Eps 10

1950 Kata
Mendengar pintu di buka, Lala tentu sangat terkejut. Tangannnya menggapai pinggiran meja, mencari handuknya di sana, tetapi tak ada. Dia beranjak, berdiri dari duduk dan celikukan mencari letak handuk yang ternyata ia taruh di atas kasur sana, sedikit jauh dari tempatnya sekarang. Lala mengangkat wajah, menatap seseorang yang telah dengan sembarangan membuka pintu kamarnya tanpa ijin itu. Kedua mata melotot saat mengetahui siapa yang berdiri di ambang pintu. Nafasnya seakan berhenti detik itu juga, lalu aliran darah tak terasa sama sekali. Tubuhnya kaku, nggak bisa apa-apa. Apa lagi saat tau jika kedua mata Algi itu fokus menatap tepat pada bagian dadanya. Lebih tepatnya di atas d**a sana, di mana dua bekas bibir Levine tertinggal di sana dengan sangat kentara. Andai tang top itu dipelorotkan, cupangan itu tak lagi terhitung berapa banyaknya. Lalu di jarak dua meter sana, Algi mematung dengan d**a yang berdebar tak karuan. Aliran darah memanas dan sekarang menumpuk di dalam d**a, terasa seperti ingin meledak. Seminggu ini dia sudah mirip seperti orang ling lung. Dia yang notabe jahil, ceria, ngebanyol, berubah menjadi pendiam, pemarah dan jutek hanya karena dicuekin Lala. Hari ini dia sangat berharap bisa menyelesaikan semua masalah, membicarakan yang dia sendiri tak tau bersama dengan Lala. Namun, dua warna merah di sana, di kulit putih gadis yang begitu ia cintai itu. Semua orang pasti tau jika itu bukan bekas gigitan hewan atau bekas kerikan. Kedua mata Algi memerah, pelan rasa panas menyerang mata itu, lalu embun terpupuk di sana, membuat Algi langsung membuang muka dengan nafas yang terengah. Apa yang akan dia tanyakan? Penjelasan apa yang perlu dia tau? Bukankah dua stempel itu sudah cukup jelas? “Al ….” Seru Lala dengan suara tertahan. Kedua tangan Algi makin erat mengepal, tak lagi mau menatap Lala, dia memilih berbalik. Melangkahkan kaki keluar dari kamar itu. “Algi!” panggil Lala sedikit berteriak. Gadis itu berlari kecil, berhenti tepat di belakang Algi. Kedua bulir menetes membasahi pipi menatap punggung lebar yang terlapisi kemeja berbahan kain ini. Bahu Algi naik turun, menandakan jika cowok itu sedang tak baik-baik saja. “Al, maafin aku ….” Ucap Lala dengan suara serak. Algi melirik ke samping, menatap bayangan kekasihnya yang berdiri tepat di belakangnya. “Untuk?” suara yang tertahan. Lala menarik nafas kasar, lalu menunduk menatap bagian dadanya yang berwarna merah sedikit keunguan itu. “Maafin … maaf … maaf karna … karna aku ….” Lala menggigit bibir, menahan isakan yang ingin dia raungkan. Algi menyentak nafas dengan tangan yang semakin erat terkepal, sampai otot-otot di sana keluar semua. Algi memutar tubuh, membuat Lala bisa melihat dengan jelas kedua mata Algi yang berair. Saling tatap dengan tangis yang sama juga, rasa sakit yang sama. Namun, rasa kecewa yang Algi rasa, jauh lebih dalam. “Sama siapa?” tanya Algi, menatap dua cupangan di atas d**a sana. Tangan Lala bergerak, bergetar meraba yang Algi perhatikan. Dia meneguk ludah dengan bulir yang semakin deras. Nafasnya memburu, lalu guguannya tak bisa ia tahan. Dia jongkok, mengepalkan kedua tangan di depan wajah dan menyembunyikan tangis dengan keras di sana. Algi mengusap ingus yang menghalangi nafasnya. Dia mendongak, membuang nafas kasar melalui mulut, lalu tangan kembali bergerak mengusap kedua mata. “Kamu tau, La? Selama hampir dua tahun kita pacaran, aku selalu menahan semuanya. Aku nggak pernah peduliin bisikan temen-temen yang nyuruh aku buat nyentuh kamu. Seperti itu caraku jagain kamu ….” Algi mengacak rambut, sedikit menjambaknya. Kepalanya terasa ingin meledak. “Apa yang udah kamu lakuin di belakangku? Apa, La?” tanyanya, dari hati. Sekarang ia membiarkan bulir itu bebas mengalir membasahi pipi. “Apa aku salah jagain kamu dengan cara seperti itu? Apa aku salah kalau aku ingin kamu yang tetap sempurna sebelum kita benar-benar sah? Apa aku salah, La?!” Lala makin tergugu mendengar teriakan Algi. Kepalanya menggeleng dengan hati yang teramat sakit. Sungguh dia nggak bohong. Dia juga cinta sama Algi, dia sayang. Dan Lala menyukai cara Algi menjaganya. “Sama siapa kamu lakuin semua itu?” kembali suara Algi terdengar setelah beberapa menit berlalu. Setelah tangis Lala sedikit mereda. Tak ada tanggapan, hanya isakan Lala saja yang terdengar. Algi menyunggingkan senyum, menunduk menatap kekasihnya yang masih menangis. “Padahal kalau kamu pengen, kamu tinggal bilang ke aku.” Gumamnya, mengungkapkan kekecewaan. Mendengar itu, Lala mengangkat wajah. Mendongak menatap wajah tampan yang dipenuhi oleh kecewa. Bibirnya bergetar, lalu tangannya mengusap ingus. “Al ….” “Kamu udah sampai mana, La?” Kembali bulir itu mengalir di pipi putih Lala. Dia membuang wajah dengan tangan yang mengusap pipi itu. “Seharusnya, kalau kamu sudah nggak menginginkan aku, kamu bilang ke aku. Seharusnya, kalau rasa cintamu udah pudar, kamu bicarain itu sama aku. Seharusnya, kalau kamu bosan dengan caraku, kamu ngomong. Aku bisa berubah menjadi apa pun, menjadi seperti yang kamu mau. Aku bisa, La … aku bisa ….” Algi jongkok, meraih kedua bahu Lala. Membawa gadis itu berdiri, lalu diam menatap wajah yang sudah basah di penuhi oleh air mata dan ingus. “Apa salahku? Apa salahku, La ….” Tanyanya, menatap tepat di kedua mata Lala. Lala menggeleng dengan hati yang semakin terasa sakit. “Aku yang salah … kamu enggak.” Ngomongnya, tak terlalu jelas. Algi mengangguk samar dengan deru nafas penuh kecewa. “Kalau begitu … apa salahmu?” “Al ….” Seru Lala dengan suara yang tertahan. “Aku terlalu sayang sama kamu, sampai aku nggak tau apa salahmu. Jadi … biarkan aku yang bodoh ini tau. Apa salah gadis yang begitu aku cintai ini … tolong, katakan. Apa salahmu?” Bibir Lala bergetar, dia menunduk dengan tangis yang masih setia mengalir di pipi. Tangannya terkepal mengingat kejadia tadi, beberapa jam yang lalu saat Levine mengerayahi seluruh tubuhnya. Permainan yang begitu lembut, ciuman hangat dan perlakuan yang berhasil membuatnya luluh, tak menolak. “Oke,” ucap Algi setelah menit berlalu, tapi Lala tetap diam tak mau bicara. “Sepertinya … aku yang salah.” Lala menggeleng mendengar pernyataan Algi yang menyalahkan diri sendiri. “Al ….” “Aku terlalu yakin kalau kamu juga memiliki rasa yang sama seperti rasaku.” Cowok itu melepaskan celakannya di kedua bahu Lala. Lalu menghirup nafas dalam, mengusap hidungnya yang mampet. “Ya ….” Lalu tertawa getir, menertawakan diri sendiri. “Aku terlalu percaya diri. Sampai aku nggak tau kalau ternyata … ternyata aku tak pernah kamu inginkan.” Sakit, hati Lala sakit mendengar apa yang Algi katakan. Karena semua itu tak benar. Itu tak benar. Dia menggeleng lagi. “Enggak, Al ….” Algi menatap wajah Lala, membiarkan bulir menetes dari pelupuk mata. Menunjukkan betapa dia sangat terluka dengan kenyataan ini. “Maaf. Maafin aku karna … karna udah menjerat kamu dengan hubungan ini … selama … selama hampir dua tahun ini. Ya … maaf.” Untuk pertama kalinya Lala melihat lelaki yang sangat dia sayangi ini meneteskan air mata. Rasa sakit di dalam d**a, teramat luar biasa. Lala berhambur, memeluk cowok itu sangat erat. “Aku sayang kamu, Al … aku cinta sama kamu … kamu nggak salah … aku yang salah … aku yang salah … maafin aku, maafin aku … maaf ….” Algi diam mematung. Memejamkan mata dengan tangis yang mengaliri kedua pipi. Bisa dia rasakan detak jantung Lala yang begitu cepat menyentuh tubuhnya. Jadi … keputusan apa yang sekarang akan dia ambil? dalam hubungan, hubungan apa pun itu. Sebuah pengkhianatan adalah hal yang paling menyakitkan. Dan dia sedang merasakan sakit dari pengkhianatan itu. Algi menarik kedua bahu Lala, melepaskan pelukan gadis itu. “Anggap aku udah maafin kamu. Kalau belum siap untuk menjelaskan salahmu, aku siap menunggu. Sampai kamu siap menjelaskan ke aku, apa salahmu.” Lalu cowok itu berbalik, melangkah menuju ke arah tangga. “Aku salah karna aku udah khianati kamu.” Ucapan Lala membuat langkah kaki Algi terhenti. Cowok itu diam, tak menoleh, tak berbalik. “Aku … aku jahat. Maafin aku … tapi aku memang enggak pantas buat kamu jaga lagi. Aku … aku ….” ‘Aku udah kotor, aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kamu terus menjagaku, mencintai aku yang enggak pantas ini.’ lanjut Lala dalam hati. “Kita sudahi saja hubungan ini ….” Ini yang Lala ucapkan kemudian. Algi langsung memutar tubuh, menatap tajam tepat di kedua mata Lala. “Kita putus.” Algi melangkah mendekat, berhenti tepat di depan Lala yang terlihat menahan untuk tak menangis lagi. “Bisa ulangi?” Lala mendongak, menatap kedua mata Algi yang memerah dengan rasa sakit yang sama. Sama seperti yang dia rasakan. Bibirnya terbuka, bergetar dengan d**a yang naik turun. Dua kata pemutus hubungan itu teramat sulit untuk dia katakan lagi. Memilih menunduk, menatap tubuh Algi yang selalu memeluknya dengan usapan lembut di puncak kepala. Lalu mengecup kepalanya dengan penuh sayang. Satu tangan Algi akan merangkul, mengusap-usap lengannya dan mengecup pipinya dari samping. Kembali lelehan yang sudah berusaha dia tahan itu keluar. Sakit, teramat sakit. “Kita … put—putus.” Baik-baik saja. Itu adalah kata paling munafik jika dikatakan untuk sekarang ini. Algi langsung tertawa kecil, tawa yang menunjukkan betapa dia merasa terluka, kecewa, sakit hati dan … bodoh. Lalu helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. Pelan dia mengangguk dengan kedua mata yang berair. “Ya, oke.” Cowok ganteng itu langsung berbalik setelah mengatakan dua kata yang menyanggupi keputusan Lala. Ingin mempertahankan, tapi … dua tanda itu, lalu … Lala yang tak mau bicara. Mau nggak percaya kalau Lala nggak cinta, kalau Lala sebenernya sayang. Tapi … keputusan yang tadi itu …. Mempertahankan orang yang tak mau dipertahankan, itu hanya hal bodoh saja. Algi menuruni tangga dengan tangan yang menekan kedua ujung mata. Tak ingin menangisi semua ini. Memang rasanya terlalu dalam, dia terlalu menyukai semua yang ada pada Lala. Bohong banget kalau dia bisa tetap baik-baik saja setelah ini. Sesampainya di luar rumah, Algi segera menaiki moge hitamnya. Langsung memasang helm dan memasukkan kunci motor. Tanpa menunggu apa pun dia segera melajukan motor cepat meninggalkan rumah tinggal Lala. Sempat menatap mobil yang berpapasan dengannya di belokan dan dia tau, itu adalah mobil Levine; kakak tiri Lala. Levine yang di dalam mobil sana, juga melirik ke arah Algi dengan senyum kemenangan. Ya, dia menang karena udah icipi pacarnya. Begitu mobil masuk garasi, Levine langsung turun. Tatapannya tertuju ke lantai atas sana, tepatnya di kamar adiknya yang jendelanya tertutup. Cepat dia melangkah menaiki undakan kecil di teras, lalu mendorong pintu depan dan masuk. Seakan tak sabar ingin bertemu, Levine menaiki anak tangga dengan sedikit berlari. Tangannya meterulur, mendorong pintu kamar Lala yang hampir tertutup. Lala yang melihat itu, tentu melotot dengan ketakutan yang langsung menyerang diri. Tatapn Levine tertuju pada dua tanda di d**a adiknya yang tentu adalah ciptaannya. Ada rasa bangga melihat bekas bibirnya di sana. “Cowok lo tadi … ngapain ke sini?” tanyanya setelah mereka lama hanya saling tatap. Lala menghela nafas, menunduk menyembunyikan kesedihan di wajahnya. “Dia liat … tanda merah itu?” tayanya, penasaran. Lala langsung membuang muka. Rasanya ingin menjambak, memaki, memukul dan sekalian membunuh Levine sekarang juga. Melihat ekspresi di wajah Lala, Levine terkekeh menang. “Bagus lah kalo liat.” Ucapnya, lalu ngeloyor meninggalkan Lala dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Masuk ke dalam kamarnya, menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan mulai mengusap layar ponsel. Ada chat masuk yang belum sempat ia baca [Vin, jangan lupa, besok pagi sebelum ambil cincin, kita ke butik dulu] Dia tersenyum membaca chat dari Sabina, lalu tangannya menari di layar sana dengan lentik. [Iya] send Sabi Menjatuhkan ponsel di d**a, diam ketap-ketip menatap plafon kamarnya. Kenapa di sana malah ada bayangan wajah Lala? Kenapa bukan Sabina yang tadi terlihat sangat cantik dengan kebaya rancangan terbaik dari kenalan Vera? Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum saat melihat kehancuran hubungan percintaan Lala dan Algi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN