Part 5 He Doesn't Deserve You

2295 Kata
Jemari Riana mencengkeram erat punggung Arya. Desahan nafas sepasang anak manusia itu seakan berpacu dengan lenguhan dan decitan kasur yang terdengar memecah sunyinya malam. Keduanya seakan hilang akal. Riana pun hanya bisa pasrah, menikmati apa yang dilakukan Arya. Tapi, saat libido sudah mencapai puncaknya, tiba-tiba Arya tersadar. Tubuhnya sudah menindih Riana yang half naked dengan mata terpejam. "An.. maaf, a.. aku tak bisa. Kenakan kembali kemejamu." Seketika kesadaran Arya terkumpul. Mendadak dia segera menjauh dari Ana. Arya segera turun dari ranjang, dan memunguti kemejanya dan Riana yang berserakan. Riana bingung, matanya memerah, karena malu dan marah, menahan tangis karena malu. Merasa seperti perempuan murahan yang dengan rela hati menyodorkan tubuhnya, tapi ditolak. "Kenapa?" "I just can't, An!" Segera Arya bangun dan mengenakan pakaiannya kembali dengan terburu-buru. Ana memakai kemejanya yang masih basah, tak mau memakai kemeja Arya. "Kuantar pulang, kutunggu di luar ya." Arya segera keluar kamarnya, menuju ke dapur, berusaha meredakan hormon testosteronnya yang sudah di ubun-ubun. Ya Tuhan, untung belum kejadian. Itu Ana, Ar! Ana! Sahabatmu sedari kecil. Tega banget kamu kalau benar-benar meniduri Ana tadi. Walaupun tadi Ana dengan rela hati menyodorkan tubuhnya, tak menolakmu, tapi kamu tak boleh memanfaatkan perasaannya padamu. Gila kamu, Ar. Kamu mau dihabisi Mas Gibran? Batin Arya mengomel panjang kali lebar. Haah..., kalau sudah begini pasti jadi canggung deh. Duuuh, apa yang harus kulakukan? Ana keluar kamar, mata dan hidungnya memerah. Arya melihat ke arahnya. Ana mengenakan kemeja kerjanya yang basah karena hujan tadi. Suasana terasa canggung. Tak tahu harus berkata apa, Arya hanya menyampirkan jaketnya ke badan Ana. "Pakailah, biar gak kedinginan. Kuantar pulang ya. Aku ambil kunci mobil dulu." Ana menggeleng, "Aku pulang sendiri saja. Terima kasih." "Sudah malam, An. Tak baik buat seorang gadis sendirian malam-malam gini." Sepanjang perjalanan di mobil terasa senyap. Hanya terdengar suara radio dan tarikan nafas kesal dari Arya. Sesekali diliriknya Ana, yang sedari masuk mobil tadi membuang pandangan ke arah kiri. "An..." Sentuh Arya pelan ke tangan Ana. Reflek Ana menarik tangannya. Ditolehkannya kepalanya ke arah kanan. "Maaf, aku hanya tak mau merusakmu. Maaf tadi aku kebablasan. Aku..." Kalimat Arya terhenti ketika melihat gesture Ana yang menyuruhnya untuk diam. "Kamu membuatku merasa menjadi perempuan murahan, Ar! Aku malu. Sungguh malu." Ana terisak, menutup wajah dengan kedua tangannya. "An, aku tak bermaksud begitu. Maaf.., aku hanya tak mau memanfaatkan situasi. Sumpah, aku tak mau menyakitimu, An." Arya mendesah putus asa. Baru kali ini dilihatnya Ana sesenggukan. "Kamu menolakku karena aku tidak secantik atau semolek gadis-gadis yang bisa kamu ajak kencan, Ar?" "An!! Kenapa berpikiran seperti itu? Aku hanya tak bisa melakukan itu sama kamu. Aku tak mau merusakmu. Kita bersahabat dari kecil, An, tetangga malah." "Hanya sahabat, Ar?" "Sudahlah..., kita lupakan saja kejadian tadi ya, An?" Pinta Arya sesaat sebelum Ana turun dari mobilnya. Ana tak menjawab. Segera masuk ke kostnya. -|- Dua minggu berlalu sejak kejadian itu. Semenjak itu Ana selalu berusaha menghindari Arya. Berangkat jauh lebih pagi dari kostnya, takut jikalau Arya akan menjemput. Sengaja mengacuhkan pesan w******p, telpon dan semua pesan di medsos. Sengaja pulang kantor ontime atau malah setelah rapat dengan klien langsung pulang, tak mau balik ke kantor lagi. Ana benar-benar sengaja menghindari Arya. Bukan apa-apa, hati dan perasaannya masih sakit. Dia tahu, seharusnya dia bersyukur karena mereka tak jadi melakukan itu. Hanya saja pada saat itu, Ana terkadung malu. Merasa lebih rendah bahkan dari penjaja seks sekalipun. Givi dan Shano juga heran dengan sikap keduanya. Beberapa kali diajak makan bareng atau nonton, tapi tak pernah bisa. Ada saja alasan Ana. Jika ditanya Ana hanya menjawab sibuk dengan urusan kantornya. Ada asesmen beberapa minggu lagi. PPK kantornya berdasark KPI yang agak rumit, membuat Ana tambah pusing. Tapi malam ini, dia tak bisa menghindar. Givi ulang tahun, dan untuk memastikan Ana tak kabur lagi, sekarang Shano sudah menunggunya di lobi kantornya, karena Givi menjemput Arya. Ana mendesah pasrah. Baiklah, ini hanya masalah waktu. Toh cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu Arya lagi. Be strong Ana, kamu pasti bisa. Hadapi! Dandan yang cantik, rapih, harum. Atau perlukah aku mengajak Mas Didan? Aaah tak mungkin sepertinya. Kelihatan banget baperku. Selesai merapihkan diri, Ana segera keluar. Shano tampak sedikit heran melihat Ana yang tumben berdandan, walau tak mencolok tapi tetap saja tumben Ana berdandan. "Nah gitu dong, An, dandan. Tambah cantik kamu. Lama-lama aku bisa jatuh cinta sama kamu deh." Kata Shano , jujur, berharap Ana bisa meraba perasaannya. "Iih Shano, apaan sih? Ayuk buruan, udah lapar banget nih." Ana menarik tangan Shano, membuat yang ditarik tangannya tersenyum senang. Ana salah tingkah mendengar pujiannya. Sampai di restoran yang dituju ternyata sudah ada Arya dan Givi. Salah tingkah, Ana merapatkan badannya ke Shano. Mereka berdua bercanda, dan ada kalanya Shano mengacak rambut Ana karena gemas. Membuat Ana cemberut kesal. "Shano apaan sih... Rambutku kan jadi berantakan lagi. Ntar kecantikanku jadi berkurang loh kalau rambutku berantakan." Ana merajuk. "Hahaha, rambutmu berantakan atau enggak, bagiku juga tetap cantik kok, An. Rambutmu bagus, aku suka." Kata Shano sambil mencium pucuk kepala Ana, mesra. Ana mendunga, melihat ke arah Shano dengan pipi memerah. Tanpa mereka tahu, ada sepasang mata yang memandang mereka dengan kesal. Entah kenapa Arya tiba-tiba merasa cemburu. Dia hanya tak suka Ana dekat dengan laki-laki lain. Untunglah mereka makan round table, jadi Ana tak perlu khawatir akan kecanggungan yang hadir antara dirinya dan Arya. Ana sengaja duduk di sebelah Givi. Tapi saat sedang asyik menikmati makanan, ada seorang lelaki tampan datang dan mencium pipi Givi dengan mesra. Givi memperkenalkan pacarnya yang baru, Eza, ke sahabatnya. Hanya Arya yang sudah beberapa kali bertemu. "Kamu tuh Vie, punya pacar kok gak bilang-bilang sih?" Bisik Ana kesal. "Baru jadian beberapa hari lalu kok, An." Givi balas berbisik. "Ini kenapa bisik-bisik? Gosipin aku ya?" Tanya Eza lembut, dengan mata penuh cinta ke Givi. "Woii... cari kamar noh kalau mau lebih privat. Jangan di sini. Jadi eneg aku lihat kalian." Kata Arya kesal melihat kemesraan sepupunya. "Yeee... emang kamu, tiap kali ada cewek suka langsung cari kamar. Makanya buruan nikah, Ar, biar gak nambah dosa!" Givi membalas tak mau kalah. "Huss... sudah sudah.., ayuk kita makan dulu. Kasian itu Shano sama Ana cuma bisa bete ngeliatin kita." Bujuk Eza bijak. Akhirnya mereka melanjutkan makan dengan banyak candaan,  yang menggoda Givi tentu saja. "Eh.. ada Arya... Si ganteng. Halooo Arya ganteng..." Terdengar suara centil seorang cewek cantik yang dengan tiba-tiba memeluk Arya dari belakang dan mencium pipinya. Tentu saja Ana dan Givi kaget. Bahkan Ana sampai harus menunduk terus, kesal melihat pemandangan di depannya. Arya yang sekilas melihat Ana, sengaja malah memanas-manasi keadaan. "Bentar ya, ada perlu dulu." Kata Arya keluar dari kursinya dan merangkul cewek cantik itu menjauh dari table mereka. Cewek cantik itu sengaja banget menggoda Arya. Entah apa yang mereka bicarakan. "An..." Givi berbisik ke arah Ana. "Better forget him. He doesn't deserve you. Cari yang lebih baik dari Arya. Karena dia sepupuku, makanya aku gak mau dia mempermainkan kamu. Aku kasih tahu ini, karena aku sayang kamu, dan aku gak mau kamu tambah terluka." Ana hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. Hatinya perih. Tiba-tiba sebuah tangan hangat menggenggam tangannya. Shano! Apakah dia juga tahu apa yang sedang kurasakan sekarang? Shano tampak tersenyum lembut padanya. Mengacak rambutnya pelan, membuat Ana kembali cemberut dan mengomel. Tanpa mereka sadari, kegiatan mereka diperhatikan Arya. Tambah kesal, Arya memeluk cewek cantik di depannya, berbisik sebentar, dan segera kembali ke meja tempat sahabatnya berkumpul. "Udah selesai urusannya?" Tanya Givi kesal. "Belum. Mau kuajak pulang eeh dia ada janji sama teman-temannya yang lain. Yaah, sekalian aja nanti kita selesai, dia kuajak pergi deh. Mungkin bisa sekalian sama temannya yang lain juga. Lumayan kan bisa threesome or foursome? Kamu mau ikut, Shan? Lepas perjakamu?" Nada suara Arya berubah kesal. Givi mendelik. Ana tersenyum kecut, tak menyangka hidup Arya ternyata sebebas itu. Shano hanya tersenyum dan menggeleng, "No thanks, ntar aja kalau udah ada yang halal, Ar. Kasian istriku kalau dapat sisaan." Jawaban Shano membuat Arya terdiam. Entahlah kenapa saja tiba-tiba dia tak rela melihat Ana dekat dengan laki-laki lain, padahal Shano juga dari dulu dekat dengan Ana. Ana dan Givi tersenyum mendengar jawaban itu. Tapi tiba-tiba ponsel Ana berdering, dilihatnya layar ponselnya. Ajakan face time dari Mas Gibran. "Ya Mas... Assalamualaikum." "Waalaikumusalam. Lagi di mana dek? Belum pulang? Jam berapa ini di Jakarta? Sama siapa aja perginya?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Gibran dengan nada suara yang tegas, membuat Ana menelan ludahnya. Glegh... duh si Mas Gib, aku bukan anak kecil lagi, Mas. Sudah hampir 23 tahun loh. "Iya. Lagi makan ngerayain miladnya Givi. Sama yang lain juga kok, Mas. Lihat deh."  Ana memutarkan ponsel pintarnya agar Gibran bisa melihat dengan siapa saja dia pergi malam ini. "Mmm oke, tapi ingat jangan terlalu malam pulangnya. Jakarta seharusnya sudah jam..." Terlihat Gibran di seberang sana melirik jam tangannya, "Sepuluh malam kan dek? Jangan kemalaman ya. Oiya Mas mau bilang kalau Mas Insya Allah akan pulang empat bulan lagi. Lusa jangan lupa jemput Mbak Kiara di Soetta ya. Detail akan Mas w******p nanti." "Mbak Kiara jadi ke Jakarta? Asiiik... jangan lupa oleh-oleh ya Mas." Suara Ana berubah manja. "Eh dek, coba menjauh dulu. Ada hal penting yang Mas mau bicara ke kamu." Ana memberi kode permisi kepada sahabat-sahabatnya. Sepertinya pembicaraan Gibran akan penting. "Kenapa Mas?" Suaranya memelan. "Mas mau tanya yang waktu itu pernah Mas bilang. Gimana? Teman Mas sudah gak sabar mau ketemu. Kalau kamu oke, dia akan ikut ke Jakarta bareng sama Mas. Orangnya baik, An." "Mas, aku belum sreg. Kalau cuma untuk berteman sih gak papa. Tapi kalau untuk tahap lebih lanjut, entahlah..." "Kamu masih berharap pada Arya? Lupakan dia, hanya di n****+, An, cowok badung yang terus langsung insyaf ketemu sama cewek baik-baik. Once a player, always be a player. Percayalah, banyak laki-laki lain yang lebih baik daripada Arya. Apa sih yang kamu harap dari lelaki macam dia, dek? Walaupun Mas di Norway tapi Mas juga memantau kalian. Dan pendapat Mas, dia bukanlah lelaki yang terbaik untukmu, An. Seperti yang tertulis di kitab agama kita, lelaki baik-baik untuk perempuan baik-baik. Kamu perempuan baik-baik, seharusnya suamimu pun yang baik pula. Ya dek, pahami apa kata Mas." Selesai menelpon, Ana menghela nafas panjang, dihembuskannya kuat-kuat. Meresapi apa kata kakaknya yang memang benar. Semua gesture Ana tak lepas dari perhatian teman-temannya. Mereka tahu, ada sesuatu yang penting dari omongan Gibran. Ana berjalan lunglai menuju kursinya kembali. "Kok lemes gitu, An? Kenapa? Mas Gib ngomong apa?" Tanya Givi lembut saat melihat Ana yang lesu. "Gak papa kok, Vie. Biasalah Mas Gibran, kasih nasehat macem-macem. Tapi malah kaya interogasi gitu. Aku kan bukan bocah lagi. Mas Gib mau ke sini Insya Allah empat bulan lagi." "Waaah.. asiiik. Jangan lupa oleh-oleh ya, An. Terus Mas Gib ngomong apa lagi yang membuatmu lemes gitu?" "Mmm itu, Mas Gibran mau jodohin aku sama temannya dari sono. Satu kantor. Kalau aku setuju, dia akan ikut ke Jakarta bareng Mas Gibran." "Lah kamu mau gak?" Kejar Givi. Sementara Shano menyentuh tangan Ana perlahan. Ana menolehkan kepalanya melihat ke arah Shano yang tersenyum lembut, menenangkan dirinya. "Aku..." belum lengkap kalimat Ana, tetiba Arya menyela, "Kalau kamu gak mau kan tinggal bilang aja sama Mas Gibran. Beres, so simple kan? Atau jangan-jangan kamu menungguku ya, An? Untuk mau kencan denganmu? Tapi maaf saja, kamu lihat sendiri kan, cewek-cewek cantik sudah pada antri. Kalau kamu mau tinggal ikut antri barisan aja. Itu pun kalau aku juga mau sama kamu." "Arya!!!" Givi dan Shano berteriak bareng. Sementara mata Ana membola, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya memerah, malu dan marah. Sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat sekejam itu keluar dari mulut laki-laki yang dicintainya. "Kamu tuh kenapa sih dua minggu ini? Bibirmu nyinyir banget kaya cewek mau pms?" Givi kesal pada sepupunya. "Jaga mulutmu, Ar! Tak sepatutnya kamu berkata seperti itu. Jangan samakan Ana dengan cewek-cewek yang bisa seenaknya kamu ajak ngamar. Minta maaf ke Ana!" Bentak Shano, menahan emosi yang tersulut dengan perkataan Arya. "Ha... kalian jangan tertipu dengan penampilan Ana, Shan! Buat apa aku minta maaf padanya? Emang kalian tahu Ana yang sebenarnya? Sok manis, sok suci, toh pada kenyataannya dia sama saja dengan cewek-cewek yang dengan mudahnya bisa aku ajak tidur." "Arya!!! Tutup mulut kamu!" Givi membentak Arya. Gagal sudah acara ulang tahunnya malam ini. Eza, pacarnya, hanya bisa diam melihat situasi yang tak dimengertinya. "Vie, sudahlah. Mungkin aku memang murahan seperti kata Arya. Biarlah dia berpikir seperti itu. Maaf ya Vie, aku tak bisa lanjutin acara malam ini. Kado nyusul ya? Nanti aku kirim pakai gojek saja. Shan, tolong antar aku pulang ya." Ana memohon pada Shano yang masih terlihat marah. Segera Ana berdiri dari kursinya, dia sudah tak bisa menahan kolam air mata yang akan segera mengalir turun. Sebelum mendengar perkataan Arya yang semakin menyakitkan, lebih baik dia segera pulang. Sakit sekali, perih terasa di dadanya. Harga dirinya terkoyak. "Kalau kamu tak bisa berkata baik, lebih baik diam, Ar." Desis Shano, segera berlari menyusul Ana, dan merengkuh tubuh Ana yang berguncang bahunya. Diciumnya pucuk kepala Ana berkali-kali. "Shan... aku... hiks hiks..." Di mobil Shano pun Ana masih terisak. "Shht... tenangin diri dulu, gak perlu cerita sekarang kalau kamu belum siap. Maafin Arya ya, An? Mungkin dia banyak masalah di kantornya." Tanpa mereka tahu, Arya mengikuti mobil mereka. Sesungguhnya dia sendiri juga heran mengapa bisa setega itu berkata kalimat yang sungguh menyakiti Ana. Boro-boro minta maaf, dia malah tambah kesal melihat Shano yang begitu perhatian ke Ana. "Aaaagrrh....!!! Bodoh bodoh bodoh!!!" Dipukulnya kemudi berkali-kali. Maaf, An, maaf. Aku sungguh tak bermaksud menyakitimu. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Diparkirnya mobil agak jauh dari mobil Shano, hanya untuk menyakinkan bahwa Ana tak kenapa-napa. Setelah mobil Shano melaju jauh dari kost Ana, dibuntutinya mobil itu. Ditelponnya Shano, ada yang ingin dibicarakannya. Tapi apa mau dikata, begitu bertemu dia malah dihajar Shano, yang ternyata masih kesal padanya. "Kamu!! Segera minta maaf ke Ana!" | | | Jakarta, 5 Mei 2019
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN