"Kamu lucu banget si Ale," ujar dokter Zafran.
"Lucu gimana Dok?"
"Ya lucu aja, pokoknya jangan putus asa ya. Nanti kalau ada yang mau mendonorkan matanya maka kamu orang pertama yang akan mendapatkannya."
Mata Alena memang sudah rusak dan tidak akan bisa kembali normal tetapi dia bisa melihat kembali jika ada yang mendonorkan mata. Hal ini mungkin akan sulit karena pasien yang mendonorkan mata harus sudah dalam kondisi mati otak dan itupun atas persetujuan keluarga. Namun tidak ada tidak mungkin, terkadang ada keluarga yang berhati malaikat. Di balik segela kesedihan karena pasien mengalami mati otak, mereka masih mau untuk membantu pasien-pasien yang lain untuk melanjutkan kehidupan.
Alena hanya tersenyum menanggapi ucapan sang dokter. Ia tidak meminta banyak, hal itu terkesan mustahil karena persentasenya yang sangat-sangat kecil.
"Dokter kenapa belum pulang?" Alena merasa dokter Zafran sudah terlalu lama bersama dirinya. Bukan karena dia tidak nyaman, sama sekali bukan tetapi Alena yakin sang dokter juga butuh istirahat karena keesokan harinya pasti akan bekerja kembali.
"Kamu nggak mau saya temani gitu?"
Alena nyengir. Reflek kedua telapak tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Jadi kenapa?"
"Dokter butuh istirahat," jelas Alena.
Dokter Zafran menatap arlojinya. Ternyata sudah pukul sembilan malam. Dia sudah selesai membantu Alena makan dengan cara menyuapi. Setelah dipikir-pikir, Alena juga butuh istirahat.
"Pembahasan kita belum selesai."
Alena mengerutkan keningnya karena tidak mengerti. "Pembahasan apa?"
"Untuk beberapa hari saja tinggal di rumah saya, bagaimana?"
Alena menggeleng. "Saya ingin tinggal di rumah Dok."
"Kamu yakin bisa sendiri?"
"Saya yakin." Alena menjawab dengan begitu yakin padahal dia tidak tahu apakah bisa bertahan hidup di rumah secara sendirian dengan kondisi mata yang tidak bisa melihat.
"Kita buat perjanjian dulu."
"Perjanjian apa?" tanya Alena.
"Kamu tidak boleh untuk menyakiti diri sendiri, mencoba mengakhiri hidup, tidak boleh ada tubuh yang luka dan bisa hidup dengan baik. Jika ada saja tubuh kamu yang terluka maka kamu harus mau tinggal bersama saya. Ini bukan penawaran jadi kamu tidak boleh meminta kelonggaran."
"Baik Dokter, saya akan jaga diri dan menjalani hidup dengan baik."
Dokter Zafran kemudian menyuruh Alena untuk membaringkan diri, dia juga mematikan televisi agar Alena bisa segera tidur.
"Terima kasih dokter," ujar Alena tulus.
Zafran tersenyum. "Jika ingin berterima kasih maka hiduplah dengan baik. Saya pamit pulang terlebih dahulu."
Alena melambaikan tangannya meskipun arahnya tidak sesuai dengan keberadaan Zafran. Zafran mematikan lampu utama kamar dan hanya meninggalkan lampur tidur saja.
"Selamat malam dokter," sapa perawat-perawat yang ada di nurse station.
"Selama malam, Suster Erin kemana ya?"
Perawat A langsung buru-buru memanggil Erin yang tengah berada di ruang istirahat. Jarang sekali di luar jam kerja dokter mencari perawat. Erin yang tengah selojoran langsung berdiri saat tahu jika dokter Zafran mencari dirinya. Dia bahkan sangat sibuk untuk merapikan penampilannya agar mata sang dokter tidak sakit saat melihatnya.
"Berasa mau ketemu gebetan lo," ujar perawat A.
"Ya barang kali dokter ganteng mau ajak gue dinner."
Perawat A langsung tertawa. Tidak ada satupun petugas medis ataupun karyawan yang pernah makan di luar jam kerja bersama dokter Zafran.
"Gimana penampilan gue?" tanya Erin meminta pendapat. Bibirnya bahkan sudah terlapisi lipstik berwarna merah muda.
"Aman-aman."
Erin langsung keluar dari ruang istirahat.
"Ada apa dokter mencari saya?" Erin sampai terpesona sendiri melihat sosok dokter Zafran padahal dia tahu bahwa dokter Zafran belum mandi sama sekali. Ya itu hanya terbakannya saja.
"Ada yang ingin saya tanyakan, bisa ke bawah sebentar untuk menikmati kopi?"
Perawat-perawat yang tidak jauh dari posisi Erin akan mendengar hal tersebut, mereka menyimpan seribu senyum dan keirian karena hanya Erin yang ditawarkan oleh dokter Zafran.
"Saya tanya kepada kepala perawat dulu Dok."
"Silahkan Erin sepertinya dokter Zafran ingin bertanya hal penting," ucap kepala perawat yang sudah mendengar hal tersebut.
"Sebentar Pak, saya ingin mengantarkan plastik ini kepada Alena terlebih dahulu." Nanti karena sudah senang dan bahagia, dia lupa memberikan titipan Bagas kepada Alena.
"Apa isinya?" tanya Zafran penasaran.
"Sepertinya makanan dok."
Dokter Zafran meminta plastik tersebut dan melihat sendiri isi di dalamnya. Ternyata memang benar makanan.
"Siapa yang kasih?"
"Pak Bagas dok. Dia pergi begitu saja saat tahu dokter Zafran berada di dalam kamar rawat Alena."
Dokter Zafran tidak menghalangi Erin untuk mengantarkan plastik tersebut di dalam kamar Alena. Setelah selesai mengantarkan, Erin kembali ke nurse station. Mereka berdua berjalan ke lantai bawah dengan menggunakan lift. Dokter Zafran cenderung diam dan tidak banyak bicara. Suasana yang cukup sulit bagi Erin, ia tidak tahu harus memulai obrolan darimana. Bagaimana jika ucapannya tidak disukai oleh dokter Zafran? Ya itu akan menjadi masalah besar.
"Kamu mau kopi apa?"
"Apa saja dok."
Dokter Zafran menyuruh Erin mencari tempat duduk terlebih dahulu sedangkan dia memesan kopi. Di lantai bawah rumah sakit memang terdapat cafe, toko roti dan lain sebagainya.
"Terima kasih Dok," ujar Erin saat menerima kopi. Perasaannya makin tidak karuan, apa pekerjaannya akhir-akhir ini mengalami penurunan sampai dokter Zafran ingin memberinya kelas tambahan?
"Saya hanya ingin bertanya, siapa Bagas?"
Berhubung yang bertanya dokter penanggung jawab Alena maka Erin tidak bisa menyembunyikan identitas Bagas sama sekali.
"Pemiliki Baskara grup Pak."
Pupil mata Zafran melebar. "Ada hubungan apa dengan Alena?"
Erin mulai menceritakan awal mula bagaimana Bagas bertemu dengan Alena. Bagas memiliki simpati tinggi dengan kejadian yang menimpa Alena.
"Apakah setiap hari dia berkunjung?"
"Tidak Dok, kadang dalam satu minggu hanya berkunjung sebanyak 4 sampai 5 kali saja."
"Alena tidak menolaknya?"
"Awalnya Alena menolak kehadiran Bapak Bagas, ya dokter tahu sendiri psikis Alena masih sangat buruk. Tetapi Bapak Bagas mampu membuat Alena tidak menolak kehadirannya," jelas Erin. Dia seperti tengah diwawancarahi.
Dokter Zafran bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang yang terkenal sebagai CEO muda bisa bersimpati pada sosok Alena. Apa dokter Zafran terlalu banyak berpikir atau memang sosok Bagas adalah orang yang hatinya lembut.
Dokter Zafran tidak membahas tentang Bagas lagi. Ia hanya menilai Bagas seperti manusia yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Jika Bagas adalah pemilik Baskara Grup maka mana mungkin akan melakukan tindakan buruk kepada Alena untuk menghasilkan uang. Rasanya itu mustahil sekali.
Dokter Zafran mengucapkan terima kasih kepada suster Erin karena sudah merawat dan menjaga Alena selama dirawat di rumah sakit.
Setelah bertemu dengan Erin, Zafran kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil beberapa barang yang akan dibawa pulang. Beberapa kali dia berpapasan dengan petugas medis lain yang kerja shift malam. Zafran menyapa seperti biasa. Sebelum meninggalkan rumah sakit, dia mendapat pesan singkat dari sang Ibu yang ingin dibelikan martabak. Zafran baru ingat jika dia tidak memiliki uang cash. Mau tidak mau, Zafran mengambil uang terlebih dahulu di atm rumah sakit.
“Ha?” teriak Zafran hampir tidak percaya. Bagaimana bisa nominal uang di dalam tabungannya mencapai nilai tiga ratus juta lebih. Zafran sangat ingat, terakhir kali saldo tabungannya hanya sekitar seratus juta rupiah saja. Lantas darimana asal sisanya? Zafran mengingat kembali, apa ada dia mengikuti perlombaan? Atau ikut acara yang bisa mendapat hadiah.
Zafran tidak langsung pulang, dia kembali ke lantai atas untuk menemui atasannya di rumah sakit ini. Apa ada memberikan bonus dengan jumlah yang cukup besar.
“Pak Reka ada di dalam?” tanya Zafran.
“Pak Reka sudah pulang Pak, apa ada sesuatu yang penting?”
“Apa ada bonus yang rumah sakit berikan kepada dokter?”
“Tidak ada Pak.”
Jawaban itu membuat tubuh Zafran kian tidak bertenaga. Ia baru ingat jika ada pesan yang masuk beberapa jam yang lalu. Zafran kira pesan itu termasuk ke dalam lingkungan penipuan. Ternyata tidak, pesan itu resmi dan memang nominal uang 200 juta masuk ke dalam tabungannya.
Apa yang harus Zafran lakukan sekarang? Ia rasa uang itu bukan haknya sama sekali. Apa ia perlu mendatangi pihak Bank untuk mencari tahu siapa yang mengirimnya uang dengan nominal fantastik? Sepertinya itu jalan yang bagus.
Zafran memutuskan untuk segera pulang ke rumah, pikirannya sudah kecau dan butuh istirahat. Ia juga tidak lupa membeli martabak pesanan dari sang Ibu.
***
Entah sudah berapa banyak rokok yang ia hisap, Bagas bahkan tidak sadar menghisapnya dalam jumlah yang cukup banyak. Bagas segera mematikan rokok terakhir dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Ternyata sudah cukup lama dia berada di taman rumah sakit, aroma tubuhnya juga sudah bercampur dengan keringat. Mau tidak mau Bagas harus segera pulang ke rumah.
Namun ada panggilan suara dari bawahannya. Bagas langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Ada apa?”
“…”
“Ikat dan kurung di dalam ruang bawah tanah, jangan sampai orang lain tahu.”
“…”
“Jangan lakukan apapun sampai saya datang.”
Bagas berjalan cepat menuju ke parkiran setelah memutuskan panggilan. Beberapa hari ke belakang memang ada yang membuat ulah, bisa-bisanya desain yang sudah di rancang oleh tim khusus bocor kepada rival bisnis mereka. Bagas tidak akan bisa diam jika ada yang mencoba menusuknya dari belakang. Tidak butuh lama untuk mengetahui siapa yang berbuat ulah, lihat sekarang orang itu tertangkap. Apa Bagas akan menyerahkan pengkhianat itu kepada pihak berwajib? Tentu saja tidak. Dia akan memberi pelajaran terlebih dahulu sehingga tidak akan berani melakukan hal yang sama lagi.
Kerugian yang didapat perusahaan dari data yang bocor bisa mencapai miliaran rupiah. Harga ini memang tidak banyak untuk perusahaan Baskara grup. Tetapi Bagas tidak akan berbaik hati untuk tipe manusia yang menyerangnya dari belakang.
“Dimana dia?” tanya Bagas dengan wajah datar. Aroma rokok bahkan sangat kuat keluar dari dirinya.
“Di dalam Pak, dia memohon ampun sejak tadi.”
Bagas meludah, memohon ampun katanya? Kenapa tidak berpikir dahulu sebelum bertindak? Apa uang yang ditawarkan perusahaan lain begitu menggiurkan sampai berani berkhianat?
Bagas masuk ke dalam, ruangan yang kurang pencahayaan dan juga menakutkan karena banyak barang-barang rusak dan juga tulang-tulang.
Bagas langsung mengambil pisau tajam yang berada di dalam lemari. Dia memegang pisau tersebut untuk melihat ketajaman yang tercipta. Bagas menggoreskan sedikit pada jarinya sehingga mengeluarkan darah segar.
Reza, karyawan muda yang cukup berprestasi selama ini. Bonus dan gaji yang perusahaan Baskara berikan tidak tanggung-tanggung, tetapi kenapa dia tetap melakukan tindakan gila? Manusia memang serakah. Reza sepertinya tidak mengenal Bagas dengan baik, dia kira akan membiarkan Reza begitu saja? Maka jawabannya tidak. Bahkan mencari ke negara lain pun akan dia lakukan.
“Ampun Pak, tolong jangan bunuh saya!!!!” Reza memohon ampun dengan wajah penuh ketakutan. Keringat dan air mata sudah bercampur menjadi satu seakan-akan tidak bisa dibedakan lagi.
“Ampun?” beo Bagas sambil tertawa yang menggema.
Reza makin pucat, apa ini akhir dari hidupnya? Dia sudah menyiapkan segalanya termasuk akan pergi meninggalkan Indonesia dan menetap di negara lain.
“Nyali kamu cukup bagus untuk bisa melawan saya!” ujar Bagas lagi sambil bertepuk tangan.
“Ti-tidak Pak, saya mo-hon ampun. Jangan bu-nuh saya!!!” Reza memohon dengan nada frustasi.
Lagi dan lagi Bagas tertawa. Dia bangkit dari kursi dan melangkah mendekat ke arah Reza. Tidak ada senyum dan wajah ramah yang biasa Bagas tampilkan pada karyawan-karyawannya. Bagas mencengkram kuat kedua pipi Reza. Satu kata, muak! Ya Bagas sangat muak dengan wajah pengkhianat.
“Apa yang harus saya lakukan? Menusuk kedua mata kamu kemudian mencongkelnya satu persatu atau langsung memenggal kepala kamu hingga putus?”
Reza tidak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetar dengan hebat, bahkan ia tidak berani melihat ke arah Bagas.
“Wowww, wajah kamu pucat!!!” puji Bagas seakan mendapat tontonan gratis.
“A-pa yang harus sa-ya lakukan agar Ba-pak memaafkan kesa-lahan sa-ya?”
“Mati!” Satu kata yang membuat awan hitam dalam hidup Reza makin menjadi-jadi.
Bagas melepaskan tangannya pada pipi Reza, dia mengambil sapu tangan untuk membersihkan tangannya yang mungkin saja terkena kuman.
Saat Bagas berbalik dan melangkah untuk mengambil jarak dari Reza, tidak selang beberapa detik dia langsung melempar pisau tajam yang hampir mengenai wajah Reza. Jika Reza bergerak sedikit saja, maka pisau itu sudah menancap pada wajahnya.
Tubuh Reza langsung melemah, dia tidak memiliki tenaga lagi. Apa yang terjadi beberapa detik sebelumnya mampu membuat jantungnya berhenti mendadak. Reza melihat kemana pisau itu berhenti, ternyata menancap pada papan target yang dijadikan sasaran saat memanah.
“Wow, nilai 10!!!” ujar Bagas tertawa bangga atas hasil yang ia dapatkan. Bagas seakan tuli dan buta terhadap ketakutan orang lain.
“Bagaimana Reza bukankah itu hasil yang sangat menakjubkan?”
Reza tidak bisa berkata-kata, lidahnya seakan tidak memiliki fungsi lagi.
“Kenapa wajah kamu suram? Saya lihat beberapa hari ini kamu keluar masuk hotel bersama perempuan. Bukankah itu menyenangkan sekali?”
Bagas menyuruh beberapa bawahannya untuk bertepuk tangan seakan Reza sudah melakukan hal yang sangat bagus.
“Apa ada kata terakhir yang ingin kamu katakan sebelum benda ini memisahkan kepala dan tubuh kamu?”
“Pak to-long ja-ngan bu-nuh saya!!!” Reza sudah menangis histeris.
Bagas menendang perut Reza sampai membuat Reza terbatuk-batuk.
“Kamu berani mengkhianati perusahaan, seharusnya kamu tahu jika saya benci dengan pengkhianat. Bahkan saya bisa saja menghancurkan perempuan-perempuan kamu sampai ke akar-akarnya!!!”
“Ja-ngan Pak, meraka tidak tahu apa-apa.”
“Saya tidak masalah jika kamu bermain perempuan meksipun sudah memiliki istri, tetapi saya tidak terima pengkhianatan yang kamu lakukan!”