Arsene tertegun lama. Matanya menatap lekat pada lembaran foto yang tengah ia pegang. Seketika itu juga tubuhnya terasa kaku. Belum lagi perasaan marah, kesal, benci, merasa di khianati, tiba-tiba menguar seolah bercampur aduk memenuhi rongga dadanya. Sejenak, Arsene seolah tidak mampu untuk sekedar berkata-kata. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan yang baru saja ia dapat. Bersusah payah untuk menepis, tapi terlalu banyak bukti-bukti yang sepertinya siap mematahkan segala argumennya. "Bagaimana?" Tepat di seberangnya, ada Raymond yang sedari tadi memerhatikan dalam diam. Matanya terus saja memandangi gerak gerik Arsene dengan seksama. Mencoba untuk membaca, tindakan apalagi yang kira-kira pemuda itu akan ambil setelahnya. "Ini pasti rekayasa." Setelah berlama-lama dalam diam, Ars