja Kana yang sekarang topless tapi punggungnya ditutupi handuk pijat, dia hanya memakai celana pendek. Mereka bisa saling melihat satu sama lain karena tidak ada tirai pembatas diantara mereka.
Awalnya ketika sedang pemijatan di kaki, refleksi ... keduanya masih ngobrol, Kana juga masih memakai baju. Tidak mungkin ada yang tertidur karena sebentar - sebentar Ana terkaget dan meringis kesakitan sampai dia ingin menyerah saja rasanya.
"Kenapa?" tanya Kana.
"Sakit," jawab Ana sambil meringis. Ana terbiasa dengan pijat tradisional di apartemen, dia punya langganan tukang pijat tetangga satpam apartemen, dia memang tidak terlalu suka pakai metode refleksi seperti ini.
"Nggak usah serius banget refleksinya mbak, pijat biasa aja," begitu ucap Kana karena dia melihat Ana tidak tahan pijatan di jari - jari kakinya itu.
Masa pijat sambil bercanda sih mas ganteng. Mungkin begitu isi pikiran si mbak terapis pijat walau yang keluar dari mulutnya cuma,"Iya."
Setelah itu baru wajah Ana terlihat santai.
Yang memijat Kana pria dan yang memijat Ana seorang wanita.
"Mbak, sekarang depannya," tepuk terapis itu ke lengan Ana. Bukan hanya Ana yang bangun dari tidurnya tapi Kana juga sadar dari tatapan satu arah pada Ana tadi, dia mengerjab kan mata sebentar lalu mengalih kan kepalanya ke arah berlawanan sebelum Ana benar - benar sadar bahwa Kana terus memandanginya.
"Mas sekarang depannya," sekarang giliran Kana yang disuruh berbalik.
"Duh aku ketiduran ya, kamu ketiduran nggak?" tanya Ana ketika mereka sekarang sedang sama - sama terlentang, antara malu dan tidak enak hati karena sampai tertidur.
"Nggak bisa tidur, kamu tidurnya ngorok ... sampe susah merem aku," jawab Kana dan membuat Ana melotot tidak percaya, apa benar dia ngorok? Malu - maluin banget!
"Serius? Salah dong selama ini aku merasa tidurnya paling kalem dan estetik."
Kana hampir saja menyemburkan tawanya mendengar soal tidur kalem dan estetik tadi. Memang sih tidurnya kalem .. soal ngorok tadi Kana bohong, tapi estetik? Hm ... kalo mulut sedikit terbuka bisa dibilang estetik nggak sih?
"Kayaknya harus direkam baru kamu nyadar tidur kamu nggak ada estetik- estetiknya.Tanyain deh sama mbaknya, dia sampe tutup kuping." Kana memang benar - benar seniat itu mengerjai Ana.
Si mbak terapis tentu saja jadi tersenyum mendengar kebohongan Kana, kode itu juga yang membuat Ana tahu bahwa Kana sedang berbohong.
"Bohong dosa lho, lebaran masih lama buat kamu minta maaf," ucap Ana mengalihkan tatapan ke tangan kirinya yang sedang dipijat.
Kana terkekeh, dia tidak merasa bersalah sama sekali.
Kana masih bisa meraih tangan kanan Ana dengan tangan kirinya karena tempat tidur pijat mereka memang kurang dari satu meter jaraknya. "Maaf deeh.." ucapnya sambil menggenggam tangan Ana sebentar.
Genggaman tangan singkat yang hanya lima detik itu ternyata sukses membuat perut Ana menegang , dadanya sedikit sesak karena tiba - tiba pasokan oksigen tersendat sebentar, soalnya tadi dia sempat menahan nafas. Reaksi Ana barusan tentu saja wajar, Ana yang minim sentuhan lawan jenis beberapa tahun terakhir ini tentu saja merasa kaget dengan sentuhan mendadak yang dilakukan Kana itu, dia tidak berpikir Kana kurang ajar karena ya memang cuma sekejap saja, tapi rasanya aneh, seperti sentuhan yang tidak biasa jadinya, kenapa ya?
Para terapis pijat yang sedang melakukan pijatan tentu saja senang melihat pemandangan yang sweet gratisan ini. Kapan lagi melihat pasangan cantik dan ganteng ini seperti sedang menebar aura cinta, apalagi terlihat jelas sekali yang pria senang mengganggu sang wanita ketika sudah bangun dari tidurnya, padahal tadinya hanya memandang sang wanita ketika sedang tidur.
Dua jam waktu yang cukup untuk memanjakan diri, setelah pijat masih ada sesi mandi uap, mandi air hangat dan ditutup secangkir minuman jahe hangat.
"Seger ya .." ucap Kana sambil melihat ke kaca spion ketika dia sedang memundurkan mobilnya hendak meninggalkan parkiran ruko.
"Banget."
"Aku laper banget."
"Iya, sama."
"Makan di mal rame nggak ya sekarang?" tanya Kana yang sedang menempelkan kartu e-money untuk membayar parkir.
Ana melihat jam tangannya, sudah jam satu lewat seperempat, pantas dia lapar.
"Harusnya nggak serame jam makan siang tadi ya, udah jam satu lewat," jawab Ana.
"Hmm ... mau di mal?"
"Ya boleh."
"Oke."
Mereka menembus kemacetan satu lampu merah di bundaran Pondok Indah dan putar balik di lampu merah pim satu untuk langsung menuju street gallery. Kana memilih Valet Parking dari pada harus mencari parkir disaat perut lapar begini, lagi pula ini Sabtu dan sudah diprediksi lahan parkiran pasti penuh. Tidak ada perdebatan mau makan apa, yang punya ide duluan otomatis disetujui karena perut sudah menuntut diisi. Disinilah mereka sekarang, di Seroeni sesuai usul Ana tadi.
Sebenarnya keadaannya di luar perkiraan Ana tadi, resto ini tidak bisa dibilang sepi, mereka sempat dicatat dulu namanya sebelum masuk karena ternyata harus menunggu sebentar, mejanya sedang dibersihkan karena pelanggan yang memakai meja tadi barusan saja keluar.
Ana diserahkan Kana untuk memilih menu, apa pun yang cepat dan enak pasti dia makan. Kana hanya memilih minumnya, air mineral dan es batu.
Kung pao Chicken, Udang telur asin, daging lada hitam dan pokcoy menjadi santapan makan siang mereka. Pilihan Ana memang pas, kata Kana mewakili setiap angkatan. Ana masa bodoh saja di goda begitu, yang penting hasil akhirnya semua makanan ludes pada waktunya.
"Jadi nonton nggak?" tanya Kana ketika sudah selesai meneguk air mineralnya yang terakhir.
"Emang ada film yang bagus?"
"Nggak tahu," jawab Kana yang hendak melihat ponselnya untuk mencari referensi.
"Eh nggak usah deh, udah mau jam setengah tiga, kan mau ke rumah sakit, takutnya kemalaman visitnya."
Kana meletakkan lagi ponselnya, batal cari film.
"Kita sholat di sini aja ya, abis itu langsung jalan," usul Ana yang diangguki Kana. Kana langsung berdiri hendak membayar sekalian mereka keluar. Mereka langsung menuju mushola yang ada di street gallery. Setelah meletakkan sepatu di tempatnya, mereka terpisah, Kana ke tempat pria dan Ana ke tempat sholat wanita. Kalau di Mushola memang sepi, karena waktu dzuhur juga sebentar lagi habis. Di tempat shalat wanita, hanya ada tiga orang wanita, mereka sepertinya ibu dan anak, Ana shalat tidak jauh dari mereka.
Ana lebih dulu beranjak dari tempat shalat karena ketiga orang itu masih tampak ngobrol sambil melipat mukenanya.
"Lho ... dokter Ariana?"
Ana melihat Kana sedang duduk berdua dengan Dean. Dean tampak sedang menunggu Kana yang sedang memasang sepatunya.
"Eh Dean."
"Wah jarang - jarang kita bisa bertemu bertiga gini dok." Dean sepertinya takjub bertemu dokter pembimbing Obgyn-nya dulu di sini.
"Kayaknya di rumah sakit sering deh, biasa aja lagi," sahut Kana santai. Dean masih belum paham kalau Kana itu datang bersama dengan dokter Ariana.
"Dean sama siapa?"
"Sama mama dan adik - adik saya dok ... tuh mereka," tunjuk Dean yang melihat ketiga wanita dekat Ana tadi keluar.
Ana mengangguk pada ketiga orang itu, dan dibalas oleh mama Dean walau dia belum tahu siapa Ana.
"Ma, ini dokter Ariana ... dokter pembimbing abang lima bulan yang lalu," Dean mengenalkan Ana pada mamanya. Mereka bersalaman, juga adik - adik Dean.
"Lho ada Kana juga, baru datang?" tanya mama Dean.
"Udah dari tadi tante," jawab Kana yang menyalami mama Dean sambil menundukkan kepalanya.
"Sama siapa, sama mama?"
"Oh nggak," jawab Kana tanpa menjelaskan dia datang sama siapa.
"Salam buat mama ya, sudah lama tante nggak ketemu."
"Iya nanti disampaikan tante."
"Udah?" tanya Kana dan dijawab anggukan oleh Ana.
"Kami duluan ya tante."
Yang di pamiti mamanya, tapi yang membeku malah Dean.
"Bro ... gue duluan," Kana menepuk bahu Dean pelan, dia berharap Dean segera mencair dari kebekuannya.
****
Kana menunggui Ana di mobil saja karena Ana bilang paling lama setengah jam. Dia hanya visit pasien yang tinggal enam karena sudah ada yang pulang dua kemarin.
'Ting' bunyi notifikasi masuk ke ponselnya. Kana lihat ada nama Dean.
Dean
Kan ... lo sama dr. Ariana?
Kalimat pertanyaan Dean lebih mirip tuduhan dan dibiarkan menggantung. Kana tidak mengklik pesan itu supaya Dean tidak melihat bahwa dia sudah membacanya. Kana belum mau membahas ini, nanti saja hari Senin. Kalau dibahas sekarang, Dean juga tidak akan percaya kalau dia dan Ana tidak ada hubungan apa - apa, lebih baik dijelaskan nanti kalau mereka bertemu supaya lebih jelas. Kana mengambil topi dan kaca mata hitamnya, dia mengantuk dan mau tidur saja.
Ternyata tidak sampai setengah jam Ana sudah kembali, dan ketika di tiba di mobil, dia melihat Kana sedang tertidur, Ana mengetuk pintu mobil karena dikunci dari dalam.
Kana memakai topi dan kaca mata hitam selama tidur, padahal dari tadi kedua benda itu tidak dipakainya, mungkin khawatir dikenali satpam.
"Niat banget tidur pake topi sama kaca mata," komentar Ana ketika masuk ke mobil.
Kana meletakkan topi nya ke kursi belakang tapi kacamatanya tidak dilepas.
"Pengen aja."
"Takut pas mimpi mataharinya lagi terik - teriknya ya ... takut silau dan kepanasan."
Kana terkekeh sambil mengambil botol air mineral yang dia letakkan di holder gelas tepat di depan AC, pasti dia mendinginkan air di sana.
"Kemana lagi kita?" tanya Kana.
"Balik aja deh ... udah lama di luar," jawab Ana.
"Ke apartemen?"
"Ya, emangnya kemana lagi?"
"O iya juga ya, masa ke rumah aku," sahut Kana lalu menjalankan mobilnya keluar dari rumah sakit menuju apartemen Ana.
Menjelang jam lima sore mereka sudah sampai di Hamptons lagi. Mereka naik ke lantai lima belas, sebelumnya Ana mampir melihat box suratnya, dia selalu lupa mengeceknya, dan memang kosong.
"Mau kopi nggak An?" tanya Kana yang kini menghampiri mesin kopinya yang masih tertutup cover plastik.
Ana yang sedang menyalakan Ac kamar menyahut," Nggak ah, nanti aku nggak bisa tidur lagi, harusnya siang tadi kalau mau ngopi."
"Aku kurangi espressonya, setengah takaran," tawar Kana lagi.
Sambil bertolak pinggang seperti berpikir, Ana akhirnya menyetujui," Oke, setengah takaran."
Seperti dua hari yang lalu, sekarang mereka duduk lagi menikmati langit senja yang akan berganti malam dengan kopi hangat setengah takaran.
"Ayahku mau datang Rabu depan," ucap Ana.
"Sendiri?"
Ana mengangguk, " Ada kerjaan tiga hari hari dua malam di Sahid. Kayaknya aku nginep di sana selama ayah di Jakarta, soalnya dia nggak bisa ke sini."
"Kamu ke rumah sakit dari sana? Bukannya tambah jauh ya?"
"Nggak apa - apa, cuma dua hari, mumpung ada ayah. Sudah lama kami nggak cerita - cerita."
"Kenalin dong sama ayah kamu."
Ana menoleh ke arah Kana," Nggak ah, nanti ayah aku malah berpikir yang macam - macam," tolak Ana.
"Emang kenapa sih?"
"Nggak lah, aku nggak pernah punya teman akrab beberapa tahun belakangan ini, apa nggak syiok dia kalo lihat aku punya bestie cowok?"
Kana terkekeh.
"Pasti ayah kamu senang kalo sekarang kamu punya teman akrab, setidaknya anaknya nggak sendirian di Jakarta."
Ana menggeleng, nggak .. dia nggak mau ayahnya akan berpikir yang tidak - tidak.
"Eh ... Dean tadi kayaknya kaget banget lihat kita jalan bareng," Ana teringat Dean sekaligus mengalihkan pembicaraan tentang Ayahnya.
"Nggak, dia nggak kaget. Kan dia tahu kita akrab."
"O ya?"
"Iya, aku cerita sama dia kalo aku berteman sama kamu, mau minta nilai bagus di stase mayor Obgyn, biar lulus nanti," jawab Kana berbohong.
Ana tertawa. "Nanti kayaknya bakal nambah teman lagi nih aku, teman - teman kamu pada deket ke aku semua dengan pikiran yang sama kayak kamu gitu."
"Ooowh nggak boleh, mereka harus cari jalan Ninja masing masing kalo mau dapat nilai bagus."
Ana masih tertawa, Kana paling bisa merendah, tentu saja nilainya sudah sempurna tanpa campur tangan dirinya.