“Aaggh … aaggh ….”
Levine mendesah kenikmatan sembari menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Tatapannya tak beralih dari wajah cantik Lala yang kedua mata memejam dengan bibir yang juga mengeluarkan desahan. Terlihat semakin cantik dan sexi walau ada air mata yang turut andil mengalir dari ujung mata.
Levine berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh di atas tubuh Lala dan melahap salah satu tonjolan yang sejak tadi bergerak sesuai dengan irama gerakannya. “Ternyata lo nikmat banget, bitch.” Ngomongnya, kembali menggerakkan miliknya yang masih menancap di bawah sana.
Lala tetap terisak dengan tangan yang mencengkeram erat bantal. “Udah, kak ….” Pintanya tak terlalu jelas.
“Gue belum puas,” jawab Levine, lalu beranjak.
Cowok itu mencabut dirinya, lalu membuka lebar kedua kaki Lala dan diam di bawah sana.
“Aaggh, kak! aaggh … udah! Udah!” teriak Lala, berusaha mendorong kepala Levine yang berada di tengah-tengah kaki. Tak lama Lala mengangkat p****t, merasakan ada yang ingin keluar dari sana. Tubuhnya melemas dengan lelehan air mata yang setia mengalir di ujung mata.
Levine terkekeh melihat cairan yang keluar dari milik Lala. Tangannya bergerak meratakan cairan itu di inti Lala. “Lo bisa tsunami gini, artinya lo menikmatinya. Jadi, kenapa lo nangis?” tanyanya, menatap wajah Lala yang memang terlihat lemas, sedih, tapi … sungguh sangat menarik.
Lala menggigit bibir saat di bawah sana ada yang kembali memasuki tubuhnya. Dia benar-benar tak bisa menikmati karena melakukan semua ini dengan paksaan. Terlebih Levine melakukannya cukup brutal dan menyakiti setiap inci yang sudah di sentuh. Gimana bisa menikmati?
Tetiba Levine menarik kedua tangannya, lalu bergerak makin tak terkendali. Membuat Lala semakin berteriak merasakan sakit yang teramat di bawah sana.
“Aagghh ….” Desah Levine panjang ketika akhirnya dia memutuskan untuk menyudahi permainannya. Satu jam, cukup melelahkan menyiksa gadis ini.
Merasa bibitnya sudah keluar sepenuhnya, Levine mencabut barangnya. Beranjak dari atas tempat tidur dan mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Tak mengatakan apa pun, bahkan melirik Lala yang terengah saja seperti tak sudi, Levine langsung berjalan menuju pintu kamar Lala. Memutar kuncinya, lalu melangkah keluar dari sana.
Pukul 03.00 am
Lala meringkuk di atas ranjang merasakan tubuhnya yang lelah dan sakit. Sekarang, malam-malamnya terasa seperti neraka.
**
Lima hari berlalu.
Belajar dari hari-hari sebelumnya, setiap pukul tujuh malam Lala sudah masuk ke kamar dan mengunci seluruh pintu serta jendela. Gadis itu tak akan keluar jika matahari belum benar-benar muncul. Namun, walau sudah seperti itu, setiap malamnya dia selalu tak bisa tidur dengan tenang. Setiap matanya terlelap, dia pasti akan terbangun dengan ketakutan. Lalu kedua mata akan meneliti setiap sudut kamar, sangat takut jika ada Levine di dalam ruangannya.
“Yakin mau ke Lombok?” tanya Bayu, ingin lebih meyakinkan Lala.
Lala mengangguk dengan sangat yakin. “Uumm ….” Terlihat ragu untuk mengatakan keinginannya. Lala melirik ke mamanya yang duduk di samping Bayu. “Aku … aku mau tinggal di sana lama.”
“Masuk kuliahnya kan tinggal seminggu lagi, La,” seru Mama yang tentu nggak setuju.
Lala menegakkan tubuh, dia juga perlu keberanian mengatakan rencana yang dia inginkan ini. “Aku kangen sama nenek dan tante Vani, Ma. Uumm, kalau aku kuliahnya tahun depan saja, nggak apa kan?”
“La,” Vera menatap serius pada anaknya. “Kamu masuk jalur beasiswa. Dan di dalam surat undangan itu tertulis hanya bisa masuk tahun setelah lulus sekolah. Itu berarti harus sekarang. Nggak bisa kalau tahun depan.”
Lala mengalihkan tatapan, menatap ke lain arah. “Aku … aku lelah, Ma,” ucapnya, jujur. Karna dia memang merasa lelah menghadapi Levine. “Aku ingin istirahat dan santai sejenak. Jika tahun depan tak bisa lagi untuk masuk, aku tak akan ambil kuliah. Aku akan mencari pekerjaan yang bisa menerima lulusan SMA.”
“La!” pekik Vera yang tak setuju.
Dia tak mau anaknya yang pintar ini hanya tamat SMA saja. Dia ingin anaknya tamat menjadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang tentu bisa membuatnya bangga. Apa lagi dia tau jika keluarga Algi semuanya tamatan sarjana. Lalu ayah Algi adalah seorang pilot dan mempunyai beberapa usaha.
“Ya sudah, tak apa kalau kamu ingin berlibur dulu.” sahut Bayu, langsung membuat Vera menoleh menatap suaminya itu dengan tak suka.
“Mas,”
Bayu mengelus kaki Vera dengan senyum yang menenangkan. “Lala pasti sedang butuh tenang, Ver. Tak apa, kan? Dia bisa masuk kuliah tahun depan.”
“Tapi undangan beasiswa itu—”
“Masuk kuliah tanpa pakai undangan beasiswa kan juga bisa.” Sela Bayu, memotong kalimat yang akan Vera ucapkan.
“Uang—”
“Sekarang suamimu ini bukan seorang karyawan pabrik, Ver. Tapi yang jadi papanya Lala sekarang adalah seorang pemimpin perusahaan. Kenapa kamu harus pusing?” kembali penuturan Bayu membuat kalimat Vera tertelan angin.
Iya benar, sekarang lelaki yang menikahinya bukan seorang buruh pabrik seperti papa kandungnya Lala. Bayu seorang pemimpin perusahaan yang tentu memiliki uang lebih banyak dari almarhum suaminya dulu. Bahkan sebelum dia dinikahi Bayu, dia sudah beberapa kali diberi uang dengan Cuma-Cuma.
“Sudah lah.” Bayu menggenggam tangan Vera, lalu beralih menatap Lala yang menunggu keputusan kedua orang tuanya. “Tak apa jika kamu ingin berlibur di rumah nenekmu.”
Lala mengulas senyum penuh kelegaan. “Makasih, pa,” ucapnya dengan binar bahagia.
“Uumm, Levine nikahannya kapan, Mas?” tanya Vera kemudian.
“Lima hari lagi,” jawab Bayu, lalu meraih gelas kopi dan menyesapnya.
Vera menatap anak gadisnya yang tentu ikut menyimak. “Mending kamu ke Lomboknya setelah nikahan kakakmu ya,” pintanya.
Lala mengehela nafas dengan sedikit kesusaha. Seperti tertekan di dalam d**a. Kelegaannya tadi hanya sebentar, karna ternyata dia masih harus menunggu waktu beberapa hari lagi untuk terhindar dari bahaya.
Levine yang berada di tengah tangga, menyunggingkan senyum. Mengurungkan niat untuk pergi, memilih kembali ke lantai atas.
‘Jadi dia mau menghindari gue?’ batinnya berucap. ‘Oke, kalo itu pilihan lo. Gue bakalan bikinin kenang-kenangan biar lo nggak lupa!’
Levine mengambil ponsel yang berada di saku celana lalu mengusap layar tipis itu.
[Ambil cincinnya besok siang aja ya, Bi. Hari ini ada acara dadakan.] send Sabi
Melihat chatnya sudah centang dua berwarna biru, Levine langsung melangkah menuju ke kamar Lala. Pintu yang dia datangi setiap malam dan selalu terkunci itu, kini bisa ia masuki dengan mudah. Ya … karna Lala nggak ada di dalam.
Sementara di ruang keluarga, pembicaraan mereka berlanjut. Ya … nggak terlalu penting sih. Hanya membahas tentang nenek Lala yang berada di Lombok sana. Nenek dari sang papa, karena kedua orang tua Vera sudah meninggal dan saudara-saudara Vera menetap di pulau Kalimantan sana.
“La, Algi tau kalau kamu mau ke Lombok?” tanya Vera setelah memasukkan ceripik pisang ke mulut.
Mendengar pertanyaan itu, d**a Lala bergerak naik turun, menghela nafas tak nyaman. Setelah malam ulang tahun Melodi waktu itu, Lala sudah tak lagi bertemu dengan Algi. Masih membalas chat Algi, tapi hanya seperlunya saja. Dia lebih sering menyendiri di dalam kamar membaca buku dan menonton drama-drama korea yang bisa membuatnya lupa dengan semua keadaan.
“Tau, Ma,” jawabnya berbohong.
Vera mengangguk dengan senyum yang terlihat begitu lega. “Pacaran jarak jauh itu nggak mudah lho, La. Harus selalu berpositif thinking dan nggak ngampang terhasut sama kata orang. Komunikasi dan kepercayaan, itu paling penting.”
Lala menunduk, menatap kedua tangan yang saling memilin. Ya, dia tau itu. Dan di rasa dia yang mulai menyakiti dan mengecewakan hubungan ini.
“Mama suka liat kamu sama Algi,” lanjut Lala berucap, dan itu membuat Lala menegakkan kepala. “Dia baik, sopan, tampan, dan kelihatan banget kalau bisa jagain kamu. Kalau bawa kamu pergi, pasti ijin dulu ke mama. Mama juga merasa tenang banget. Kalau bisa … jaga hubungan kalian sampai sah dan menua bersama ya, La,”
Mendengar permintaan itu, Lala meneguk ludah dengan kesusahan. Mamanya sudah terlalu berharap pada hubungannya dengan Algi yang dia sendiri tak akan mempertahankannya. Sekali pun Algi mau menerima, dia tak mau mengecewakan. Dia tak mau Algi memiliki istri seperti dirinya yang sudah kotor dan terjamah.
Bayu menepuk kaki Vera, membuat Vera menoleh pada suaminya itu. “Jodoh itu udah ada yang atur, Ver. Mau dipertahankan seperti apa, kalau bukan jodoh, ya tetap akan berpisah. Kamu lupa kita dulu bagaimana?”
Vera menunduk, lalu tersenyum membayangkan kesah cintanya dulu dengan Bayu yang memang kandas. Ya, tapi ternyata mereka tetap di pertemukan oleh sang pencipta karena akhirnya tetap menyatu dalam ikatan pernikahan. Walau harus menyakiti beberapa pihak. Dan memang ada cinta yang bersifat egois seperti cinta Bayu dan Vera ini. Sangat jauh berbeda dengan cinta Lala untuk Algi, atau … cinta Algi untuk Lala.
Lala beranjak dari duduk. “Aku ke kamar dulu ya,” pamitnya pada kedua orang tuanya.
Vera dan Bayu sama-sama memberi anggukan.
“Mama mau ke toko kue yang biasanya. Kamu mau dibeliin kue yang apa? Coklat seperti biasanya?” tanya Vera masih menatap Lala yang belum melangkah pergi.
Lala mengangguk, lalu melangkah menaiki anak tangga untuk menuju ke kamarnya.
“La,” panggil Bayu dengan sedikit berteriak.
Lala yang sudah berada di lantai atas sana menoleh, menatap kedua orang yang duduk di ruang tengah sana.
“Nggak mau ikut sekalian? Mumpung hari minggu, nanti sekalian mampir ke taman kota,” ajak Vera. Karena dia memang sudah sangat lama tak pernah keluar bareng sama anaknya.