7- Tangisan di Halte Bus

1365 Kata
Nindy mematut dirinya di depan cermin kecil di kamarnya. Sejak tadi ia sudah berdandan untuk mempersiapkan dirinya untuk wawancara hari ini. Ini merupakan wawancara pertamanya, jadi ia sengaja mempersiapkan dirinya untuk tampil secantik dan serapi mungkin hari ini. Nindy memoleskan bedak ke kedua pipinya dan lipstik ke bibirnya. Maskara dan eyeliner- nya sudah habis minggu lalu, dan ia tidak ingin berepot- repot untuk membelinya lagi. Tabungan gadis itu bahkan sudah hampir menipis. Setelah itu ia merapikan kembali rambut sebahunya itu dan menyisirnya. Tak lupa juga gadis itu menyematkan jepit rambut kecil untuk menyangga poninya. Setelah tersenyum sekali lagi di depan cermin itu, kini Nindy telah siap untuk segera mendatangi interview itu. "Udah, siap!" seru gadis itu sembari tersenyum lebar. Nindy sekali lagi merapikan kemeja dan rok selututnya sebelum akhirnya menjauh dari cermin itu. Gadis itu segera mengambil tas mungil hadiah dari teman- temannya itu kemudian melangkah meninggalkan kamarnya. Nindy berjalan cepat menuju rak sepatu di ruang tamu, kemudian mengambil flatshoes- nya. Lalu gadis itu mulai melangkah menuju teras depan. Ia berniat mengenakan flatshoes- nya itu ketika berada di depan pintu nanti. "Nindy berangkat dulu, Ma!" seru Nindy begitu gadis itu sudah mencapai pintu depan. Dengan cepat ia kenakan flatshoes- nya itu lalu merapikan pakaiannya kembali. Ia hendak melangkah menjauhi pintu depan rumahnya sampai sebuah tangannya menahan langkahnya. Nindy membalik badan dan mendapati Nandiro tengah menggenggam lengannya. "Mau berangkat sekarang?" tanya cowok itu dengan canggung. Omong- omong, seminggu belakangan, tepatnya sejak perdebatannya dengan adiknya itu, Nindy sudah tak mengajak bicara adiknya itu lagi. Ia masih marah pada Nandiro. Jadi sengaja ia mendiamkan adiknya itu, hitung- hitung hukuman agar cowok itu jera. "Iya." Nindy menjawab singkat sembari mengangguk cepat. Ia melirik tangannya yang masih digenggam oleh adiknya itu, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Bukannya lo suruh gue cepat- cepat buat dapat pekerjaan?" Nandiro berdehem mendengar perkataan Nindy itu. Ia mengerti saat ini kakaknya itu tengah menyindirnya. Dengan cepat ia lepaskan genggaman tangannya itu pada tangan Nindy. Nindy hanya terdiam begitu tangannya sudah tak dipegang oleh adiknya itu lagi. "Gue berangkat dulu," ucap gadis itu dengan cepat. Selanjutnya, ia segera membalik badan dan melangkahkan kakinya. Nandiro dengan cepat kembali bersuara sebelum kakaknya itu menjauh. "Gue antar?" tawarnya. Nindy memberhentikan langkahnya. Kemudian setelah ia menghela napasnya, gadis itu mengucap kalimatnya lagi. "Buruan, gue udah telat!" Nindy berucap tanpa membalik badan atau menoleh menatap adiknya itu. Namun dengan mendengar jawaban Nindy itu, Nandiro kini sudah dapat tersenyum lebar. Dengan cepat cowok itu menutup pintu di belakangnya dan melangkahkan kaki menyusul Nindy. Ia tahu kalau saat ini kakaknya itu sudah mulai berdamai dengannya. "Tunggu gue!" serunya dengan keras. °°°° Begitu sampai di kafe, Nindy segera memasuki kafe berlantai dua itu. Tadi Nandiro hanya mengantarnya sampai di depan kafe. Nindy bahkan tak ingin membuat adiknya itu susah payah menungguinya. Ia tahu bahwa interview- nya pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Jadi, setelah bersusah payah membujuk, em, mengusir adiknya itu, Nandiro akhirnya mau untuk pulang sendiri ke rumah mereka. Saat berada di dalam kafe, Nindy melihat sekitar ada lima orang yang juga tengah menunggu giliran untuk di- interview. Gadis itu ikut duduk bersama kelima orang yang juga tengah menunggu itu. Nindy duduk dalam diam, bahkan tak menghiraukan orang- orang yang saat ini tengah bersiap untuk masuk ke dalam ruangan itu. Nindy terlalu gugup sekarang. Meskipun sejak tadi ia sudah mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan oleh si Pewawancara, namun bagaimanapun juga, ini adalah interview pertamanya. Jadi wajar bukan kalau sekarang ia sangat gugup. Dua orang kini sudah dipanggil ke dalam ruangan itu. Menyisakan Nindy dan juga tiga orang lainnya. Hal itu membuat Nindy makin gugup. Dengan waktu yang tersisa, gadis itu tak menyia- nyiakannya dan segera melanjutkan menonton tayangan di video tentang interview itu. Ia ingin kembali belajar tentang cara menjawab pertanyaan dari pihak pewawancara itu. "Nama saya Nindy Camelia. Usia saya dua puluh tiga tahun, seorang freshgraduate dari Universitas Pelita Bangsa ..." Tak terasa kini sudah tiba giliran untuk Nindy. Ketika gadis itu tadi masih sibuk menonton video itu, namanya dipanggil, sehingga ia tak punya pilihan untuk segera masuk ke dalam ruangan itu. Nindy melangkah dengan doa dan harapan yang mengiringi langkahnya. Ia hanya bisa pasrah sekarang. °°°° "Jadi gimana, Pak? Apa saya bisa kerja sebagai Manajer Kafe mulai besok?" Nindy bertanya pada pemilik Kafe itu yang sejak lima belas menit lalu mewawancarainya itu. Ia sudah tak sabar, rasanya ingin segera bekerja saja. Si pemilik kafe dalam senyum tipisnya masih kentara menghela napas. "Maaf sebelumnya, Nindy. Kamu memang memiliki ijazah sarjana namun karena kamu belum memiliki pengalaman kerja apapun, jadi saya tidak bisa memberikan posisi Manajer Kafe itu untuk kamu," jelasnya dengan penuh hati- hati. Nindy seketika terkejut. Pasalnya beberapa menit ke belakang si pemilik kafe itu sudah tampak senang dengan interview- nya dengan Nindy itu. Bahkan tampak tanda- tanda positif untuk Nindy menerima posisi itu. Namun mengapa mendadak Nindy menjadi ditolak seperti ini? Atau ini karena satu menit yang lalu saat si pemilik kafe di depannya itu meninggalkan ruang interview? Apa yang telah terjadi satu menit yang lalu itu? "Tapi tadi ..." Nindy terbata mengucap kalimat itu. Jujur ia bingung saat ini. "Maaf, Nindy. Posisi Manajer Kafe sudah diberikan untuk orang lain," tambah Si Pemilik Kafe itu dengan raut sedihnya. Nindy kini hanya bisa menganga dan terkejut. "Oh, begitu ..." Ia kebingungan merangkai kata. Sampai akhirnya si Pemilik Kafe itu kembali bersuara. "Atau kamu mau saya tempatkan di posisi kasir?" tanyanya. "Sudah saya bilang bukan kalau tadi interview kita menarik? Jadi saya tawarkan posisi lain untuk kamu. Itu pun kalau kamu mau," sambung pria di depan Nindy itu. Nindy mengerjap berulang kali. Kasir? "Kalau kamu malu dengan ijazah S1 yang hanya ditempatkan di posisi Kasir, maka saya ..." "Saya mau, Pak." Ucapan si Pemilik Kafe itu terpotong oleh kalimat tiba- tiba dari bibir Nindy. Gadis itu mengucap dengan penuh keyakinan di matanya. Iya, untuk masa di mana mencari pekerjaan sangat susah, ia tak punya pilihan lain sekarang. Nindy tak bisa memilah- milih pekerjaan yang ditawarkan padanya sekarang. Ia harus menerimanya. Apapun itu. Sekali lagi, ia tidak punya pilihan lain. "Saya mau ditempatkan di posisi Kasir." Nindy mengulang kalimatnya. Hal itu membuat si Pemilik Kafe itu tersentak. Namun detik selanjutnya, si Pemilik Kafe itu hanya bisa tersenyum menatap Nindy. Ia ikut senang karena akhirnya Nindy menerima tawarannya. "Besok kamu bisa langsung bekerja." Ucapan singkat itu sekaligus mengakhiri interview tersebut. °°°° Nindy berjalan di trotoar dengan mencengkram tasnya kuat- kuat. Seingatnya tadi ia memasuki kafe itu saat jam menunjuk pukul sepuluh pagi, namun kini tak terasa waktu sudah cepat berlalu. Sudah sore ternyata. Jalanan Jakarta kini makin padat dipenuhi oleh orang- orang yang hendak pulang ke rumah masing- masing. Nindy terus berjalan dengan langkah ringan. Ia hampir mencapai halte bus, dan akan segera menaiki bus trans. Namun gadis itu berakhir dengan hanya duduk terdiam di kursi panjang yang terbuat dari besi di halte bus. Nindy duduk bersisian dengan orang- orang yang juga hendak menunggu bus. Namun bus tak jua datang. Tes Tes Tes Airmata mengalir begitu saja di pipi Nindy. Ia masih terdiam tanpa bersuara dan airmata yang masih mengalir. Pada akhirnya gadis itu menangis. Tangisnya kian keras hingga membuat orang- orang di dekatnya kebingungan. Tadi, ketika Nindy hendak ke luar dari kafe, ia akhirnya mengetahui sebuah fakta menyakitkan. Fakta bahwa orang yang akan menjadi Manajer Kafe itu ternyata membayar si Pemilik Kafe. Bahkan Nindy mendengar bahwa orang itu memiliki koneksi dengan si Pemilik Kafe itu. Fakta yang menyakitkan bahwa mencari pekerjaan sekarang sangat susah ditambah banyak sekali orang- orang seperti itu. "Kenapa, Mba?" "Mba, jangan nangis." Nindy menangis bukan karena ia gagal menjadi Manajer Kafe. Nindy saat ini menangis karena rasanya dunia tak berpihak padanya. Ia sudah dijatuhkan di titik terendah di hidupnya, namun ternyata ada orang di luar sana yang hidup dengan serba kecukupan tanpa perlu bersusah payah. Nindy menangis. Setelah semua airmata yang ia tahan selama ini, dan baru ia luapkan sekarang. Ia menangis, dan kian keras saja. Tak ia hiraukan orang- orang memandangnya aneh. Tak apa ia menjadi pusat perhatian sekarang. Yang Nindy butuhkan hanyalah menumpahkan semuanya sekarang. Ia bohong kalau mengatakan bahwa selama ini ia baik- baik saja. Karena nyatanya, selama ini ia tidak baik- baik saja. °°°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN