"Kan ... mau pulang jam berapa?" Dean menghampiri Kana yang sedang berhadapan dengan laptopnya.
Bukannya langsung menjawab, Kana malah menekan tombol sebelah kanan ponselnya untuk menyalakan layar yang gelap karena tidak ada notifikasi yang masuk.
Mendesah kecil karena kecewa, Kana melihat jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, setengah jam lagi mereka sudah boleh pulang, tapi Kana belum mau karena jam lima Ana praktek, dia pasti ada di Poli.
"Jam limaan, mungkin lewat dikit," jawab Kana lalu melanjutkankan lagi kegiatan mengetiknya.
"Gue boleh nebeng?"
"Boleh, nih kunci ... ntar lo yang bawa, gue ada perlu dulu sebentar ... nanti lo duluan aja ke mobil." Kana menyodorkan kunci dengan bandulan dompet STNK, bukan dompet lima puluh ribuan pastinya, merknya sangat jelas dan kalau dicium, wangi kulitnya khas kulit sapi yang memiliki paspor, dari luar Negri.
"Oke, lo belum selesai tugasnya?" tanya Dean. Tadi dia masuk hanya tinggal Kana seorang dalam ruangan ini, yang lain sudah ngacir ke Cafetaria disaat jam galau begini karena pikiran sudah di rumah tapi badan masih di rumah sakit menanti absen pulang jam tujuh belas kosong - kosong.
"Belum." Kana menjawab sambil mengetikkan sesuatu, dia tidak menoleh.
"Mau nyelesaiin di sini?"
"Hm."
Dean paham Kana benar - benar niat bikin tugas yang diberikan dr Timoty walaupun bisa jadi pekerjaan rumah karena laporannya ditunggu hingga jam dua belas tengah malam nanti.
"Oke, gue ke Cafetaria dulu kalo gitu."
"Hm .."
Kana memastikan Dean sudah benar - benar pergi menjauh dari tempatnya duduk. Laptop langsung dimatikannya dan tidak ada yang perlu disimpan karena tadi dia hanya mengetik asal supaya terlihat sibuk. Tugasnya tentu saja sudah selesai dari tadi karena dia gabut sambil menunggu kabar Ana..
Ponselnya mendadak terang layarnya, panggilan yang dia tunggu dari beberapa jam yang lalu akhirnya datang, yaitu panggilan dari Ana.
"Halo An ." mungkin baru satu kali nada panggil yang didengar Ana dan langsung berganti suara Kana. Memang secepat itu Kana mengangkat teleponnya.
"Iya, tadi kamu telpon aku ya, ada apa?" pertanyaan Ana benar - benar menunjukkan bahwa dia seperti orang yang tidak tahu kalau sedang dicari dan sangat ditunggu kabar beritanya.
"Kamu di mana An? Aku dari tadi nyari kamu nggak ketemu." Kana tidak mau basa basi, hampir empat jam dia menunggu ini, lama sekali rasanya.
"Aku pulang, tapi ini sekarang sudah balik lagi ke rumah sakit," jawab Ana.
Pulang? Kana merasa heran sendiri.
"Aku lihat mobil kamu ada di bawah pohon tuh, beneran pulang?"
"Iya beneran. Aku nggak bawa mobil soalnya tadi ngantuk banget deh, aku tuh nggak yakin bisa nyetir pulang ... jadi aku naik taksi aja biar aman, lagian kan aku bakal ke rumah sakit lagi. Sekarang juga sudah naik taksi," jawab Ana menjelaskan semuanya.
Helaan nafas lega terdengar sedikit. Ya cuma sedikit, yang sedikitnya lagi masih ada rasa kesal karena pencariannya yang gagal tadi, masih ada residu sepertinya.
"Kamu udah makan?" tanya Kana.
Terdengar biasa tapi keduanya mungkin tidak sadar bahwa sebenarnya ini bentuk perhatian yang selalu ada setiap hari sejak mereka mulai dekat.
"Udah, bangun tidur baru ingat belum makan, pantes aja aku laper. Untung ada rice bowl frozen yang kita beli waktu itu, aku panasin aja di microwave, kenyang banget Alhamdulillah," cerita Ana.
"Hm ... kamu di mana, udah pulang ya?" lanjutnya lagi bertanya ke Kana.
"Belum, masih di rumah sakit ngerjain tugas, tapi sebentar lagi mau absen pulang," jawab Kana. Dia harus cari alasan supaya tidak terlihat hanya menunggu Ana.
"Oh sebentar lagi."
"Kamu sudah di mana An?"
"Ini di depan Nestle, sudah mau keluar tol."
"Macet?"
"Iya, makanya aku lewat tol, biasalah Jumat."
Kana tahu ini Jumat, dia cuma perlu tahu berapa lama lagi kira - kira Ana tiba di rumah sakit.
"Masih lama?"
"Hmm ... sebentar. Mas, kalo menurut maps -nya, berapa lama lagi kita sampai?" tanya Ana ke supir yang sedang mengemudikan mobil yang di tumpanginya.
"Sepuluh menit lagi mbak, tinggal putar balik aja di depan sana," jawab supir taksi itu sambil menunjuk jalan tempat berputar di bawah kolong jalan tol.
"Oke makasih. Halo ... kata mas nya sekitar sepuluh menit lagi." Ana beralih dari pembicaraan dengan supir taksi online lalu ke Kana.
"Kamu tuh bestian sama supirnya ya, sampe akrab banget manggilnya mas?"
"Hah?"
****
Sabtu pagi Ana bisa berleha - leha sejenak. Semalam aman tidak ada panggilan dari rumah sakit. Nanti Kana mau datang, mau ngajak pijat katanya. Gara - gara Ana membatalkan ajakan nge-gym dua hari yang lalu itu, Kana malah berinisiatif mengajak Ana ke tempat pijat nanti jam sepuluh, dia sudah pesan tempat, lokasinya di salah satu Ruko di Pondok Indah. Setelah pijat bisa langsung makan siang dan kalau ada film yang bagus mau sekalian nonton, begitu rencana Kana. Nanti sore Ana juga harus ke rumah sakit untuk visit pasiennya karena besok benar -benar libur, Kana yang akan mengantarkannya.
Ana bangun dari tempat tidur dan langsung melipat selimut, menyusun bantal dan mengambil sapu lidi untuk merapikan tempat tidurnya.
Ana keluar kamar lalu menyalakan robot sapunya yang bisa ditinggal sambil dia menyiapkan sarapan sendiri. Dia sedang ingin makan yang simple saja, orak arik telur sama roti gandumnya yang ada di kulkas. Pekerjaan yang paling cepat dan juga cepat kenyang.
Sambil menggulung asal rambutnya memakai jedai andalannya, Ana mulai menyiapkan sarapannya. Tidak lupa lagu dari spotify yang terhubung dengan speaker portable yang dia letakkan dekat mesin kopi milik Kana, ikut meramaikan apartemen yang sepi ini. Beginilah kehidupan single Ana selama ini, hanya akhir - akhir ini mulai diwarnai Arkana Mahendra, si dokter muda yang dulu paling berani mengganggunya, bukan mengganggu dalam artian negatif, tapi selalu merecokinya. Kana tidak bisa melihat Ana senggang sedikit pasti diajak ngobrol, lama - lama mengajak Ana melakukan kegiatan yang mereka sukai bersama, hingga ke titik besti - bestian yang bikin nyaman begini.
Orak - arik telur, roti bakar, butter dingin sudah tertata di atas piring ceper Ana. Dia juga sudah meletakkan semua itu di atas table island. Sementara itu dia membersihkan dulu teflon dan dan sampah kulit telur yang bekas dipakainya tadi, lalu mematikan robot sapunya.
Ana duduk di kursi tingginya dan berhadapan dengan makanannya. Ponsel sudah diletakkan di holder berkaki pendek di depannya, dia akan menelpon Ayah dan ibunya, jatah rutin selain hari - hari yang lain, kalau Sabtu pagi itu semacam kewajiban dan kebiasaan.
"Kaak .." wajah ibunya lebih dulu terlihat, sepertinya sedang di kamar.
Ana tersenyum melihat ke arah kamera, dia sambil menyuapkan makanannya.
"Baru sarapan? Sudah mau jam delapan pagi lho ini kak, kok siang kali sarapannya?"
"Baru bangun bu, capek."
"O semalam kakak praktek pulang malam kan ya?"
"Iya. Ibu lagi ngapain?" Ana menyuapkan lagi telur orak arik ke mulutnya.
"Baru masuk kamar, mau siapkan baju buat kondangan, Opung Tambunan yang rumahnya di blok B itu, cucunya nikah,"
"Cucunya siapa? Andan?"
"Kakak kenal?"
"Ya kenal lah, kan temennya Mihra sama Indha."
"Ibu kira kakak nggak kenal."
"Ya nggak akrab bu, tapi tahu. Pesta di rumah?"
"Nggak, di hotel. Acaranya nanti siang. Indha juga datang sama Brian."
"Nggak mabok dia?"
Bu Des tertawa kecil.
"Masih, tapi kuat katanya, kalau di rumah malah sakit kepalanya."
Dasar bumil modus, tukang jalan biar lagi mabok juga mana bisa dilarang.
"Ayah mana bu?"
"Ada di luar, lagi ngobrol sama Brian," jawab Bu Des, tampak dia berjalan keluar kamar.
"Yah ... kakak nih."
Ayahnya ada di meja makan, sedang ngobrol setelah selesai makan pagi kelihatannya.
"Ayah .."
"Ya .. ini ayah lagi ngobrol sama Brian," jawab ayahnya lalu membalikkan layar ponsel ke arah Brian yang duduk dihadapannya.
"Kaaak," Brian melambaikan tangannya dan dibalas hal serupa oleh Ana.
"Sehat kak?" tanya ayahnya ketika kamera ponsel sudah menghadap kearahnya lagi.
"Sehat yah ...Ayah gimana kabarnya?"
"Ayah sehat."
Ana mengangguk dan terlihat senang dengan jawaban Pak Yanuar.
"Hari ini mau kemana kak?"
"Sebentar lagi aku mau pijat sama teman yah, sakit - sakit badanku ini ... nanti sore ke rumah sakit, mau visit."
"Owh iya Kak, rencananya ayah mau ke Jakarta minggu depan ... tapi nggak tahu bisa nginap di apartemen atau nggak, ayah ada acara seminar tapi cuma dua hari di hotel Sahid, itu juga abis acara ayah langsung pulang."
"Nggak usah bilang kalo nggak bisa ketemu yah." Ucapan Ana terdengar seperti merajuk pada ayahnya.
Pak Yanuar terkekeh. Brian yang masih duduk di depannya saja ikut tersenyum mendengar ucapan kakak iparnya itu.
"Kakak aja yang tidur di hotel tempat ayah nginap, kan nggak jauh kali ke rumah sakit kan?" Pak Yanuar memberi solusi.
"Ya lihat nanti aja."
"Mau dibawakan apa kak?" Backsound suara bu Des terdengar sampai di telinga Ana. Ibunya itu pasti tidak jauh dari ruang makan walau tidak terlihat di kamera.
"Nggak usah bawa apa - apa bu,"
"Mau rendang nggak?"
"Eh boleh deh."
Ana langsung berubah pikiran setelah ditawari rendang, tadi dia tidak kepikiran.
"Teri kacang mau nggak kak?"
"Eh itu juga boleh bu."
Sudah dua item yang tidak ditolaknya, soalnya masakan ibunya memang enak - enak dan ngangenin. Cuma kalau ditanya dia mau apa, dia tidak tahu.
"Sambal Kincung juga mau?"
Ana tersenyum, agak malu sebenarnya kalau dia bilang mau lagi, jadi memilih mengangguk dan cuma ayahnya yang melihat.
"Bawakan semua isi kulkas sama isi dapur itu bu, mau semua dia," sindir ayahnya dan membuat Ana terkekeh.
"Hari apa ayah datang?"
"Hari Rabu malam, acaranya Kamis dan Jumat penutupan, Jumat malam ayah langsung pulang."
"Nggak bisa Sabtu aja gitu Yah, kan Jumat malam bisa tidur di sini, nggak kangen rupanya ayah sama aku?" mulai lagi intonasi merajuknya.
"Ayah itu Sabtu mau ada acara di Kampus. Sebenarnya acara di Jakarta ini kalau bisa diwakili, Ayah mau suruh perwakilan aja yang datang, tapi nggak bisa, jadilah ayah yang tetap jalan. Sementara acara Kampus juga nggak bisa di hindari. Cemana menurut kakak?"
"Oke ... oke, sibuk kali pun pak Dekan ini.."
"Nah itu, sudah kayak pejabat teras ayah dibuatnya."
Mereka tertawa.
Ana menggesek - gesek garpu ke piringnya yang kosong ketika berbicara dengan Ayahnya.
"Ayah landing jam berapa hari Rabu, nanti aku jemput. Rabu malam itu aku nggak praktek, semoga juga nggak ada pasien mendadak."
"Ayah jam lima sore dari Medan, sampai Jakarta jam tujuh malam kan?"
"Iya. Ayah datang sama siapa?"
"Ayah sendiri. Nanti Ayah naik taksi aja ke hotel, macet nggak kak?"
"Ya pasti macet lah Yah. Nanti kalo aku nggak ada pasien, aku yang jemput Ayah."
"Oke lah, nanti kita telponan lagi.
Satu jam kemudian Ana sudah selesai mandi, dia keramas dulu ... janjian sama Kana kurang dari satu jam lagi, tapi biasanya dia akan datang lebih cepat.
Sambil mengeringkan rambutnya di depan kipas angin, Ana membaca pesan - pesan di wa nya. Ana tidak suka mengeringkan rambut memakai hair dryer ataupun alat catokkan rambut, dia tidak punya alat itu karena memang tidak berniat membelinya karena takut merusak rambutnya.
'Drrrt' suara getar ponsel tanda ada notifikasi pesan masuk.
Arkana co- ass
Mas Kana otewe
Sontak Ana langsung ngakak membacanya. Ternyata masih melanjutkan perkara panggilan supir taksi kemarin, padahal waktu dia turun dari taksi kemarin itu, Kana sudah melihat bagaimana rupa supir yang di panggil nya mas itu. Ya, Kana itu sampai menunggu di Lobby dan mendekat ketika pintu mobil taksi itu terbuka. Supir taksi yang ramah itu mungkin umurnya kisaran empat puluh tahun, wajahnya gelap dan brewokan, jauh dari kesan mas - mas idola. Tapi ternyata tetap membuat Kana merasa kalah sebagai bestinya dan sekarang malah memakai panggilan Mas untuk dirinya sendiri.
Kocak nih orang!