Waktu mungkin tidak dapat menyembuhkan segalanya, tapi nyatanya waktu telah menyembuhkanku secara fisik.
Seminggu berlalu, dan aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya.
Aku memastikan untuk mengikuti diet yang dirancang Estrella untukku. Aku mendatangi setiap janji pertemuan dengan dokter dan melakukan olahraga ringan dengan berjalan secara teratur untuk membuat tubuhku lebih kuat. Aku belum sehat sepenuhnya, namun aku terus membuat peningkatan yang stabil setiap hari.
Aku sendiri terkejut dengan seberapa cepat aku pulih ketika aku benar-benar berusaha keras. Tapi sekali lagi, aku berdarah Alpha.
Karena tidak ada lagi kemungkinan bagiku untuk kembali ke masa lalu, aku meyakinkan diriku sendiri untuk menerima keadaanku saat ini. Pada saat semua ini telah selesai dan beres nantinya, aku akan berada di tempat yang jauh lebih baik. Aku akan menjadi lebih sehat, dan aku akan memiliki kebebasan.
Saat itu satu jam setelah aku selesai makan malam. Aku tengah melihat ke luar jendela dan mengamati langit malam menebarkan bayang-bayang di seluruh pelataran kawanan. Ini adalah satu-satunya waktu luang yang diberikan kepadaku setiap hari disela-sela jadwal perawatanku yang sibuk.
Aku membawa sebuah buku dari perpustakaan menuju ke sudut baca kecil di kamarku. Para pelayan telah datang lebih awal dan menyalakan api kecil. Aku merasa berterima kasih untuk itu. Kehangatannya terasa nyaman di tubuhku.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. Aku melihat dua orang pelayan yang sudah biasa kulihat berjalan masuk dengan seorang wanita yang lebih tua.
"Rosalie, aku kemari untuk mempersiapkanmu," katanya, seolah-olah dia yang memegang kendali.
"Maaf ... mempersiapkan aku untuk acara apa? Kurasa kita belum pernah bertemu," kataku ragu-ragu dan berdiri, berjalan menghampiri mereka.
"Aku Nyonya White, kepala pelayan di sini. Alpha mengutusku untuk memastikan kamu siap untuk malam ini."
Kata-katanya membuatku semakin bingung. Aku baru menyadari apa yang dia maksud setelah wanita itu masuk ke kamar mandi, menyiapkan bak mandi untukku berendam.
Malam ini adalah malam di mana itu akan terjadi.
Alpha Ethan akan datang untuk mengambil keperawananku!
Buku di tanganku terjatuh ke lantai. Aku buru-buru mengambilnya dan mencoba menutupi kegugupanku.
Sesekali, pikiranku melayang memikirkan Alpha Ethan. Seiring berjalannya waktu, rasa takutku padanya perlahan memudar.
Aku baik-baik saja sampai saat ini karena dia tidak pernah berada di sekitarku. Setelah malam pertama aku tiba di sini, dia seperti telah melupakanku sepenuhnya.
Pertemuan pertama kami sepertinya sudah lama sekali sehingga aku bahkan mempertanyakan apakah itu benar-benar terjadi ... sampai saat ini.
Waktu terasa melambat saat aku duduk kembali di kursiku.
Para pelayan tengah mempersiapkan mandi bunga untukku. Mereka bahkan tidak menghiraukanku, dan aku merasa seperti orang luar yang menonton setiap pergerakan yang mereka buat. Baru setelah semuanya siap, Nyonya White memberi isyarat agar aku mengikutinya.
"Satu-satunya pekerjaan yang kamu miliki di sini adalah untuk melahirkan anak." Kata-kata Alpha Ethan bergema di kepalaku.
Baginya, itu hanyalah sebuah pekerjaan, dan aku hanya sekedar wadah yang dia beli untuk menampung garis penerus keturunannya.
Air hangat mengelilingi tubuhku, dan aku berendam dalam cairan segar beraroma alami. Kehangatan meresapi otot-ototku. Itu menenangkanku, dan memberiku waktu untuk menelaah semua yang telah terjadi.
Pelayan lainnya sedang menyalakan lilin. Nyala lilin yang berkelap-kelip memberikan kesan cahaya oranye lembut di dalam ruangan, sementara aroma cedar dan vanilla menari-nari di sekitar hidungku. Semua itu segera saja membuat kamar yang besar dan kosong ini terasa lebih hangat dan lebih mengundang.
Di luar sana mulai gelap, dan awan warna-warni di kejauhan mulai meredup. Oh, dan bulannya ... aku bertanya-tanya kapan langit akan cukup gelap agar aku bisa melihat bulan sehingga aku bisa berdoa kepada Dewi Bulan.
Itu adalah malam yang sempurna seperti yang dimimpikan oleh gadis mana pun sebagai malam pertamanya dengan pasangan-nya. Namun, pria yang akan mengambil keperawananku adalah seseorang yang tidak butuh pasangan. Satu-satunya tujuan pria itu malam ini adalah untuk membuahkan seorang bayi dalam perutku. Dan begitu dia mengambil apa yang sudah mati-matian kujaga, dia tidak akan mau berurusan denganku lagi.
Tidak ada cinta, tidak ada perasaan, hanya pekerjaan.
Pemikiran ini membuat dadaku sesak dan menghancurkan hatiku.
Namun, ini adalah komitmen yang telah kubuat. Aku bersedia menjadi pemberi keturunan untuknya.
Tidak peduli seberapa banyak persiapan mental yang kulakukan untuk malam ini, aku tidak dapat menghentikan air mataku mengalir begitu aku menyadari kenyataan yang ada.
"Semuanya akan baik-baik saja," bisikku pada diriku sendiri sambil menenggelamkan diriku lebih dalam di bak mandi.
Itu adalah pilihan yang telah kubuat, dan aku bisa melakukannya.
"Sudah waktunya untuk berpakaian."
Suara salah satu pelayan membuatku berpaling ke arah pintu, dan aku melihat pelayan itu berdiri di sana dengan handuk putih di tangan.
"Kita harus bergegas. Alpha akan segera datang."
Dengan gemetar, aku mengentaskan diriku dari bak mandi, udara yang dingin menerpa kulitku. Pelayan itu tanpa ragu menghampiriku dan membalutkan handuk pada tubuhku, menggiringku menuju kamar tidur. Di atas ranjang, terdapat pakaian dalam berwarna putih yang telah dipilihkan untuk kukenakan.
Kamisolnya berbahan sutra dan ... tipis. Itu adalah gaun bermodel empire waist dengan renda halus di ujung bawahnya membuat desainnya yang sederhana tampak polos namun elegan, namun tidak dapat dipungkiri aku merasa rentan dalam pakaian itu. Bahannya sangat tipis sehingga aku bahkan bisa melihat melaluinya, dan gaun itu juga menonjolkan lekuk tubuhku, yang membuatku merasa jijik—seolah-olah aku adalah wanita malam.
Aku tidak bisa memakainya!
Gemetar ketakutan, aku merasa malu terhadap diriku sendiri. Lebih dari itu, aku merasa terhina, memikirkan bahwa aku harus mempersembahkan diriku kepada sang Alpha dengan pakaian semacam itu.
Melihat diriku di cermin. Aku bahkan tidak merasa seperti diriku yang dulu. Rambut panjang, kulit halus—namun pipiku tidak lagi berwarna merah muda seperti seharusnya. Aku pucat pasi karena ketakutan.
Rasa gugup merasukiku, dan aku tahu tidak mungkin aku bisa menyembunyikannya. Tidak ketika wajahku berbicara mewakili perasaanku.
"Anda terlihat cantik," kata salah satu pelayan kepadaku ketika dia selesai mempersiapkanku. "Alpha pasti akan merasa senang."
Saat itulah aku menyadari bahwa mereka tidak memberiku celana dalam!
Mata tajam Ethan dan wajahnya yang sangat tampan terbayang lagi di benakku. Aku ingat ketika jemarinya menyentuh wajahku ... dan jari-jari rampingnya yang juga dapat dengan mudah mencekikku.
Rasa dingin menyusup ke dalam tulangku, dan gemeretak gigiku bisa terdengar di seluruh ruangan. Aku gemetar bukan hanya karena kedinginan, tapi juga ketakutan.
Ketakutan yang disebabkan oleh Ethan dalam diriku.
Aku akan kehilangan keperawananku ... dan hal itu tidak berarti apa-apa bagi orang yang akan mengambilnya.
Pelayan itu melihatku gemetar, dan dengan cepat mengambil jubah sutra putih yang telah diletakkan di sandaran kursi. Dia dengan hati-hati menyampirkannya ke bahuku untuk membantu memberiku kehangatan.
" ... terima kasih," kataku lirih saat aku melihat mereka semua berbalik dan pergi.
Tik, tik, tik. Aku bisa mendengar suara jam berdetik.
Deg, deg, deg. Jantungku berdegup begitu kencang.
"Aku bisa melakukannya ... aku bisa melakukannya," bisikku berulangkali kepada diriku sendiri.
Sepuluh bulan dan seorang anak, dan kemudian aku akan bebas untuk memulai kembali hidupku di suatu tempat yang baru.
Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan ... aku bisa melakukannya.
Aku mendengar suara pintu terbuka, dan begitu aku menoleh, aku berhadapan langsung dengan pria paling tampan yang pernah kulihat.
Alpha Ethan.
Dia masih setampan saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Kemeja hitam yang dikenakannya diselipkan ke bagian atas celananya, dan lengan kemejanya tergulung sampai siku. Dia tidak memakai dasi, dan kancing atas kemejanya terbuka.
Angin berhawa dingin turut memasuki ruangan bersamanya, dan suhu ruangan sepertinya turun secara tiba-tiba. Bahkan cahaya lilin yang hangat pun tidak bisa melemahkan aura dingin sang Alpha.
Begitu Alpha Ethan masuk, pandangan matanya menyapu sekeliling ruangan. Lalu tatapan matanya terkunci padaku.
Aku tidak bisa mengatakan emosi apa yang tersembunyi dibalik kedua manik mata itu. Keduanya jernih, namun sedingin es—sama seperti si empunya.
"Alpha ... " Aku terbata, mencoba menyusun kata-kata.
Apa yang akan pria itu lakukan ... ? Yah, aku tahu apa rencananya ... tapi apa yang harus aku lakukan?
Aku hanya berdiri di sana, dan bahkan tidak tahu di mana aku harus meletakkan tanganku.
Ethan menghampiriku, menjulang tinggi seperti gunung.
Aku tidak berani menatap wajahnya dan justru menurunkan pandanganku, melihatnya semakin mendekat padaku sampai bayangannya menyelimuti seluruh tubuhku.
Kami begitu dekat sehingga aku bahkan bisa merasakan suhu tubuhnya yang hangat melalui jubah tipisku.
Semuanya sunyi, dan aku bisa mendengar jantungku berdebar kencang.
Untuk sekedar bernapas pun sangat sulit. Tanpa sadar, aku mundur selangkah.
Pada saat itu juga, tiba-tiba dia bergerak, meraihku.
Aku terdiam di tempat, mataku terpejam.
Lalu aku merasakan jemarinya menyentuh bahuku. Jubah sutra itu perlahan terlepas dariku.
Hatiku menciut saat aku memikirkan bagaimana aku terlihat dimatanya sekarang. Tubuhku gemetar, mataku terpejam, dan wajahku terasa seperti terbakar.
"Alpha ... " Suaraku parau dan gemetar.
Aku tidak tahu apa yang kutakutkan, aku juga tidak tahu apa yang kuharapkan akan terjadi.
Aku tidak bisa berpikir jernih, terutama ketika aromanya menyelimutiku. Sensasinya psikedelik dan liar.
"Ke tempat tidur." perintahnya, tepat di telingaku.
Astaga, suaranya sangat memabukkan. Membuat hatiku bergetar dari setiap katanya.
Aku melawan rasa maluku, membuka mataku, dan beranjak menuju tempat tidur.
Tempat tidurnya empuk dan nyaman, persis seperti yang Estrella katakan sebelumnya.
Meski sudah duduk di atas selimut berbahan katun, aku masih merasa kedinginan. Hawa dingin perlahan-lahan menguasai tubuhku dan menyebabkan tubuhku menggigil.
Aku tahu tujuan kedatangan pria itu.
Meskipun aku telah mempersiapkan diri secara mental selama beberapa minggu terakhir, namun ketika sudah di depan mata, kenyataannya jauh lebih sulit daripada yang kukira.
Saat aku membaringkan diriku di tengah ranjang, dengan suka rela aku menutup mataku, mencoba memfokuskan otakku pada latihan pernapasan untuk menenangkan pikiranku yang berpacu. Saat berikutnya, aku merasakan sedikit pergerakan di ranjang. Sang Alpha ada di dekatku!
Jantungku berdebar-debar dan jari-jariku mencengkeram selimut di bawahku.
Begitu aku membuka mata, aku menemukan pandangannya berserobok denganku, dan lenguhan kecil terlepas dari bibirku. Tangan besarnya dengan cepat meraih pergelangan tanganku, menguncinya di ranjang tepat di atas kepalaku.
Pada saat itu, aku baru menyadari bahwa dia berpakaian lengkap, sementara aku hampir sepenuhnya telanjang.
Aku benar-benar telanjang untuknya!
Rasa malu memenuhiku.
Cahaya redup tidak lagi memikat atau hangat—sebaliknya, kini terasa begitu menyilaukan.
Saat jemarinya yang hangat menelusur ke bawah, aku merasa seolah jantungku berhenti berdetak.
Aku tidak lagi bisa menghentikan tubuhku yang gemetar, dan aku terlalu takut untuk membuka mata. Dengan mataku yang sekali lagi terpejam, aku berdoa agar semua ini segera berakhir.
Namun demikian, begitu aku menutup mataku, aku menyesalinya.
Beban tubuh dan hawa panas yang menekan tubuhku mengingatkanku pada mimpi buruk yang diberikan Derek padaku. Ekspresi serakah pada wajah Derek adalah apa yang terbayang di dalam benakku—penyiksaku kembali menghantuiku.
Suasana romantis di ruangan ini seolah hanya ilusi. Ranjang di bawah tubuhku terasa menyesakkan, dan pria yang mengungkung tubuhku ...
Tidak! Dia bukan Derek! Derek tidak ada di sini!
Aku menggigit bibirku keras-keras dan mencoba untuk merilekskan tubuhku, namun emosiku mengambil alih, dan usahaku sia-sia.
Kepahitan dan teror itu mendatangkan air mataku dan begitu air mataku tumpah, aku tidak bisa lagi membendungnya. Aku merasakan cairan hangat menetes ke pipiku, dan jatuh ke atas selimut di bawahku.
"Tidak ... "
Keputusasaan dan kengerian melandaku. Rasanya seperti terperosok dalam mimpi buruk, aku hanya bisa mengeluarkan suara yang sangat lirih dengan sekuat tenagaku.
"Tidak ... "