"Dia Nindy." Alex menjawab tanpa melihat dua orang lain dalam ruangannya itu. Ia masih terfokus pada ponselnya.
Karena sebenarnya ia pun malas menerima tamu saat ini. Sekalipun tamu itu adalah Isabela. Bahkan biasanya Alex akan mencari alasan untuk menghindari Isabela yang selalu menempel padanya itu.
"Oh, Nindy ..." Isabela menganggukkan kepalanya memandang Nindy dari atas sampai bawah. Sedangkan Nindy hanya menampilkan senyum terbaiknya saja.
Sesudahnya, wanita itu tersadar bahwa rasa penasarannya belum terjawab sepenuhnya. Ia segera melanjutkan kalimat tanya lain untuk Nindy.
"Iya ... Nindy itu siapa?" tanya Isabela lagi. Ia kini mulai memasang raut waspada. Takut- takut kalau terkaannya benar. Bahwa gadis ini adalah-
"Sekretaris saya yang baru." Alex kembali menjawabnya dengan nada malas. Ia bahkan pura- pura menguap saat menatap layar ponselnya.
Mendengar jawaban dari Alex, Isabela tercengang. Dan seketika mendelik.
"Apa?! Sekretaris barumu, Lex?!" tanyanya dengan nada tinggi terkejut.
Nindy ikut terkejut mendengar seruan dari wanita bernama Isabela itu. Gadis itu mendekap nampan plastik di tangannya itu dengan erat. Mendadak ia bingung sekaligus takut. Tampaknya Isabela tak suka mengetahui fakta bahwa Nindy adalah Sekretaris Alex.
Berbeda dari Nindy, Alex justru masih duduk dengan santainya sembari terus mengotak- atik layar ponselnya. Entah apa yang dibaca. Pria itu sepertinya biasa saja mendengar seruan dari Isabela. Atau bahkan ... sudah terbiasa. Nindy menatap sebal pada Alex karena hanya diam itu.
"Iya."
Ucapan tiba- tiba itu adalah ucapan yang terlontar dari bibir Alex. Pria itu yang sedari tadi menunduk untuk menatap layar ponselnya, kini mulai mendongak. Ia sejenak menatap ke arah Nindy sebelum akhirnya memandang Isabela.
"Kenapa memangnya?" tanya Alex menantang. Kemudian pria itu menghela napasnya sambil melanjutkan kalimatnya. "Bahkan Papa kamu yang merekomendasikan Nindy sendiri."
Setelah menjelaskan itu, Alex kembali menatap layar ponselnya. Pria itu kembali terfokus pada pekerjaannya.
Nindy masih bingung di tempatnya. Bahkan saat Isabela menatapnya kembali, Nindy hanya dapat menyengir.
"Oh, ya? Papa yang rekomendasiin?" tanya Isabela menyelidik. Wanita itu menatap Nindy kini seolah sedang melakukan scanning. Menatapnya mulai dari ujung rambut hingga ujung heels- nya. Persis seperti yang dilakukan Alex waktu itu.
"Memangnya sebaik apa dia sampai Papa rekomendasiin dia?" Isabela kembali bertanya dengan suara pelan. Seolah bertanya dengan dirinya sendiri, namun sayangnya Nindy dan bahkan Alex dapat mendengarnya.
Nindy masih tersenyum ketika dipandang oleh Isabela dengan tatapan seperti itu. Gadis itu tak bisa berkutik.
"Kalau begitu lebih baik kamu tanyakan sendiri ke Papa kamu." Alex menanggapi pertanyaan dari Isabela tadi. Pria itu kini meletakkan ponselnya ke atas meja di depannya. Selanjutnya pria itu memandang Nindy yang masih berdiri dengan canggung di dekat meja.
Alex memandang Nindy dengan bingung. "Sudah, 'kan, Nindy?" tanya pria itu.
Nindy menoleh dan hanya tersenyum. "Sudah."
"Kalau sudah, kamu bisa kembali ke meja kamu sekarang." Alex mengedik dagunya. Seolah mengusir Nindy.
Nindy mengumpat dalam hati saat ini begitu Alex tengah mengusirnya. Namun gadis itu hanya bisa tersenyum lebar sekali lagi.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Setelah mengucap itu, gadis itu segera memundurkan dirinya kemudian melangkah menuju pintu ruangan Alex.
Namun saat Nindy baru saja hendak memegang gagang pintu, Alex memanggilnya. Membuat gerakan tangannya terhenti.
"Nindy."
Nindy masih menatap pintu di depannya sambil menggerutu pelan. "Apa lagi, sih?!" tanyanya dengan geram namun lirih itu. Nindy segera membalik badannya dan pura- pura tersenyum lagi.
"Ya, Pak? Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu dengan senyuman, meskipun dalam hati sudah mengumpat.
Alex tampak mengingat- ingat sejenak sembari mengangkat alis kanannya. "Oh itu, jangan lupa siapkan keperluan saya untuk rapat dengan Creative Departement nanti," ujar pria itu. Selanjutnya ia kembali menunduk dan menatap ponselnya, tak menunggu jawaban dari Nindy lagi.
"Baik, Pak." Nindy menatap Alex yang sudah menunduk itu. Sebelum benar- benar melangkah meninggalkan ruangan Alex itu, Nindy kembali tersenyum pada Isabela yang ternyata menatapnya itu.
°°°°°
"Jadi projek yang akan kami garap nantinya yaitu tentang iklan produk s**u. Kami pikir iklan dengan latar peternakan sudah biasa, jadi kami akan mencoba menggunakan iklan dengan ide lain."
Nindy menatap layar proyektor yang tengah menampilkan rancangan ide tentang iklan yang sedang dipresentasikan oleh Galih itu. Nindy bahkan baru tahu kalau Galih adalah Creative Director yang berada dalam Creative Departement. Meskipun usianya masih terbilang sangat muda, ia sudah mampu memimpin Creative Departement.
Galih tampil dengan percaya diri sebagai atasan dari tim Creative Departemen. Dilihat dari segi jabatan, pantas saja cowok itu mempunyai koneksi dengan para petinggi di perusahaan. Bahkan Nindy sempat mendengar rumor bahwa Galih itu cukup dekat dengan Alex, yang artinya kemungkinan cowok itu mengetahui sesuatu yang tak orang lain ketahui tentang CEO A&A Corporation itu.
"Dalam iklan s**u ini, kami akan membuat iklan di mana kami akan membuat orang- orang tersadar akan pentingnya meminum s**u setiap harinya. Kami akan menampilkan bahaya yang akan didapatkan oleh tubuh apabila tak mengonsumsi susu." Galih memencet tombol untuk menggeser slide presentasinya. Setelah itu memandang Alex yang merupakan pembuat keputusan itu.
"Jadi lewat iklan s**u ini tanpa sadar kita juga membuat orang- orang mengetahui kebaikan meminum s**u dan ingin cepat- cepat membeli susu."
Nindy tersenyum mengangguk- anggukkan kepalanya menatap Galih. Ia menyukai ide dari iklan yang Galih usulkan itu. Tak hanya Nindy saja, bahkan seluruh orang di ruangan meeting itu menyetujui perkataan Galih. Creative Departemen mendukung Galih sepenuhnya.
Tanpa sadar, Nindy mengagumi cowok itu diam- diam. Selain memiliki paras yang tampan, namun Galih juga memilki kecerdasan di atas rata- rata. Terlebih lagi ... Galih cukup dekat dengan Alex. Jadi, tak ada salahnya untuk Nindy mendekati cowok itu. Siapa tahu dari situ Nindy akan mengetahui semua hal tentang Alex.
Tepukan tangan tiba- tiba terdengar di ruang rapat itu. Semua orang serempak menatap sosok yang bertepuk tangan itu. Yang ternyata orang itu adalah Alex.
"Oke!" Alex berseru. Pria itu memandang Galih dengan tatapan bangganya. "Saya suka ide dari Creative Departemen," sambungnya.
Semua orang yang ada di ruangan itu tersenyum. Galih pun ikut tersenyum lebar. Cowok itu bahkan hampir tertawa. "Terima kasih, Pak," balasnya.
Alex hanya menarik sudut bibirnya sekilas, yang tak serupa dengan senyuman itu. Kemudian pria itu melanjutkan ucapannya. "Setelah ini saya tunggu berkas afirmasi untuk projek iklan ini. Kalian bisa berikan berkas untuk saya tandatangani pada Nindy, Sekretaris saya." Alex mengakhiri perkataannya sambil menunjuk Nindy.
Mendengar namanya disebut, Nindy tersentak. Setelahnya gadis itu tersenyum lebar sembari menatap satu per satu orang dalam ruangan rapat itu.
Ketika pandangannya bertemu dengan Galih, Nindy langsung mengacungkan jempolnya pada cowok itu. Ia akui kalau Galih memang hebat hari ini.
"Sekian presentasi dari saya." Galih kembali duduk di kursinya. Cowok itu duduk tak jauh dari Nindy, kemudian ia tersenyum pada Nindy yang tengah menatapnya.
Mengapa kini mendadak Nindy berdebar ketika melihat senyum Galih?
Ini tak boleh terjadi!
°°°°°