"Astaghfirullah." Zulaikha yang baru kembali dengan keranjang penuh berisi empat sehat lima sempurna berlari kecil, menyongsong seseorang yang sedang berkutat di dapurnya.
"Kamu istirahat saja. Sudah, sudah." Ia ambil alih segala yang ada di genggaman gadis itu, lantas menuntunnya lembut ke sofa.
"Maaf, Buk, dapurnya jadi berantakan." Maria menunduk, menyadari ketidaksopanannya.
"Bukan dapurnya, tapi ..."
Belum lagi menyelesaikan omelan, telinga Zulaikha menangkap ...
Kkruuuk kkruuuk.
Dua pasang mata itu saling menatap lama hingga sama sama memuntahkan tawa yang tertahan.
Maria mengembang senyum dengan barisan gigi berderet rapi.
***
"Gimana?" tagih Zulaikha setelah menghidangkan sepiring nasi goreng dengan omelet.
Bukannya menjawab, Maria hanya mengangguk dengan mulut bengkak.
"Pelan pelan, sayang." Hangat, Zulaikha membelai belai punggung Maria.
Uhuk uhuk.
"Tuh, kan. Baru dibilangin. Minum dulu."
Maria cengengesan mendapati segelas air di lingkar jemarinya.
Glek glek glek!
Tandas tak bersisa. Selanjutnya, ia sodorkan kembali piring itu pada Zulaikha yang kebingungan menafsirkan.
"Bu ..." Maria mengangkat alis seraya mengelus elus perutnya.
Zulaikha tergelak menyadari pikirannya yang masih mudah dimasuki radikal bebas.
"Sebentar, kayaknya kita punya sesuatu di sini." Zulaikha lantas mengorek gorek keranjang belanjaan yang tadi ia abaikan berkat seseorang.
"Waaaa!" seru Maria mendapati sebuah martabak masih mengepul.
Zulaikha melengkungkan bibir menyaksikan gadis itu sangat lahap, sementara ia mengambil waktu mengupas beberapa buah.
"Nih, jangan lupa juga dimakan. Biar si dedek nggak kurang nutrisi." Suruh Zulaikha seraya menyodokran piring lainnya.
"Siap, Bu." Balas Maria dengan sepotong mangga di ujung bibir.
Zulaikha mengacak acak rambut Maria penuh kasih sayang, sedang matanya memanah sebuah figura di atas nakas tak jauh dari sana.
***
"Mungkin kau juga sudah sebesar dia ya, Nak? Maaf ibu mengungkitmu lagi, sayang. Bukannya tak rela. Hanya ingin sedikit bernostalgia. Boleh kan ya?"
Wanita itu kecolongan. Sebuah bulir bening berhasil melarikan diri dari cekungan kelopaknya lantas menuruni lembah.
"Bu?" sapa Maria. Diari yang ia gamit sedari tadi itu terburu buru dimasukkan kembali dalam laci. Tak lupa juga, ia amankan rona wajah, menghindari pertanyaan pertanyaan interogasi yang mungkin akan menyakitkan hati dan memori.
"Kenapa sayang ..."
Maria menggigit bibir. Tersadar dirinya akan lebih merepotkan setelah ini. Ia tak mau, hanya saja ada dorongan lebih kuat yang memaksanya bersikap kekanakan pada wanita yang memberikan tumpangan tidur padanya beberapa hari ini.
"Kita jadi pergi, Bu?" tagih Maria.
Zulaikha berusaha memutar kembali potongan ingatan tadi malam.
Oh, iya.
***
"Boleh saya bicara dengan suaminya, Bu?" tanya seseorang dengan jubah putih itu serius.
Zulaikha mampu merasakan gempa setempat menimpa jemari gadis yang sedang digamitnya.
"Bagaimana keadaan cucu saya, dok?" sambarnya menenangkan keadaan.
Seraya mengembang senyum, lelaki yang dipanggil dok tadi menjelaskan, "Panggil saja dokter Tirta, Bu. Baik, berdasarkan hasil pemeriksaan, memang sudah ada kantong janin, Bu. Pergerakan si dedek belum jelas karena masih terlalu kecil, umurnya masih sekitar 2 minggu."
Maria meremas tangan Zulaikha, hangat. Sampai lupa apa yang dijadikan sang dokter sebagai pembuka kata di awal konsultasi tadi.
***
"Hahahahaha ..."
Zulaikha tak henti hentinya memegangi perut mengingat pemandangan yang sangat sangat menghibur mata.
Wajah Maria memanas. Menahan malu yang meluber ke permukaan.
"Maaf, maaf." Ucap Zulaikha menyadari rona gadis itu berganti musim. "Habis kamu itu lucu. Dokter malah dibilang mesum."
Kejadian itu terputar kembali dalam benak Maria. Sempat sempatnya ia mencekal tangan beliau lalu merutukinya.
"Ya, gimana Bu. Meriksanya sampai ke bawah bawah gitu. Kan ngeri." Timpal Maria memberi pembelaan terhadap kebodohannya tadi.
"Namanya juga USG, sayang." Simpul Zulaikha seraya mengerutkan pelukannya.
"Pertama kali, Bu. Ya, mana paham." Maria memberengut.
Keduanya berlalu sambil terkekeh, tanpa menyadari beberapa pasang mata memelototi.
***
"Allahuakbar Allahuakbar."
"Ayo, Bu." Ajak seorang gadis yang sudah mengenakan sebuah mukena putih.
"MasyaAllah!" hati Zulaikha seketika bergetar. Demi Allah, sepasang bola matanya tak mampu mengedip menyaksikan jelmaan bidadari surga di hadapan. "Nggak solat di rumah aja, Nak? Nanti mual lagi, gimana?"
Maria perlahan mendekat, menggamit tangan Zulaikha, lalu mengayun-ayunkannya di udara persis bocah minta dibelikan permen.
"Nggak kok, Bu. Maria mau jamaah aja, Bu. Biar si kecil familiar sama Rabb-nya." Jawab Maria keibuan sembari kembali menyapa si jabang bayi.
***
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Terdengar salam dari halaman rumah dengan dekorasi taman itu.
Ibu dan anak yang tak memiliki hubungan darah itu beradu tatap. Saling melempar balon-balon kata di udara, yang pada akhirnya membuat salah satu dari keduanya mengedikkan bahu.
"Biar Maria lihat, Bu." Maria sudah akan menata langkah, hanya saja ...
Zulaikha serta merta mengunci pergelangan anak gadis itu. "Tidak usah. Kamu istirahat saja, ya?"
"Tapi ..."
Bukan ingin membantah, hanya saja Maria ingin membuat dirinya berguna. Bukan hanya tali putri yang menumpang hidup dan menyusahkan inangnya. Sayangnya ...
"Tolong dengarkan Ibu, Nak. Lebih baik kau kembali ke kamar." Perintah Zulaikha seraya menghentakkan lembut tangan Maria.
Kerumunan daster di depan pintu mulai riuh. Beberapa gelisah sembari menatap arloji, sementara yang lain sibuk ber-akapela* tangan dan kaki menciptakan harmonisasi bersama nyamuk-nyamuk malam.
CEKLAK!
"Waalaikumussalam!" jawab Zulaikha yang sengaja berdiri di celah yang membuka. Beliau tak langsung membentang tangan memersilakan, tetapi menyempatkan waktu menyelidik air muka beberapa kepala di depannya. "Sebentar ya, Bu. Sajiannya masih belum ..." Zulaikha mohon diri sejenak lantas menyambar pergelangan Maria, membawanya ke sudut dapur.
"Tenang saja, Bu. InsyaAllah Maria baik-baik saja." Ia menyakinkan. Berharap sedikit saja rona merah di wajah wanita yang dikasihinya itu kembali bersemi.
***
Hingga pegal, Zulaikha mengembang senyum memperhatikan para tamu di depannya menyilangkan tangan di atas perut, menelisik seisi rumah, lalu mengangkat sedikit sudut bibir. Entah mungkin akan bertanya soal perabot ini itu belinya di mana sambil mata-telinga memperluas jangkauan radar berharap mendapat jackpot yang bisa dibawa ke agenda akang sayur pagi-pagi.
"Diminum, Bu." Ucap Maria seraya menata beberapa penganan.
"Kamu ... " Seorang ibu dengan rambut tergerai mencoba masuk dalam sketsa.
"Iya, Bu, terima kasih atas pertolongannya tempo hari. Kalau bukan karena ibu ibu semua ini, saya tidak tahu apa yang mungkin terjadi." Ungkap Maria yang lantas duduk di samping Zulaikha. Dekat dan lekat, tangannya melingkari pinggang Zulaikha tanpa aba-aba.
Salah dua di antara mereka-satunya ibu dengan kerudung instan bermotif abstrak dan satunya ibu dengan hijab voal polos-berbisik. Memaksa dahi Zulaikha cenat cenut, ikut menebak topik pembicaraan sepasang murai itu.
"Aaah, itu bukan apa apa, Nak. Alhamdulillah, penduduk kampung ini mah baik-baik. Setiap minggu ada ustad yang datang, kami ikut kajian. Tentu saja itu tak lepas dari kontribusi dan kerjasama Ibu Zulaikha selaku ketua majelis pengajian." Naah, ibu yang baru nimbrung ini konsisten dengan tujuannya menjunjung tinggi sang lawan bicara. Menurutnya bermain cerdas akan mendapatkan timbal balik berkali-kali lipat. Ya, walaupun sampai saat ini labanya baru berkisar kiriman kue-kue setelah Zulaikha mencoba-coba resep baru.
"Oh iya, ada kabar apa ibu-ibu mampir?" todong Zulaikha tanpa tedeng aling-aling.
Bukannya langsung menyahut, keempatnya malah sikut-sikutan. Mungkin lupa skrip atau tak mengira mendapatkan pertanyaan kuis.
"Hmm, ndak kok Bu. Kami cuma mau menjenguk Nak Maria." Lontar si ibu tukang puji-puji yang disambut anggukan dan lengkung bibir yang harmoni.
Hwek! Hwek!
Maria terbelalak. Merutuki adegan yang tidak terskenario sama sekali.
Zulaikha tak memedulikan keempat kepala di hadapannya yang kontan saja berbisik, lagi dan lagi. Ia hanya fokus pada punggung sang anak yang meminta kehangatan.
Hwek!
Maria melempar pandang. Takut takut menimbulkan drama-drama lain dengan episode lebih memusingkan.
Zulaikha yang menangkap dengan baik maksud Maria lantas mengangguk.
"Maaf ibu-ibu, saya antar Maria ke kamarnya sebentar. Dari semalam masuk angin. Permisi."
"Nggak salah lagi!"
Mereka saling mengedip, mengangguk berjamaah, lantas bangkit.
"Bu Zu, kami pamit yo. Assalamualaikum." Seru si ibu tukang puja seraya mengembang tangan macam dirigen.
Zulaikha tersenyum menangkap orkestra kresek dan piring yang tengah bekerja sama melancarkan strategi membersihkan meja.
**
NB:
*Akapela : musik tanpa iringan alat, lebih kepada musik yang dihasilkan dari pukulan tangan.