Tok tok tok! Tok tok tok!
"Woi, lama banget sih. Siapa di dalam?"
Tok tok tok.
Sudah 10 menit, Maria mendekam di dalam sana. Memejam. Face to face dengan sebuah batangan pipih bergaris merah penentu masa depannya.
Pada akhirnya tangan itu menyerah. Bodoh. Ia bahkan masih berharap ada keajaiban pada percobaan kesekian kalinya. Bagai menunggu pisang berjantung dua. Mustahil.
CEKLAKK!
Saking cueknya, Maria tak lagi memerhatikan raut seorang remaja putih abu abu yang masuk setelahnya, menyaksikan gunungan benda itu menumpuk tepat di sebelah saluran pembuangan.
"Mbak ..."
Sia-sia, tangan yang menggapai-gapai itu akhirnya berakhir tenggelam di udara. Karena ada yang lebih mendesak, mencedutkan dahi dan sendi-sendi pencernaan, ia putuskan menuntaskan maksud dan tujuan menyejahterakan saluran pencernaan.
***
"Mbak?" sebuah tangan menyapa pundaknya. Seorang ibu bermukena putih dengan senyum teduh. Maria terkesiap. Azan.
"Mari jamaah, Mbak."
Bahkan sekarang rasanya aku tak sesemangat itu mengejar ridhomu, ya Allah.
Pukul 05.30.
"Assalamualaikum warahmatullah."
Brukk!
"Mbak? Mbak?"
"Gus, bawain minyak kayu putih. Cepet." Perintah si ibu seraya menunjuk-nunjuk sebuah etalase di sudut mimbar.
"Gimana, Bu? Perlu ke dokter ndak?" salah seorang remaja yang bercita cita jadi dokter mengusulkan.
"Ndak usah. Kamu mau bayarkan memangnya?" tohok salah seorang jamaah laki laki yang kepalanya sengaja melintasi hijab antar saf.
"HUSS!"
"Jamaah udah selesai toh? Mending si bapak pulang, kalau ndak mau i'tikaf, sana. Bu Hajjah nyariin itu." Celetuk ibu bermukena pink, sebal.
"Yo wes. Tak tinggal, yo. Malam-malam nyari repot. Dasar." Sudah di depan pintu pun, mulut si bapak tidak berhenti menyerocos, menuntaskan ganjalan di lidahnya.
***
"Gimana, dok?"
Khawatir, beberapa ibu akhirnya ikut nimbrung. Satu sisi karena kemanusiaan. Sisi lain mungkin mencari kesempatan untuk menyiarkan berita yang kemudian viral dan jadi cemilan saat memarut kelapa di dapur.
"Hmm ... siapa walinya?" tanya dokter setelah menyimpan stetoskopnya ke dalam tas.
Mereka saling berpandangan.
"Dokter bisa bicara dengan saya." Ibu bermukena putih langsung menyambar tanpa ragu.
Sekarang giliran si ibu yang menyoroti teman temannya yang ikut mengerubung.
Lagi, mereka saling berpandangan, angkat bahu lalu memiring miringkan bibir. Mungkin sedang mengadon pikiran pikiran liar di dalam kepala. Hingga akhirnya, si ibu menabok kepalanya keras, menyadari ketidakpekaan orang orang sekelilingnya.
***
"Maaf, dok, jadi menunggu lama." Sapa si ibu yang akhirnya berganti penutup kepala dengan hijab instan berenda. Ia gerakkan kepalanya ke semua arah sembari membuang napas jengah. Maklum, selalu butuh tenaga dalam lebih jika mau menghalau kawanan ibu-ibu dengan tingkat kekepoan yang tinggi. Yah, biasanya juga dengan mengorbankan diri sendiri, apalagi. Menjanjikan diri sebagai tuan rumah arisan, tuan rumah PKK, atau pengajian kompleks sekalian.
"Dia anak Bu Zulaikha, ya?" tanya dokter yang kemudian diketahui bernama Ubay.
Wanita yang dipanggil Zulaikha itu tersenyum enggan.
"Baiklah, mengenai keadaannya, gadis ini kekurangan nutrisi, Bu, sementara dia sedang ..."
Uhuk uhuk! Tenggorokan Maria tercekat. Tangannya menggapai gapai angin. Perlahan, ia tegakkan punggung bersandar.
"Astaghfirullahal 'azhim ..." cepat cepat ia membentuk hijab sekenanya dengan selimut yang dikenakannya.
Keningnya berkedut.
Apa yang terjadi? Kenapa ...
Pandangannya bertanya ke setiap arah. Histeris, menjambak jambak rambutnya sendiri tanpa memedulikan keberadaan dua orang tua yang duduk tak jauh dari tempatnya.
"Tenang, Nak." Bu Zulaikha berinisiatif mendekat. "Kamu di rumah saya. Tadi itu kamu pingsan di Musala. Barusan ibu berbicara dengan dokter."
Maria menatap nanar. Ada tiang putih di sampingnya. Juga, selang-selang bening dari sana yang bermuara di jalur nadinya.
Errgggh!
Sekuat tenaga, ia berusaha, namun urung. Tubuhnya seperti tak bisa berkompromi.
"Jangan, Mbak. Kalau tidak, kondisi Mbak bisa lebih parah lagi dari ini." Dokter mengingatkan. "Mbak harus lebih menjaga kesehatan karena saat ini ..."
"Saya mau pergi, Bu. Tolong ..." Pinta Maria lebih ke memohon, jemarinya sampai-sampai mencengkeram, meremas lengan seseorang di depannya tanpa iba. Iya, hanya itu yang ada di benak Maria sekarang. Pergi ke sudut tersudut bumi, di mana tak seorang pun dapat menemukan lalu menghakimi dirinya. Ia tak sanggup lagi menemukan kata lain yang lebih melelahkan daripada lelah untuk saat ini.
Bu Zulaikha dan Dokter Ubay saling mengangguk. Perlahan tubuh Maria melemah, namun masih terdengar ...
"Tolong ... tolong ..."
Dokter Ubay yang berdiri berseberangan, tampak menjentik sesuatu di tangan kirinya beberapa kali.
***
Bu Zulaikha kehilangan kata. Semua komponen di wajahnya benar benar mendeskripsikan suasana si pemilik hati dengan baik. Tidak ada yang simetris sama sekali. Sungguh niat baiknya kali ini menemukan onak dan duri. Bagaimana mungkin nanti yang jadi bahan bakar gosip itu dirinya sendiri? Ia bahkan tak pernah bermimpi dipuji puji dielu-elukan, apalagi sebaliknya.
"Bu?" radar dokter Ubay seperti menangkap sesuatu yang tidak beres.
"Apa yang harus saya lakukan, dok?" akhirnya Bu Zulaikha membagi beban di kepalanya.
"Hmm ... itulah kenapa orang baik akan selalu terkena lebih banyak masalah, Bu. Tidak di sinetron, tidak di dunia nyata." Keluh dokter Ubay seraya menyelidik sensor optik, memastikan jalannya cairan yang menjadi nutrisi tubuh si pasien.
"Bagaimana mungkin meninggalkannya tergeletak seperti itu? Dokter menyuruh kami menonton saja lalu membiarkannya, begitu?" Zulaikha mendelik sebal. Ia berdiri memunggungi ranjang, meremas terali jendela berwarna keemasan itu gelisah. Apalagi setelah mendapati pemandangan kaum sebangsanya masih saja berkerumun tak jauh dari rumah. Sesekali celingak celinguk menyelidik lalu berbisik, celingak celinguk lagi, berbisik lagi. Siklus itu berlangsung selama kira kira 15 menitan.
"Lalu apa yang akan ibu lakukan sekarang?" todong dokter Ubay yang sudah beranjak ke kursi lantas menyesap tehnya sehingga tandas tak bersisa. Ia sepertinya tak berminat berempati, menyodorkan solusi. Justru malah lebih penasaran strategi perang apa yang akan diambil lawan bicaranya. Sorot matanya kini lebih mirip seorang pengacara yang tengah dalam sidang.
"Allahuakbar Allahuakbar ..."
Zulaikha mengulas seuntai senyum, sementara dokter Ubay langsung sigap menyambar tasnya di atas nakas lantas berlalu.
***
"Hmmm ..."
Sekitarnya putih. Maria memutar bola mata 360 derajat. Tak ada merah ataupun kuning. Langkahnya mengeja. Meraba raba kalau kalau bahaya di depan mata.
Duakk!
Punggung bertemu punggung.
"Mamaaaa ..." seorang bocah kecil bergaun putih berseru riang. Ia sentak sentakkan tangan Maria seolah ingin mengajak berlari.
Dahi Maria mengerut. Langsung saja ia melarikan diri mengabaikan ...
"Mamaaaaa, huaaaa ..."
"TIDAAAAK!"
***
"Bagaimana perasaanmu, Nak?" sapa Zulaikha setelah sebelumnya meletakkan baki.
Maria membisu. Ia tengah bergelut dengan mentari pagi yang sesuka hati menghunjamkan kehangatan.
Mamaaaaaa ...
Bibir Maria terkesiap. Tangannya tergerak mengecek keberadaan si penghuni pikirannya saat ini. Kelopak matanya juga tak ketinggalan ingin mengambil peran.
Zulaikha mengulum bibir lantas menyodorkan sesekain kepada gadis di depannya.
Maria menatap lantai, berusaha mencari remah remah kata yang berserakan.
"Mungkin kau butuh waktu lebih lama ..." Tutur Zulaikha seraya mengulum bibir. Saatnya ia membuktikan teori tarik ulur yang sering ia dengar dalam teori teori psikologi.
Benar saja, baru saja punggungnya berbalik, Maria ...
"Tunggu ..." Jemari Maria mengapung di udara.
Senyum kemenangan itu terpancar. Beberapa detik, sebelum akhirnya mimik itu kembali tertelan suasana. Segera saja Zulaikha mendekatkan dirinya pada Maria.
Teori kedua kembali benar. Sebuah pelukan, obat dari kesedihan. Iya, dan setelahnya Maria tak lagi membatasi diri. Berbagai kisah keluar begitu saja dari mulutnya tanpa diminta. Ia seperti bercerita dengan ibu sendiri.
"Tenanglah, Nak. Kau bisa tinggal di sini selama kau mau." Zulaikha mengusap usap punggung ringkih itu hangat.
***