"Aku tanya, apa yang sedang kau lakukan disini!" Bentaknya dengan keras.
Jane terlonjak kaget, sesaat dia menelan salivanya dengan susah payah. "Aku mencarimu dimana-mana, tapi kau tidak ada. Seseorang mencarimu di luar. Dia bilang itu penting" jawabnya dengan terbata-bata dengan suara gemetar.
Akhirnya Zicola membuang napasnya dengan lega, ada sedikit rasa tenang di raut wajah tampannya yang membuat Jane lega, pria itu tidak jadi memarahinya.
Zicola mengusap belakang kepalanya dan duduk di pinggiran ranjang. Sementara Jane masih berdiri di tempat, dia tidak tahu apakah harus pergi atau tetap diam. “Kenapa kau tidak ke bawah. Orang itu menunggumu.”
Zicola masih diam mematung dengan tangan saling beratautan membentuk kepalan kuat. Ada emosi dan kesedihan yang terpancar dari matanya yang mengatakan jika pria itu telah melewati hari-hari yang berat.
Empat hari tidak bertemu, wajah Zicola terlihat kusut dan kehilangan berat badannya, entah apa yang terjadi pada pria itu hingga menjadi kacau seperti ini.
Jane mundur perlahan, dia menyadari jika suasana hati Zicola yang buruk lebih baik membutuhkan waktu untuk sendirian. "Sebaiknya aku pergi" ucap Jane gugup.
Kepala Zicola terangkat dan memandang Jane dengan tatapan kosong "Kau mau mendengarkan aku bermain biola?."
Jantung Jane langsung berdegup kencang, wajah cantiknya merah merona. Dia mengangguk malu-malu, mana mampu Jane menolak. Ini untuk pertama kalinya Zicola menawarkan diri untuk bermain biola dan membiarkan Jane melihatnya bermain biola. Sebelumnya Jane tidak pernah melihat Zicola bermain biola, kecuali saat Zicola berada di sekolah menengah atas. Pria itu pernah bermain biola untuk kelulusannya.
Jane langsung bergeser. “Jika kau berkenan” jawab Jane dengan senyuman lebar. Jane berdiri sebelah piano, dia menopang dagunya melihat Zicola yang sudah berdiri beberapa langkah di depannya dan menyimpan biola di bahunya.
Napas Jane berhenti di tenggorokannya, dia tidak mampu berkedip. Melihat wajah tampan Zicola yang mulai memejamkan matanya bersama tarikan napasnya dalam-dalam, jari-jarinya yang panjang menekan snar dan menghasilkan nada yang menyakitkan.
Tubuh Jane pelahan menegak kembali, wanita itu tertegun mendengarkan melodi menyayat yang langsung mengganggu pendengaran hingga hati Jane.
Tanpa terduga air mata terjatuh membasahi pipi Jane, dia menangis terisak mendengarkan nada-nada yang telah Zicola ciptakan. Dia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa Zicola memainkan nada yang sangat sedih dan menyakiti hati siapapun yang mendengarkannya mungkin sama seperti Jane, menangis tanpa alasan hingga bayangan-bayangan paling menyakitkan dalam hidupnya bermunculan dalam ingatan.
Zicola berhenti bermain, pria itu mneurunkan biolanya dan terdiam memandangi Jane yang menghapus air matanya dengan cepat. "Seperti itulah keadaan hatiku selama enam belas tahun ini." Ungkapnya dengan nada dingin seperti biasa.
"Siapa yang telah menyakitimu?" Jane menghapus air matanya lagi.
“Pergilah Jane, aku sudah memberikan perutunjukannya padamu.”
“Kenapa suasana hatimu berubah lagi?. Apa salahku?.”
“Kau sudah terlau jauh melihatku sekarang." Ungkapnya penuh penyesalan, tatapannya seakan dia telah membuat kesalahan karena mengatakan sesuatu yang tidak biasa pada wanita itu dan menunjukan perasaan hatinya dengan musik yang telah di mainkan.
"Mengapa?, apa karena kau mengatakan suatu yang lebih tentang dirimu?." Jane kembali menangis, Jane melangkah cepat dan di peluknya pria itu tanpa keraguan. Dia tidak peduli jika nanti Zicola marah, Jane hanya ingin memeluknya saat ini. “Kenapa kau harus menyesal, itu dirimu sendiri. Kau harus bangga dengan dirimu sendiri, sebelum orang lain membanggakanmu.”
Jane sangat bahagia jika Zicola mengatakan apapun tentang dirinya, Jane akan menerima dia dengan tulus, tanpa menilai dia pria brings*k, buruk, kejam bahkan pria lemah yang bermain dengan topeng jahatnya. Yang Jane tahu dia mencintai pria itu tanpa syarat apapun. Jane menerima apapun cerita masalalu Zicola, hal baik hingga hal terburuknya. Jane akan mendengarkan semuanya tanpa mengubah keputusan perasaannya.
"Aku mencintaimu. Mengapa kau tidak mengerti dan tidak memberiku kesempatan untuk membuktikannya?. Aku sangat tulus mencintaimu. Jika ini hanya cinta sesaat, mungkin aku tidak akan bertahan selama sebelas tahun hanya untuk mengejarmu. Aku tidak peduli dengan apapun cerita dimasa lalumu. Meski kau menyakitiku aku akan tetap mmftt.."
Suara Jane mengilang, Zicola memberikan menciuman yang dalam dan menuntut dengan dorongan lembutnya membuat Jane melangkah mundur hingga membentur sisi piano. Tubuh Jane di angkat dengan mudah dan di dudukannya di atas piano tanpa melepaskan ciuman mereka.
"Apakah kau masih sakit?" Bisik Zicola terdengar serak parau dengan kilatan percikan gair*h di matanya. Pria itu mempedulikan kewanitaan Jane yang telah dia perawaninya empat hari yang lalu.
Hati Jane luluh seketika, merasakan kepedulian dan penghormatan pria itu padanya, "Tidak."
"Aku ingin menyentuhmu lagi" bisiknya seperti meminta izin. Zicola tidak menyentuh sama sekali sebelum Jane mengangguk memberikan persertujuan.
Zicola semakin dekat dan merapat mengikis jarak di antara merka. Zicola kembali menciumnya penuh gair*h membuat Jane mendesah pasrah dengan setiap sentuhannya dan membiarkan Zicola melepaskan satu persatu pakaiannya di sela-sela cumbuan yang dia berikan.
Kini Jane telah telanjang di atas piano itu, membuat hawa panas ruangan semakin menyeruak menyentuh setiap permukaan kulitnya. Jane merasa sangat seksi dan berga*rah, duduk telanjang di atas piano, di dalam kamar Zicola. Kamar yang tidak pernah membiarkan siapapun untuk masuk ke dalamnya. Termasuk wanita-wanita yang pernah Zicola ajak bercinta..
Dan sekarang pria itu tengah membungkuk, memuja dan menyentuh miliknya hingga membuat Jane merasa melayang kenikmatan. Kepalanya terasa pusing dengan kaki mengejang perlahan beberapa kali menyentuh tuts piano.
"Ah.." Jane mengeliat, berpegangan pada pinggiran piano, kaki kanannya menjuntai menginjak tuts piano hingga menimbulkan bunyi nyaring bercampur dengan desahannya.
Zicola kembali berdiri, menghentikan pelepasan Jane yang hampir datang. Tubuh Zicola merendah perlahan dan menatap Jane dengan serius. "Aku tidak akan memakai pengaman, tapi aku bersih." Suara Zicola berubah serak, tatapannya membara dengan gair*h.
Napas Jane memburu dengan kasar, dia menatap Zicola yang semakin merendahkan tubuhnya mengurung Jane "Lakukanlah.”
Zicola membungkuk, kembali mencium Jane sementara miliknya mulai memasuki Jane sepenuhnya, dia bergerak dengan tempo yang lambat, merasakan setiap dinding kewanitaan Jane yang mengetat dan meremas miliknya.
"Sial, kau sangat nikmat" umpat Zicola, dia mendorong dan menghentakan pinggulnya lebih keras dan cepat.
Kepala Jane terjatuh ke belakang, pinggangnya melentik merasakan gejolak kuat di dalam perutnya dengan d**a membusung dalam cumbuan dan sentuhan Zicola. Kaki Jane semakin mengejang. Suara nyaring piano kembali mengalun, bersahutan dengan desahan mereka yang sedang berc*nta dengan liar di atasnya.
"Ah.. Zico" Jane mengerang di bawah kendali Zicola. Pegangan Jane pada sisi piano, matanya terpejam erat. Jane memeluk leher Zicola dan mendapatkan pelepasan mereka.
Sejenak mereka saling bertatapan, menyalami mata mereka masing-masing dengan napas saling berkejaran, merasakan sisa-sisa percintaan mereka.
Zicola mengecup kening Jane sekilas sebelum dia melepaskan diri dan menjauh. Zicola kembali mengancingkan pakaiannya yang sejak tadi tidak ada yang terlepas.
"Sebaiknya kau berpakaian, dan pergi" usirnya dengan suara lembut, Zicola mengambil rokok di atas nakas dan menyalakannya. Pria itu mundar-mundir dan terlihat bingung dengan apa yang telah dia lakukan dengan Jane.
Jane terhenyak, hatinya terasa seperti di tusuk begitu mendengar perkataan Zicola yang mengusirnya setelah mereka berc*nta.
Mengapa selalu berakhir seperti ini?. batin Jane berteriak.
Jane turun dari piano, dia memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan kembali memakainya. "Apakah kau akan selalu mengusirku setelah kita bercinta?" Tanya Jane, dia mencoba menekan rasa sakit di hatinya dan desakan air mata yang membuat matanya semakin memanas membendungnya.
"Kita sudah terlalu jauh. Sebaiknya kita tidak bicara di kamarku, ini bukan tempatmu." Jawab Zicola terlihat semakin bingung, Zicola membuang rokok yang sudah dua kali dia hisap ke lantai. Pria itu mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi dan duduk di sisi ranjang. “Apa yang telah aku lakukan?.” Bisiknya bertanya pada dirinya sendiri.
"Lalu dimana tempatku untukmu?" Jane membentak, dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Zicola yang selalu menjaga jarak dan terkurung di dalam dunianya sendiri.
“Aku sudah membiarkanmu kedalam kamar ini Jane, dan barusan.. barusan aku kita berc*nta tanpa pengaman.”
Jane mengusap perutnya mengingat jika sekarang adalah tanggal-tanggal masa suburnya. Namun percintaan barusan sangat luar biasa, hangat dan berkesan, lalu kenapa Zicola harus merasa menyesal jika dia melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya. “Apa yang salah?.”
"Aku sudah melewati batasanku Jane!, berhenti menuntutku jika kau ingin hubungan ini tidak berakhir." Jawabnya dengan sedikit frustasi, Zicola menarik sejumput rambut di belakangnya dan terlihat dan menarik napas dalam-dalam, "Sebaiknya kita membicarakannya di luar."
Jane hanya tersenyum masam, dia menunjuk photo gadis yang di lihatnya tadi. "Siapa dia?, apakah dia berbeda dari semua wanita yang kau benci?. Apakah dia menjadi alasan mengapa kau membenci wanita?."
"Sialan Jane! Jaga bicaramu" bentak Zicola mulai murka, tanpa bicara lagi dia menarik tangan Jane dan di seretnya untuk keluar dari kamarnya.
"Sakit Zicola" Jane meringis tersiksa, merasakan lengannya di cengkram dan di seret, "Sakit.. aku mohon. Maafkan aku."
Zicola tidak bergeming dengan semua kata-kata Jane, dia tetap menyeretnya untuk keluar dari rumahnya. Dia tidak peduli menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang berpesta karena sudah menyeret Jane keluar.
Begitu sudah di Luar, Zicola langsung mendorong tubuh Jane hingga terhuyung jauh dan membentur tembok pagar rumah, Jane menangis terisak mengusap lengannya yang meninggalkan tanda merah bekas cengkramannya, tubuhnya gemetar ketakutan dengan sikap kasar Zicola dan pandangan tajam penuh amarah.
"Jangan pernah membandingkan dia dengan siapapun, bahkan dengan semua wanita di dunia ini!." Teriak Zicola penuh makian.
Jane mundur ketakutan, dia tidak pernah di perlakukan sekasar ini oleh Zicola, membuat semuanya semakin jelas. Jika gadis itu sangat berarti bagi Zicola. Bahkan Zicola sangat marah dan menunjukan perasaan sensitifnya ketika Jane salah berbicara dan tidak sengaja membicarakan gadis itu.
Jane mengusap air matanya dan kepalanya mendongkak menatap sendu. "Bahkan posisi ibumu, apakah masih lebih penting gadis itu?"
"JANGAN MENYEBUTNYA! WANITA SIAL*N ITU MEMILIH BUNUH DIRI DAN PERGI KE NER*KA!!." Zicola memukul dinding dengan keras hingga tangannya terluka dan berdarah, tubuh Jane terjatuh lemas ke tanah.
"Cukup, kau sudah terlalu jauh" Julian berlari terhuyung setengah mabuk, dia menarik tangan Zicola dan membuatnya sedikit menjauh dari Jane. "Kau butuh istirahat" Julian membawa Zicola kembali kedalam rumah.
Bunuh diri?
Ibu Zicola bunuh diri?
Ya Tuhan... Jane kembali menangis, meyesali perkataannya. Andai dia tahu, Jane tidak akan pernah mengatakan apapun yang dapat menyakiti hati pria itu.
To Be Continue...