Guguan yang terdengar menyayat hati itu terdengar memenuhi kamar. Di depan pintu kamarnya yang terkunci sana, Lala duduk memeluk kedua lutut erat dengan wajah yang basah. Sejak kepergian Algi beberapa menit yang lalu, dia belum juga berhenti menangis.
Sungguh, melepaskan dia yang kita cintai, dia yang kita inginkan, dia yang juga mencitai kita. Itu tak mudah. Rasa sakit di dalam hatinya teramat luar biasa rasanya. Berkali Lala memukuli d**a yang begitu sesak. Wajah kecewa Algi, kedua mata Algi yang memerah dengan bulir yang menetes. Terus membayangi pikiran Lala, menimbulkan rasa sakit lagi, dan lagi.
Tak ingin putus, tak ingin berpisah. Ingin tetap bersama, ingin tetap mempertahankan hubungan. Namun, kenyataan pahit sepertinya tak mengijinkan hubungan mereka tetap terjalin dengan baik.
“Aku benci dia … aku benci dia ….” Gumamnya lirih di sela isakan. “Aku sakit … aku sakit, Tuhan … aku sayang Algi ….”
“Algi … Algi … maafin aku … maafin aku … maaf ….”
Klunting!
Klunting!
Klunting!
Notifikasi chat yang masuk di ponsel, membuat kepala Lala sedikit menegak. Dengan pelan gadis itu mengusap ingus dan lelehan air mata. Lalu melangkah menuju ke tepian ranjang, meraih ponsel yang tergeletak di sana.
[Biarkan aku mengenangmu untuk sebentar saja, sebelum aku benar-benar percaya kalau kamu telah mati dan akan terkubur dalam palung hatiku paling dalam.]
[kamu cantik, kamu pintar, kamu baik dan kamu populer. Banyak cowok yang menginginkan kamu, termasuk aku. Melihat senyum manismu di depan perpustakaan saat itu. Saat aku sedang di hukum bu Nana dan kamu bertugas membereskan buku di perpustakaan. Mulai hari itu, aku tertarik padamu. Aku mulai memikirkanmu, aku mulai menginginkanmu. Enam bulan setelah itu, adalah hari paling pahagia untukku, karena kamu memberi anggukan untuk pernyataan cintaku. Sungguh, hari itu aku merasa menjadi cowok paling bahagia.]
[selama kita pacaran, kamu tak pernah membuatku marah, sedikit pun. Dan oleh karena itu, kuucapkan terima kasih. Terima kasih untuk dua tahun yang begitu menyenangkan, begitu membahagiakan ini. Hanya saja, mulai hari ini, aku kecewa, aku sakit. Kupikir, kamu menganggap aku penting. Kupikir, kamu menjadikanku cowok paling utama. Menjadikanku orang pertama yang akan tau apa maumu, apa inginmu dan apa masalah yang kamu hadapi. Namun, aku sangat kecewa, karna ternyata aku salah. Aku terlalu percaya diri akan perasaanku sendiri. Aku terlalu yakin kalau kamu juga menginginkanku, kamu juga mencintaiku. Maafkan aku ….]
[tapi hari ini kamu sudah benar-benar menyadarkan aku, La. Kamu membuatku sadar kalau rasa itu, hanya milikku saja. Cinta ini bertepuk sebelah tangan, selayaknya burung bangau yang selalu mengira jika ikan menunggunya datang, tetapi ternyata ikan itu tak pernah berharap sedikit pun kedatangannya. Ya, aku terlalu bahagia dengan perasaanku sendiri.]
[selamat tinggal cintaku, selamat tinggal kesayanganku. Terima kasih sudah pernah memberiku kesempatan untuk bahagia. Sampai kapan pun, rasa ini akan tetap sama. Aku sayang kamu, aku cinta kamu. Sampai kapan pun aku tetap menunggumu, menjelaskan semua kesalahanku. Kesalahanku yang membuatmu mencurangi aku, kesalahanku yang membuatmu berpaling dan tak menginginkanku. Aku menunggumu, La.]
[I love you. I love you. I miss you, and forever this feeling is yours. You will always be in my heart]
[send picture] sebuah gambar gelas kaca dengan alkohol di dalamnya.
Kedua mata Lala melotot melihat gambar yang menunjukkan jika mantan pacarnya itu sekarang sedang berada di dalam club malam. Tangisnya yang tumpah itu semakin tumpah. Dia panik, memikirkan hal buruk yang mungkin akan Algi lakukan di sana. Cepat tangannya mengusap-usap layar ponsel, mencari nama kontak temannya.
“Hallo, Ngga,” sapanya saat telpon sudah terhubung.
“Hallo, La. Lo kenapa? Nangis?” tanya Angga di seberang sana yang tentu mendengar suara serak Lala.
Lala menyugar rambut yang sudah berantakan. “Ngga, Algi sekarang di club. Pliis temenin dia. Aku takut terjadi apa-apa sama dia.” Pintanya dengan tangis yang tak mau berhenti.
“Kalian ada … berantem?” sekarang terdengar suara Bianca yang bertanya.
Lala terisak lagi, sama sekali nggak peduli jika teman-temannya tau. “Aku putus sama dia.” Akunya.
“Hah?!” sahut kedua orang di sana dengan sangat terkejut.
Lala melangkah kesana kemari, khawatir banget sama keadaan Algi di club sana. “Pliis … temenin Algi ….” Pintanya lagi dengan tangis yang menderai.
“Iya, iya. Kita ke sana.” Jawab Bianca kemudian.
Mendengar kesanggupan teman-temannya, Lala menjatuhkan ponsel ke kasur. Langsung menjambak rambut dengan guguan yang menyesakkan. Kembali tubuhnya terduduk di samping ranjang, lalu tangan menjambak rambut lagi.
“Huhuhu … Algiii ….”
**
Tepat di dalam ruangan yang super berisik, di meja bertender sana. Algi kembali meneguk alkohol yang ada di dalam gelas kecil di tangannya. Entah untuk yang keberapa, tetapi dia masih bisa terjaga. Ini bukan kali pertama dia masuk ke tempat seperti ini.
Dulu. Dulu sebelum mengenal Lala, tempat ini adalah tempat yang paling sering ia kunjungi bersama dengan teman-temannya. Dia meninggalkan tempat ini setelah mengenal gadis cantik yang benar-benar ingin diseriusi. Dan sekarang, dia kembali pada titip paling dasar. Titik terendah, paling rendah. Merasa hancur sehancur-hancurnya.
“Al,”
Tepukan di bahu yang disertai panggilan itu membuat tangan yang hampir mengangkat gelas itu terhenti. Namun setelah tau jika itu adalah Angga dan Bianca, tangannya kembali mengangkat gelas, lalu meneguk minuman haram itu sekali teguk.
“Lo kenapa?” tanya Angga, berpura tak tau apa-apa.
Tak ada tanggapan, Algi kembali menuangkan alkohol ke dalam gelas, lalu meneguknya lagi.
“Semua masalah bisa dibicarakan. Selesaikan dengan damai, cari jalan keluar, nggak harus dengan cara—”
“Minggat lo! Ngebacot, ashu!” umpat Algi yang tak mau dengar apa pun.
“Cckk, setaan!” kesal Angga, balik mengumpat.
Bianca memilih diam, mengamati dua cowok yang sedang berdebat itu. Mengambil duduk dan merogoh hape dari dalam tasnya.
“Kenapa bisa lo putus sama Lala?” tanya Angga kemudian.
Mendengar pertanyaan itu, Algi tertawa getir. Lalu meneguk lagi minumannya. “Dia yang putusin gue, anjiing!” sahutnya, tanpa menatap Angga atau pun Bianca.
Angga dan Bianca saling bertatapan. Mereka berdua, bahkan semua teman-temannya tau jika kedua manusia ini saling memiliki rasa yang sama. Jadi … sepertinya tak mungkin kalau Lala memutuskan Algi.
“Lo … selingkuh?” tanya Angga dengan spontan.
Algi langsung menoleh, menatap wajah serius Angga tajam. “Dia kawin sama cowok lain, bangsad!” ucap Algi, lalu kembali meneguk minuman memabukkan itu.
Kedua mata Bianca melotot mendengar apa yang Algi katakan. Dia menarik lengan Algi, memaksa cowok ganteng itu untuk menatap padanya. “Lala nggak mungkin kek gitu, Al. Gue kenal dia.”
“Kenyataannya memang dia putusin gue setelah dia kawin sama … ntah siapa gue nggak tau. Dia nggak mau cerita apa pun. Yang jelas dia nggak cinta sama gue ….” Suaranya melemah, lalu lelehan air asin mengalir di kedua pipi.
Algi kembali meneguk minuman itu langsung dari botolnya. “Gue kira dia cinta sama gue … gue kira dia sayang gue … gue kira kita saling cinta … gue kira perasaan kita sama … hiks ….” Algi mulai meracau, mengangkat botol, meneguk minuman itu lagi. “Gue cinta dia … gue sayang dia … gue nggak mau putus … gue mau sama dia … gue nggak mau pisah … gue pengen sama dia terus ….”
“Al, sadar, Al,” seru Angga, menepuk bahu sahabatnya ini.
Bianca mencoba menarik botol dari tangan Algi, tetapi tak bisa. Malah Algi kembali meneguk minuman itu.
“Lala … aku cinta kamu ….” Lalu isakannya terdengar sangat menyakitkan. Dia benar-benar patah hati. “Kenapa kamu gini’in aku … apa salahku … apa salahku, La ….”
“Yaampun, nggak tega gue,” ungkap Bianca yang miris liat Algi menangis sambil meracau.
“Kenapa kamu tega, La … kenapa … kenapa … apa salahku … apa salahku ….”
Angga menarik botol yang Algi genggam. “Al, lo nggak bisa kek gini. Lo butuh tenang, tapi nggak gini.” Kesusahan, dia pun tak bisa. Algi justru kembali meneguk minuman, lalu meracau lagi. “Mending suruh Lala ke sini deh, yaang. Cuma dia yang bisa bawa Algi pergi dari sini.” Ucapnya sembari menatap Bianca.
Bianca memberi anggukan. Karna dia juga nggak tega melihat sahabatnya menjadi rusak begini. Bianca menempelkan ponsel ke telinga setelah melakukan panggilan ke nomor Lala. “La, mending lo ke sini ya. Sumpah, gue nggak tega liat Algi kek gini. Kalian harus selesaiin semuanya berdua. Kalau pun putus, jelasin masalah kalian, jangan ada yang tertinggal biar sama-sama ikhlas. Nggak nyakitin kek gini. Gue tunggu lo ke sini.”
**
Lala mendesah kasar, mengusap kedua mata yang basah. Segera ia mengambil jaket, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Segera melangkah keluar dari kamar untuk pergi menemui mantan kekasihnya. Tepat ketika dia membuka pintu depan, mobil milik Bayu melaju pelan memasuki halaman. Mengambil ponsel dan memesan ojol.
“La, malam-malam begini, kamu mau kemana?” tanya mamanya yang baru saja turun dari mobil.
“Aku mau ketemu sama Algi, Ma. Uumm, Cuma bentar.”
“Tapi ini udah jam delapan lho,” kembali mamanya berucap.
Lala menahan embun yang ingin keluar dari kedua mata. “Ini penting, ma.”
Melihat kedua mata Lala yang memang terlihat jika habis menangis dan sekarang pun ingin menangis lagi, Vera jadi tak tega. “Algi baik-baik saja, kan, La?”
Tangan Lala bergerak, mengusap kedua mata, lalu menggeleng pelan. “Aku juga belum tau.” Jawabnya, menatap ke arah gerbang sana. Di mana ada motor dengan si kang ojol yang menaikinya. “Aku pamit dulu ya, ma.”
Vera mengangguk dengan wajah khawatir. “Hati-hati ya, sayang.”
Lala segera melangkah cepat dengan sedikit berlari menghampir kang ojol. Menerima helm, lalu memakainya dan segera naik ke boncengan.
**
Motor matik yang membawa Lala berhenti tepat di depan gedung club yang siapa pun tau tempat macam apa ini. Tak menunggu lama, Lala segera berlari masuk setelah membayar dari memberikan helm ke pak ojolnya.
“La!” teriak Bianca dengan lambaian tangan ketika melihat Lala yang celikukan di pintu masuk sana.
Lala menoleh, melangkah mendekati mereka bertiga di meja bertender sana. Dadanya berdebar hebat melihat Algi yang meneguk minuman dari botol berwarna hijau itu. Lalu bibir manis itu berkali-kali menyebut namanya dengan racauan tak begitu jelas. Kedua mata merah yang berair menunjukkan seberapa terlukanya Algi.
“Selesaiin masalah kalian. Kalau ada apa-apa, lo bisa telpon gue.” Angga menepuk bahu Lala, lalu menggandeng tangan Bianca, membawa pacarnya untuk menjauh dari Lala dan Algi.
Pelan Lala duduk di kursi yang tadi di duduki Bianca, tepat di samping Algi. Melihat ada seseorang yang duduk di sebelahnya, dan wangi parfum yang sangat ia kenali, Algi menoleh. Kedua matanya bertubrukan dengan kedua mata Lala di sampingnya. Bulir menetes membasahi kedua pipi Lala melihat seperti apa Algi sekarang.
“Al,” serunya, pelan. Meraih lengan Algi.
Cowok itu menyunggingkan senyum, menepis tangan Lala. Lalu kembali meneguk minumannya. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang kembali mengalir dari pipi Algi.
“Al, maafin aku ….” Ucap Lala, yang tentu bisa di dengar oleh Algi.
Algi memejamkan mata, memijat pelipis yang terasa mulai sedikit berdenyut. “Aku nggak butuh kata maaf. Aku butuh penjelasan.” Ucap Algi, menjelaskan yang dia mau. Lalu cowok itu kembali meneguk minuman. Menjatuhkan botol dengan kasar karena ternyata isinya sudah habis.
Lala menunduk, mendesah kasar merasakan hati yang sama sakitnya seperti yang Algi rasakan. “Udah aku bilang, Al. Kamu nggak salah, tapi aku yang salah. Aku—”
“Udah aku bilang juga, kan? Apa salahmu? Aku minta kamu buat jelasin apa salahmu, tapi kamu diam. Apa sih arti diam?! Kamu pikir aku nggak sakit kamu giniin, La?! Aku sakit, La! Aku sakit!” teriaknya dengan mencekal kedua lengan Lala erat, melampiaskan rasa sakitnya. “Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu. Aku banyak berharap sama kamu. Apa kamu nggak tau itu?!”
Lala sampai tak kedip dengan kedua mata yang terpupuk oleh embun. “Al—”
Dengan tiba-tiba Algi menyambar bibirnya. Menciumnya tanpa peduli sekarang mereka berada di mana. Lala yang tentu dalam keadaan sadar, mendorong ddada cowok itu, meminta untuk di lepaskan. Tetapi Algi justru menekan tengkuknya, membuat ciuman mereka malah semakin dalam. Dengan sedikit kasar Algi menyesap bibir bawahnya, lalu lidahnya menyusup masuk ke dalam bibir Lala saat Lala melengkuh.
“Al, udah,” pintanya, mengusap bibirnya yang basah karna saliva Algi. “Sadar, Al,”
Algi menyunggingkan senyum. “Bukannya kamu udah melakukan lebih dari seperti ini, La?” ngomongnya, sedikit mengejek. Mendenagr itu, Lala mengalihkan tatapan.
Algi meraih wajah Lala, lalu kembali mengecup bibir gadisnya yang sangat ia sukai. “Kamu lakuin itu sama siapa? Kenapa bisa kamu sampai khianati aku sejauh itu? Kenapa?” tanyanya, tepat di depan bibir Lala. “Apa aku nggak pantas buatmu?”
“Al ….” Lalu bibirnya kembali diraub Algi, membuat Lala tak lagi bicara. Hanya mencengkeram erat jaket di d**a Algi dengan kedua mata yang berair.
“La, aku juga bisa puasin kamu. Aku juga bisa, La ….” Bisik Algi, lalu kembai cowok itu mengecup bibir Lala.
Lala menggeleng, lalu bibir yang basah itu kembali di lumat oleh Algi.
**
Pagi menyapa.
Levine mengeliat dengan sangat malas. Bunyi ponsel yang sudah sejak satu jam lalu, membuatnya sangat terusik. Tangannya terulur, meraba meja samping ranjangnya. Lalu mengambil ponsel dan menatap layar yang terus berkedip itu. Ada nama ‘Sabi’ di layar sana.
“Hallo,” sapanya sembari menempelkan ponsel ke kuping.
“Astaga, Vin ….” Keluh Sabi di seberang sana. “Akhirnya kamu angkat. Jangan bilang kamu baru bangun ya!”
Levine menutup mulut yang menguap. “Kanapa?” tanyanya dengan suara serak.
Terdengar desahan dari sana. “Kita mau ke butik, Vin. Ini udah jam delapan lho.”
Levine ngacak rambut dengan malas. Kembali memejamkan mata karna masih mengantuk. “Ya terus kenapa?” tanyanya lagi, beneran keliatan kalau nggak tau apa-apa.
“Astaga, Vin. Kita ke butik. Kita udah janjian juga sama Tante Sela di sana, kan. Abis itu kita mau ambil cincin. Kamu nggak lupa, kan?”
Levine mendengus kasar. Entah kenapa dia sangat males mendengar kegiatan hari ini. “Aku nggak lupa.”
“Yaudah, aku tungguin.”
“Iya.”
Lalu telpon terputus, Levine menjatuhkan ponsel dan memilih kembali menarik selimut untuk melanjutkan tidur. Sempat mematikan ponsel lebih dulu sebelum dia memejamkan mata.
Pukul 10 kurang beberapa menit, Levine keluar dari kamar dengan rambut yang masih sedikit basah. Tangannya bergerak mengacak rambut agar menjadi seperti yang dia mau. Begitu pintu kamarnya tertutup, tatapannya tertuju ke pintu yang ada di depannya. Kamar di sana juga tertutup rapat, nggak tau penghuninya ada di dalam atau enggak. Ada keinginan untuk mengetuk lalu melihat keadaan gadis itu, tapi … langkahnya tetap tertuju ke arah tangga. Turun dari sana.
Di ruang keluarga, Vera menatap anak tirinya itu dengan helaan nafas panjang. “Baru bangun, Vin?” sapanya.
Tak ada jawaban, anak itu melenggang begitu saja melewati Vera, menuju ke luar rumah. Melihat Levine yang memang selalu cuek, Vera hanya menggelengkan kepala saja. lalu meraih ponselnya yang ada di meja ruang keluarga. Mengecek chat yang belum lama masuk disana.
[ma, maaf aku nggak bilang ke mama dulu sebelumnya. Tapi aku mau pamit, hari ini aku mau pergi ke Lombok. Maaf aku nggak bisa menunggu hari pernikahan kak Levine. Mama jangan khawatir, aku udah besar, aku pasti sampai di rumah nenek dengan selamat]
Membaca chat dari Lala, kedua mata Vera langsung melotot dengan d**a yang berdebar. Dengan cepat dia menekan gambar telpon di pojok atas, lalu menempelkan ponsel ke kuping.
“Hallo, La, kamu sekarang di mana?” tanyanya tak sabar setelah telpon terhubung.
Mendengar suara khawatir Vera, Levine menghentikan langkah kakinya. Diam memasang pendengaran, karna dia tau Vera sedang berbicara dengan Lala.
“Kenapa ke Lombok sekarang? Ada apa, sayang?”
Kedua mata Levine sedikit melotot mendengar pertanyaan yang Vera lontarkan.
“Jam berapa pesawatnya berangkat?”
Tak menunggu lama, Levine segera berlari. Membuak pintu depan dan menekan remote mobilnya. Cepat dia masuk dan menyalakan mesin. Entah kenapa, mendengar Lala yang ingin pergi, ada rasa tak rela. Tak mau jika gadis itu pergi darinya.