Nindy pulang ke rumahnya dengan langkah lemas. Tatapannya kosong ketika menatap gang sempit yang akan membawanya menuju rumahnya itu. Sejak tadi gadis itu telah menghela napasnya berulang kali, menandakan bagaimana dirinya yang sangat lelah hari ini. Ia seharusnya senang karena pada akhirnya telah mendapatkan pekerjaan, bukan? Namun tetap saja Nindy terpikirkan tentang kejadian di kafe sore tadi.
Nindy pada akhirnya mendongak, kemudian melihat rumahnya yang kini sudah terlihat di depan matanya. Nindy mulai menetralkan kembali ekspresi wajahnya. Ia menarik sudut bibirnya, tersenyum lebar. Sengaja melatih wajahnya yang semenjak tadi sangat murung itu, agar dapat terlihat dengan senyum alami.
Ia tidak mungkin tampak murung sekarang 'kan, di saat Nandiro bahkan Mamanya kini tengah menanti kabar darinya tentang pekerjaannya itu. Bisa- bisa anggota keluarganya itu juga ikut sedih melihatnya. Dan Nindy tidak mau hal itu terjadi.
"Iya, gak apa- apa, Nin. Lo udah berjuang keras." Nindy melebarkan senyumnya. Gadis itu juga menarik napasnya panjang untuk membuatnya lega.
"Semangat terus, Nin! Setelah ini pasti bakal ada kebahagiaan yang menanti lo di depan sana. Pelangi selalu datang setelah badai paling buruk."
Nindy mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Lagipula hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Menyemangati diri sendiri.
Gadis itu kini melangkah memasuki rumahnya. Dan tepat sesuai dugaannya, adiknya dan Mamanya itu tengah menantinya. Nandiro dan Ratih semenjak tadi sudah menunggu Nindy di ruang tamu rumah mereka.
"Nindy pulang!"
"Nin!"
"Kak!"
Begitu Nindy menginjak kakinya di ruang tamu itu, kedua ibu dan anak itu langsung beranjak untuk menghampiri. Nandiro dan Mamanya itu memberondong Nindy dengan berbagai pertanyaan. Membuat Nindy terkejut bukan main.
"Gimana, Kak?" Nandiro bertanya tak sabaran.
"Iya, Sayang. Gimana?" Mama Nindy dan Nandiro itu juga melakukan hal yang sama.
Keduanya tampak tersenyum lebar dengan sorot mata yang penasaran pada Nindy. Sangat sesuai dengan yang Nindy bayangkan tadi. Dan hal itu membuat gadis itu tanpa sadar terkekeh akan tingkah keduanya itu.
"Ish, ditanyain juga." Nandiro menggerutu. Cowok itu menatap Nindy dengan sebal. "Gimana? Lo diterima 'kan?" tanyanya lagi.
Nindy meredakan kekehannya. Dengan cepat ia membuat wajah serius sekarang. Lalu selanjutnya gadis itu membuka suaranya.
"Nindy diterima. Besok udah bisa langsung kerja," ucapnya dengan santai.
Tepat setelah mendengar kabar dari Nindy itu, Nandiro dan Mama mereka sontak mendelik kaget. Mereka berangsur memeluk Nindy dengan cepat sembari memekik girang.
"Akhirnya!"
"Yes!"
Nindy terkekeh dalam pelukan keduanya itu. Lalu ikut membalas pelukan itu dengan cepat. Rasanya seluruh rasa sedih, kesal, dan marahnya seharian ini luruh seketika. Tergantikan dengan rasa bahagia yang membuncah. Semuanya hanya karena senyum bahagia kedua orang yang sangat ia sayangi itu.
Nindy melerai pelukan itu. Lalu dengan cepat menatap kedua orang di depannya itu. "Tapi Nindy cuma jadi Kasir di kafe itu."
Nandiro dan Ratih bersitatap. Tanpa menanyakan pertanyaan lain tentang posisi yang semula dilamar Nindy itu. Mereka hanya diam dan tetap menatap Nindy dengan senyum lebar.
"Gak apa- apa." Nandiro tersenyum.
Disusul oleh Ratih yang ikut mengulas senyum. Ia merangkul anak gadisnya itu sembari berkata, "Gak apa- apa, Sayang. Yang penting kamu bisa kerja."
Kemudian Nindy tahu pada akhirnya apapun yang terjadi padanya, seluruh keluarganya itu akan selalu ada di sisinya. Nindy sangat bersyukur akan hal itu.
°°°°°
Satu bulan kemudian ....
Denting lonceng pada pintu yang dibuka terdengar di penjuru kafe itu. Kafe yang bernama Seroja Kafe itu mulai ramai dipenuhi oleh pengunjung yang hendak makan atau hanya sekadar meminum kopi dan bersantai. Nindy tersenyum melihat ramainya kafe tempatnya bekerja itu sekarang.
Kafe yang biasanya memang sudah ramai, namun kini makin ramai. Mungkin karena hari ini adalah hari libur, sehingga membuat orang- orang ingin menghabiskan waktu di luar rumah, sekadar menjernihkan pikiran untuk akhirnya harus bekerja lagi besok.
"Selamat datang di Seroja Kafe. Silakan untuk memesan."
Pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk ke sekian kali yang Nindy lontarkan di belakang mesin kasir. Ia tak hentinya mengumbar senyum lebar. Sampai mungkin wajahnya sudah kebas karena terus tersenyum sejak tadi.
Nindy masih tersenyum sembari memperhatikan pembeli yang tengah membaca papan menu di atasnya. Seorang pria yang tampak hampir memasuki usia kepala empat, dan berpakaian kantoran. Tampak berpakaian sangat rapi meskipun hari ini adalah hari libur. Nindy dengan sabar menunggu pembeli di depannya itu memikirkan menu apa yang hendak dipesannya.
"Saya pesan Americano, satu. Diminum di sini." Si Pembeli akhirnya memutuskan menu. Lalu dengan cepat ia mengeluarkan kartu debit dari dalam dompet kulitnya itu dan disodorkannya pada Nindy.
Dengan segera Nindy menerima kartu itu dan segera diprosesnya untuk proses p********n. Setelah selesai, gadis itu segera mengembalikan kartu debit itu pada si Pembeli.
"Terima kasih."
Selanjutnya, Nindy segera menyerahkan daftar pesanan itu pada rekannya yang bertugas membuat kopi itu. Kopinya dengan cepat dibuat dengan racikan yang pas seperti biasanya. Lalu tanpa menunggu lama, kopi itu telah siap untuk dihidangkan. Kopi yang masih memiliki asap yang mengepul itu segera diantarkan oleh rekan Nindy lainnya kepada si Pembeli tadi.
Begitu seterusnya pekerjaan Nindy itu selama satu bulan ini. Meskipun seharian mungkin ia harus tersenyum, namun Nindy menyukai hal itu. Meskipun ia harus menghitung ulang uang di mesin Kasir itu setelah kafe ditutup, dan ia sering telat untuk pulang, namun Nindy tidak masalah dengan hal itu. Ia menyukai pekerjaannya itu.
Iya, sejauh ini ... hal itu yang Nindy rasakan. Ia hanya bisa berharap bahwa seterusnya ia tetap akan merasakan hal itu.
°°°°°
Hampir dua bulan Nindy bekerja di Kafe itu sebagai seorang kasir namun ia merasa gaji yang diperolehnya masih sangat kurang. Gadis itu setiap hari harus menerima pertanyaan dari Nandiro tentang biaya pendaftaran kuliah yang harus secepatnya dibayar itu. Namun tiap hari pula Nindy merasakan bahwa Nandiro menerornya.
Mungkin adiknya itu pada awalnya tak masalah akan gaji Nindy yang tak seberapa itu, dan malah mendukung Nindy dengan menyemangatinya. Namun makin lama Nandiro mulai terlihat tak sabar. Cowok itu bahkan terus mengirimi Nindy pesan tentang biaya kuliah itu. Hingga membuat Nindy bosan dan kesal.
Seperti siang ini. Suasana Kafe siang ini sangat panas. Mungkin karena saat ini jam menunjuk pukul satu siang, atau karena kafe yang benar- benar ramai, sehingga membuat AC tak cukup untuk membuat hawa dingin bagi Nindy. Atau mungkin ... juga karena suasana hati gadis itu sedang tak baik saat ini. Gadis itu semenjak tadi sangat kentara memaksakan senyumnya di balik mesin kasir itu.
"Silakan dipesan."
Nindy masih mencoba tersenyum.
Pesan yang dikirimkan oleh Nandiro tadi masih membuat suasana hatinya mendadak buruk. Mood- nya hilang. Namun ia tetap harus tersenyum melayani pembeli. Hingga akhirnya pembeli itu menyelesaikan transaksi mereka dan menunggu di meja masing- masing. Menyisakan Nindy yang badmood di belakang mesin kasirnya itu.
Ponsel di sakunya kini berdering. Dan Nindy sudah tahu siapa pelakunya. Dari Nandiro. Gadis itu sengaja mengabaikan panggilan dari adiknya itu. Ia ingin menjernihkan pikirannya itu terlebih dahulu, daripada nantinya ia akan meledak.
Namun sayangnya getaran di saku apronnya itu kian kencang terasa, bahkan jauh lebih lama. Tampaknya Nandiro keras kepala menghubungi Nindy. Dan pada akhirnya Nindy tak punya pilihan lain selain mengangkat panggilan itu.
"Tis, gue boleh titip mesin kasir sebentar, gak?"
°°°°°