Eps 7

1755 Kata
Algi mematikan mesin mobil saat mobil sudah ada di depan rumah tinggal Lala. Cowok ganteng itu beringsut, menatap kekasihnya yang melepaskan sabuk pengaman. “Yaang, kamu kenapa?” tanyanya untuk yang entah ke berapa. Sejak pembicaraan tentang temannya yang menghamili adik kelas tadi, Lala jadi lebih banyak diam dengan wajah yang menekuk. Kepala berambut curly itu menggeleng. “Aku turun ya, Al,” pamitnya, tapi satu tangannya di cekal saat tangan yang lain sudah membuka pintu mobil. “Al,” pekik Lala, terkejut. “Kamu ada masalah apa?” tanya Algi yang sudah curiga sejak beberapa hari yang lalu. Chat Algi jarang dibales, telponnya juga lebih sering diabaikan. Lala tak seperti dulu yang akan menyambutnya sumringah dan penuh cinta saat bertemu atau jalan bareng. Lala mengangkat wajah, lalu mengulas senyum manis yang terlihat dipaksakan. “Enggak ada, Al.” “Jangan bohong, Yaang. Aku kenal sama kamu udah lama walau memang pacaran kita baru ada satu setengah tahun, tapi aku udah hafal sama sikap kamu. Cerita ke aku, yaang,” pinta Algi, memohon dengan wajah yang benar-benar peduli. Lala kembali menunduk, menggigit bibir dengan perasaan takut dan khawatir yang bercampur. Hal seperti itu, masa’ iya mau diceritakan ke Algi? Bahkan menceritakan ini ke mamanya sendiri saja, dia tidak berani. Lala menarik tangan dengan paksa, membuat cekalan tangan Algi terlepas. “La,” panggil Algi dengan berteriak saat Lala kembali mendorong pintu mobil. “Apa arti aku buatmu selama ini?” tanyanya dengan nafas yang memburu, dia menahan amarahnya. Lala membiarkan embun itu menetes mengaliri kedua pipi. Tetap tak mau menatap Algi karna dia tak mau Algi melihat tangisnya. Dimana pun, seorang yang menjadi korban pelecehan akan memilih memendam semuanya sendiri. Bukan takut dengan ancaman si peleceh, tetapi dia hanya tak mau direndahkan, diinjak dan dipandang jijik oleh orang yang mengetahui kebenarannya. “Kita punya komitmen, La,” kembali ucapan Algi terdengar. “Kalau aku ada masalah, kamu adalah orang pertama yang akan tau masalahku, begitu juga sebaliknya. Dan sekarang ….” Terdengar cowok itu memukul stir mobil sembari membuang nafas kasar melalui mulut. Kedua tangan Lala makin mengepal dengan derai yang benar-benar tak bisa ia bendung lagi. Dia nggak bisa untuk menceritakan semua ini. Dia nggak punya nyali, seupil pun dia nggak punya. Memilih menurunkan kedua kaki dari mobil, tangannya mengusap kedua pipi yang sudah banjir. “Maafin aku, Al,” ucapnya sebelum dia melangkah dengan sedikit berlari menuju ke pintu rumah. Algi mematung menatap punggung yang sekarang sudah menghilang dibalik pintu. Kedua matanya memerah menahan amarah serta rasa bingung yang memenuhi d**a. Kepalanya sudah banyak berkelebatan tebakan-tebakan tentang Lala yang tak lagi menginginkannya, tak lagi mencintainya. Atau malah Lala dijodohin? Atau dia melakukan suatu kesalahan yang bikin Lala jadi dingin dan menghindar? Atau … aarggh! Kembali tangan Algi memukul stir mobil kencang. Lalu kedua tangan menjambak rambut untuk melampiaskan kekesalannya. Bukankah hal yang paling menyebalkan itu ketika pasangan telah berubah tanpa kita ketahui apa alasannya? Setelah menutup pintu depan, Lala langsung berlari masuk. Tak memedulikan Bik Puji yang sudah duduk menunggu penghuni rumah pulang agar si bibik bisa cepat pulang ke rumahnya juga. Lala terus berlari menaiki anak tangga dengan tangan yang sesekali mengusap kedua mata. begitu sampai di dalam kamar, tangannya menekan saklar lampu, lalu melangkah menuju ke arah jendela kaca yang terlapisi gorden tipis berwarna putih. Kedua mata makin menangis saat di bawah sana masih sangat jelas terlihat mobil Algi yang tak pergi. Dia sudah menyakiti hati Algi, kan? Lala menggigit jari dengan isakan yang tak perlu ia tahan lagi. Satu tangannya mencengkeram kusen kayu, menyalurkan seperti apa rasa hatinya yang teramat sakit. “Al … aku sayang kamu ….” Lirihnya tak jelas karena isakan tangis. Berbalik, menyandarkan tubuh itu pada kaca dengan tangis yang semakin menjadi. “Maafin aku … maafin aku, Al … maaf ….” Gumamnya dalam guguan yang semakin terdengar menyakitkan. Sementara di luar rumah, Algi menatap bayangan di lantai atas sana dengan perasaan yang tak bisa lagi dijelaskan. Rasa sakit, rasa bingung dan rasa emosi telah menumpuk di dalam hati. Dia sangat menyukai Lala, mencintai gadis itu, bahkan dia sangat menjaga agar tak ikut-ikutan berbuat zina seperti teman-temannya yang lain hanya demi tetap membuat Lala baik-baik saja. Begini kan, kalau memang sayang, harus dijaga, bukan di rusak. “La … apa salahku ….” Tanya Algi, menatap bayangan yang sekarang membelakanginya. “Aku sakit kamu giniin, La ….” ** Pukul 9.00pm Levine dan keluarga baru pulang dari rumah Sabina karena mereka makan malam lebih dulu di sana. Pak Basir benar-benar menyambut keluarga Levine dengan bahagia dan hangat. Seperti biasa, Levine tak pernah peduli dengan kedua orang tuanya yang mengajaknya lebih dulu mampir ke resto untuk membeli makanan. Begitu sampai di rumah, lelaki berbalut kemeja batik itu langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Membahas tentang pernikahan dia dan Sabina yang akan diadakan dua minggu lagi, entah kenapa semua terasa membosankan baginya. Ada rasa bimbang yang tetiba muncul dari dalam hati yang bahkan dia sendiri tak tau apa alasannya. Padahal selama beberapa tahun menjalin hubungan, dia teramat menyukai Sabina. bisa dibilang jika dia lelaki yang bucin, menuruti apa pun yang Sabina mau. Berubah menjadi lebih baik, tak lagi sering keluyuran dan nongkrong bersama teman-temannya. Levine melepaskan kemeja, melemparkan baju yang masih wangi itu ke keranjang khusus pakaian kotor. Lalu merebahkan tubuh ke kasur dengan helaan nafas kasar beberapa kali. Diam dengan kedua mata yang menatap pada plafon kamarnya. Mencoba mencari sesuatu yang menyelip di dalam hati dan mungkin itu adalah hal yang harus dia buang. Menit berlalu dia mengacak rambut dengan rasa frustasi. Entah kenapa rasanya pada Sabina terasa hambar, tak semenggebu dulu lagi. Bosan, Levine bangun dan meraih bungkus rokok di atas meja. Mengambil sebatang dan membawanya ke luar, menuju ke balkon kamar. Kedua siku bertumpu pada besi pembatas, lalu menghidupkan korek dan membakar batang rokok yang menyelip di bibir sana. Detik kemudian asap mengepul dari bibir manis itu. Tanpa sengaja cowok itu menoleh ke balkon samping yang memang berbatas pagar dengan kamarnya. Jadi dia nggak bisa masuk ke balkon milik Lala. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat lampu kamar yang masih terang. Itu berarti adiknya yang cantik itu belum tidur, kan? Cuma liat kamarnya aja, bayangan Lala langsung memenuhi kepala. Tubuh sexi dengan bibir manis dan wajah memelas memohon padanya itu. Cckk, menarik banget! Menyesap rokoknya lagi, lalu mengeluarkan asap dengan cepat. Tatapannya tertuju ke bawah sana, mobil papanya melaju pelan memasuki garasi rumah. Sedangkan Vera melangkah menuju ke gerbang untuk menutup gerbang tinggi di rumahnya. ‘Mungkin rasa wanita itu emang enak sama kek anaknya, makanya papa lebih milih dia dibandingin tetep sama mama.’ Batin Levine, mencibir menatap penuh kebencian pada wanita yang kini tersenyum manis pada Bayu. Lalu dengan mesra Bayu melingkarkan tangan ke pinggang Vera dan keduanya melangkah menaiki undakan kecil di teras rumah. ‘Dasar wanita brengsekk!” umpatnya dalam hati. Levine menatap kamar adiknya, mendudukkan p****t di kursi yang ada di balkon sana. Diam dengan pikiran-pikiran yang dipenuhi oleh dendam. Yang ada dalam hatinya, hanya ingin membalaskan rasa sakit mamanya dulu. Dia yang sudah duduk di bangku SMA, melihat mamanya menangis setiap hari. Anak mana yang tak sakit? Terlebih ketika dia tau apa yang membuat mamanya menangis begitu. Jadi, jangan salahkan Levine. Menit berlalu, lampu di kamar Lala baru saja dimatikan, itu artinya gadis itu sudah bersiap untuk tidur, kan? Levine masuk ke kamar, mengambil rokok lagi karena sebatang tadi sudah habis. Kembali pula dia membawa rokok itu ke balkon dan diam di sana. Duduk membelakangi balkon, mengahdap ke kamar dengan kepala yang menyandar di besi pembatas. Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran yang di penuhi oleh rasa dendam. ‘Mending ilangin itu. Yang perlu gue pikirin sekarang adalah skripsi. Kalo udah lulus, gue bakalan ambil alih perusahaan mama. Lalu telantarin mereka semua. Cckk, anjiing!’ umpatnya lagi, membayangkan senyum Vera yang terlihat sangat menyebalkan di matanya. Dia membuka mata, menyugar rambut panjangnya dengan bibir yang membuang asap rokok. ‘Bentar lagi gue nikah, astaga … tapi napa nih otak nggak kepikiran sama nikahan?’ keluhnya lagi dalam batin. Yang terlintas di otaknya hanya ingin balas dendam, tak ada lainnya. Mungkin sekitar dua jam, Levine yang mencari angin di balkon sudah merasa kedinginan. Dia mulai melangkah masuk ke kamar, melepaskan celana jeans panjangnya dan menyisakan celana kolor saja. Duduk di meja belajar dan mulai membuka laptop. Malam ini dia akan mencoba mencari ispirasi untuk membuat topik dan judul yang baru untuk skripsinya. Menunggu loading, Levine beranjak dari duduk. Dia melangkah keluar kamar untuk membuat kopi. “Aaggh ….” Suara seorang wanita yang terdengar begitu manja membuat Levine menghentikan kaki. Dia yang sudah ada di tengah tangga, celikukan mencari asal suara itu. Lalu bunyi barang yang seperti tergeser mengarahkan pandangannya ke ruang keluarga sana yang sudah gelap gulita. Walau gelap, tetapi kedua mata Levine yang normal itu bisa menangkap bayangan kedua orang yang sedang melakukan kegiatan malam di sofa depan teve sana. Dengan sangat bernafsu Bayu menggerakkan pinggul. Kedua tangan memegangi kedua kaki Bera yang lurus tegak ke atas itu. ‘Anjing! Brengsekk! Banjiingan!’ umpatan demi umpatan ia lontarkan. Kamar mereka kan luas, kenapa mereka melakukan itu di sana? Levine langsung berbalik, kembali naik ke atas dan masuk ke kamarnya lagi. Tangannya langsung menutup laptop yang sudah menyala. Keinginan untuk menyelesaikan tugas kuliah itu sudah lenyap. Berkacak pinggang dengan deru napas memburu, dipenuhi oleh emosi. “Aargg! Bajingaan!” teriaknya keras. Dia melangkah kelaur lagi dari kamar, menatap pintu yang ada di depan sana dengan emosi yang menumpuk. Levine melangkah ke arah pintu yang tertutup rapat, meraih hendlenya lalu memutar. Sial, pintunya di kunci dari dalam. “Brengsekk!” umpatnya lagi. Tak menyerah, Levine membuka jendela kaca yang ada di ruang tengah. Ruangan antara kamar dia dan Lala. Melompat dari sana, lalu masuk ke balkon kamar Lala. Perlahan dia menarik pintu balkon yang terbuat dari kaca itu. Menyunggingkan senyum saat mendapati pintu tak di kunci dan dia bisa dengan mudah melangkah masuk. Kamar Lala temaram, dan gadis cantik itu sudah tidur dengan selimut yang menutupi tubuh sampai dibagian leher. Levine menyingkap selimut pelan, lalu ikut masuk ke dalamnya. Merasa kasur bergerak, Lala langsung membuka mata, lalu kedua mata melotot mengetahui ada Levine yang tidur di sebelahnya. “Aaww!” teriak Lala saat dia yang akan bangun itu justru ditarik, lalu tangan Levine sudah meremas dadanya. “Kak!” pekiknya dengan berteriak. “Gue pengen lagi!” Lal menggeleng, tangannya berusaha melepaskan tangan Levine yang terus meremas-remas dadanya. “Enggak, Kak! enggak! Jangan! Aku nggak mau! Aku nggak mau! Aagghh! Kak, hentikan!” Malam ini, Levine kembali mendapatkan sesuatu yang tak seharusnya dia dapat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN