"Itu bukannya suara Perly ya?" ucap seorang siswi saat mendengar teriakan seseorang.
Vanya yang ada di sampingnya menghentikan kegiatan sejenak untuk memastikan, "Mana? Gue nggak dengar apa-apa." Dan kembali fokus pada sayuran di tangannya. Mungkin temannya ini hanya salah mengira, pikirnya
"Beneran. Gue denger dia teriak. Kayaknya dari arah pantai deh," ucap siswi itu lagi, masih teguh pada apa yang di dengannya.
Lagi, untuk ke dua kalinya Vanya melakukan hal yang sama, kali ini cukup lama, meski pada akhirnya hasilnya nihil, "Lo salah dengar kali," ucapnya.
"Iya kali ya," gumam siswi itu menggaruk kepala belakangnya. Tapi dia sungguh yakin kalau itu suara Perly. Hampir dua tahun se kelas dengan ketua OSIS itu membuatnya pasti hapal suara Perly.
"Van!" teriak Teta dari arah tenda OSIS. Teta berlari ke arah Vanya diikuti oleh Agnes di belakangnya yang masih terlihat sangat mengantuk. "Lo liat Perly gak? Tadi gue cari di tenda, dia gak ada," ucap Teta sambil menuangkan air ke dalam gelas.
Vanya cukup lama menatap Teta, hanya untuk memastikan pertanyaan itu benar-benar berbunyi demikian, "Dia gak ada di sini. Tadi 'kan dia sama lo." ucapan Vanya membuat Teta yang ingin minum terhenti dan beralih menatapnya
"Tadi sih sama gue, tapi dia bilang mau jalan-jalan deket pantai. Gue kira udah balik." jelas Teta.
Ucapan Teta membuat Vanya beralih menatap siswi yang tadi sempat mendengar teriakan Perly.
"Tuh 'kan, gue bilang juga apa. Mendingan lo susul ke pantai deh. Biar gue sama yang lain urusin ini," ucap siswi itu.
Vanya mengangguk dan segera berlari ke arah pantai tanpa berucap apa-apa pada Teta dan Agnes. "E eh. Van! Vanya! Lo mau ke mana?!" teriakan Teta diabaikan oleh Vanya.
"Ayo Nes. Kita ikutin dia." Teta dengan cepat menarik tangan Agnes membuat Agnes terkejut namun tetap ikut berlari bersama Teta.
"Er!"
"Perly! Lo di mana?!"
"Perly!"
Vanya terus berteriak sambil menatap ke sekeliling pantai mencari keberadaan Perly.
"Van, lo kenapa sih? Lari-larian gitu," tanya Teta saat sudah sampai di hadapan Vanya.
"Ih Teta! Tangan gue 'kan sakit ditarik-tarik!" kesal Agnes mengusap pergelangan tangannya.
"Tadi Fika bilang, dia denger teriakan Perly dari arah sini. Lo bilang, Perly nggak ada 'kan? Makanya gue langsung ke sini." jelas Vanya dengan nada khawatir.
Mendengar itu, Teta dan Agnes pun ikut khawatir. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu? Tak ingin membuang banyak waktu lagi, mereka bertiga langsung berpencar mencari keberadaan Perly.
Sedangkan jauh di kedalaman laut sana, jauh di dasar laut, di mana di sebuah tempat yang jauh dari jangkauan para manusia. Sebuah tempat yang menjadi tempat, bahkan dunianya bagi para mermaid.
Dan di sinilah Perly berada, tergeletak di atas sebuah batu dalam keadaan tidak sadarkan diri.
•
"Apakah benar dia wanita yang tertulis di dalam buku itu?" tanya seorang mermaid pada mermaid lain yang ada di sampingnya.
"Benar. Dialah orangnya. Lihatlah di punggung jari masing-masing tangannya. 7 lambang dari queen dan king kita terukir di sana," jawab mermaid itu yang tampak lebih tua dari mermaid sebelumnya.
"Apa itu artinya, jiwa queen dan king kita ada di dalam tubuh wanita ini?"
Yang lebih tua mengangguk membenarkan, "Ya begitulah. Dan hanya dialah yang bisa mengembalikannya ke dalam tubuh para queen dan king," jawabnya lagi.
Gadis itu menggumam mengerti, tapi kemudian keningnya berkerut, "Tapi Ayah, kenapa lambang dari Queen Arrabella tidak ada di sana?" tanyanya lagi.
"Karena--"
Belum sempat merampungkan ucapannya, kedua mermaid itu terkejut akibat pergerakan Perly. Perly mulai sadar dan mengerjapkan matanya pelan. Perly menatap ke sekeliling namun dia tidak melihat apa-apa kecuali, gelembung air, batu karang, dan tumbuhan laut lainnya. Tak lupa ikan-ikan kecil yang berenang di sekitarnya.
"Di mana ini?" batinnya.
"Kau sudah bangun?" Sebuah suara mengagetkannya. Memutar kepalanya, untuk kemudian matanya melotot, "Aaa ...!" Perly memekik kaget saat melihat kedua mermaid yang berada tak jauh darinya.
"Ka-kalian ... kalian mer-mer ... Aaa ...!" Perly kembali memekik saat mendapati tubuhnya juga sama dengan kedua mermaid itu.
Di sana, di mana seharusnya kakinya berada, kini telah di gantikan oleh ekor ikan yang tidak memiliki warna, lebih tepatnya bening.
"Kaki, kaki saya mana? I-ini kenapa ekor? Kenapa saya punya ekor? Dan, dan kalian. Kenapa kalian ada di sini? Siapa kalian berdua?" tanyanya menatap dua mermaid itu bergantian sambil meraba-raba ekor yang bersisik itu.
"Kau tenanglah dulu," Mermaid perempuan itu ingin mendekat pada Perly, namun Perly segera beringsut ke belakang.
"Hey, tenang saja jangan takut. Kami berdua tidak akan menyakiti mu. Percayalah, kami ada di pihak mu," ucap mermaid laki-laki membuat Perly sedikit lebih tenang.
Sesaat kemudian, gadis itu membungkukkan badan, "Perkenalkan. Aku Marta," ucap mermaid bernama Marta itu menundukkan kepalanya. Dia lanjut menunjuk laki-laki di sampingnya, "Dia adalah Ayah ku, Polo." Mermaid laki-laki itu pun menundukkan kepalanya pada Perly.
Perly agak ragu melakukannya, namun melihat sikap ramah dua mermaid di depannya ini, mau tak mau membuat Perly akhirnya ikut menundukkan sedikit kepalanya, "Saya Perly," ucapnya pelan.
Kedua mermaid itu tersenyum saat Perly sudah mulai tenang dan sudah tidak ketakutan lagi.
"Di mana saya sekarang?" tanya Perly lagi.
"Tentu saja di laut, tepatnya di dasar laut. Di rumah kami."
Mendengar kata laut, Perly membolakan matanya dan langsung menutup mulutnya menggunakan kedua tangan seperti sedang menahan nafas.
Kedua mermaid itu tertawa kecil melihat tingkah Perly, "Kau tidak perlu menahan nafas. Kau adalah seorang mermaid, dan kau bisa bernafas serta berbicara di dalam air. Apakah kau lupa, kau sudah berbicara bahkan berteriak tadi," ucap Marta masih tertawa pelan.
Perly langsung membuka mulutnya.
"Ah ya, benar." gumamnya canggung.
"Kenapa gue tiba-tiba b**o gini sih," batinnya malu.
•
"Jadi semua ini memang nyata? Bukan mimpiku?" tanya Perly menatap sekelilingnya.
Jika saja gadis di sampingnya ini sudah lama dia kenal, maka akan dengan senang hati Marta mengetuk kepalanya dengan kencang, tapi karena belum terlalu akrab, maka Marta akan bersabar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, "Menurutmu ada mimpi yang sepanjang ini?" Marta balik bertanya menatap Perly dari samping.
"Mungkin saja. Siapa yang tau," jawab Perly mengedikkan bahunya. Benar 'kan? Buk Mena pernah berkata padanya, orang yang sedang koma di rumah sakit, mereka akan merasakan mimpi yang panjang. Ini termasuk mimpi panjang bukan?
"Ya aku tak akan memaksamu untuk mempercayai ini. Karena semakin lama, kamu akan terbiasa dan mempercayainya dengan sendiri," ucap Marta lagi, tampak pasrah dengan apa yang Perly argumenkan.
Perly tak lagi menjawab dan menanggapi membuat Marta ikut menutup mulut. Cukup lama juga mereka terdiam, sampai Marta mengintruksi dengan pertanyaan, "Jadi kamu benar-benar tidak bisa berenang?" Perly menoleh, "Aku bisa berenang, tapi aku terbiasa berenang menggunakan kaki. Dan ini ..." Perly menatap ekornya.
Menepuk pelan keningnya, Marta sungguh lupa kalau Perly sebelum ini adalah seorang manusia. "Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu." Marta memberi penawaran membuat Perly menatapnya antusias, "Bisakah?"
"Ya. Tentu saja. Ayo pegang tanganku." Marta mengulurkan tangannya pada Perly.
Sebenarnya masih ada perasaan tidak mungkin dan tidak yakin dalam diri Perly akan semua ini. Mermaid, bernafas di dalam air, berbicara di dalam air, dan dirinya yang merupakan salah satu dari mermaid itu. Sangat tidak mungkin. Tapi semakin lama, semuanya terlihat semakin nyata dan mungkin saja ini memang nyata. Dia tak ingin memungkiri kalau ada sebagian kecil di dalam hatinya, seperti terikat dengan tempat ini.
Perly akhirnya menerima uluran tangan Marta. Untuk permulaan memang sulit baginya, apalagi dalam mengendalikan ekornya. Tapi melihat giat dan semangat Marta dalam mengajari, dia jadi ikut semangat dalam mempelajarinya. Hingga akhirnya dia bisa, bahkan dia bisa lebih cepat daripada berenang menggunakan kaki.
Ternyata mempunyai ekor tidak seburuk yang dia pikir. Ini sungguh seru daripada berseluncur di gulungan ombak.
"Yeay ...! Akhirnya aku bisa ...!" teriaknya sambil berenang ke sana ke mari.
Marta yang melihat itu ikut tersenyum senang.
Dengan cepat dirinya berenang ke arah Marta, bersiap menyombongkan apa yang berhasil dia pelajari saat ini, "Kau lihat? Kau melihatnya tadi 'kan? Aku bisa berenang dengan cepat, berputar-putar seperti ikan. Bahkan lebih cepat dari dirimu!" ucapnya antusias pada Marta, lengkap dengan bola mata melotot menampilkan binar di sana, apalagi dengan senyum lebar di wajahnya. Ah ternyata gadis ini memang tepat seperti yang dideskripsikan dalam buku takdir, sangat cantik, pikir Marta.
"Iya. Kamu sangat hebat. Kamu bisa belajar dengan cepat. Dan aku tidak perlu membuang energi banyak untuk mengajarimu lagi, itu bagus," jawab Marta santai yang entah mengapa membuat telinga Perly sedikt tidak bisa menerima salah satu kata dari ucapan Marta, "Hey! Apa kamu tidak sepenuh hati mengajariku?" tanya Perly bertolak pinggang.
"Lalu kamu pikir apa? Ayolah, kamu sama sekali tidak memberiku imbalan apa-apa," ucap Marta memeletkan lidahnya pada Perly. Perly sungguh geram, gaya mengejek Marta benar-benar menyulut rasa kesalnya, "Dasar kau ini!" Perly berenang dengan cepat mengejar Marta yang juga berenang dengan cepat untuk menghindarinya.
Cukup lama akhir kejar-kejaran itu terjadi, sampai akhirnya Perly menyerah duluan, "Hah hah hah ...." Perly berhenti berenang dan duduk di atas batu yang ada di sana.
"Sudah. Hah hah aku lelah ...," ucapnya sedikit terputus karena deru nafasnya yang tak beraturan.
"Kau payah. Baru sebentar sudah lelah," ucap Marta meremehkan. Otomatis, tatapan sinis terlayang untuk Marta, "Kalau aku sudah mahir nanti, akan kubuat kamu menyesal karena meremehkanku," ucap Perly membuat Marta tertawa.
Marta lalu pergi masuk ke dalam rumahnya dan kembali lagi dengan membawa tumbuhan laut di tangannya.
"Ini, makanlah," ucap Marta mengulurkan tumbuhan tersebut pada Perly. Kening gadis itu mengerut, kentara akan rasa bingung, "Apa ini?" tanya Perly.
"Kami menyebut ini tumbuhan energi. Jika kamu memakannya maka energimu akan kembali seperti semula., ucap Marta memberi penjelasan.
Perly mengambilnya dan menatap tumbuhan itu. Apakah benar ada tumbuhan seperti itu? "Makan saja. Itu tidak beracun." Intruksi dari Marta kembali terdengar. Maka perlahan, Perly memasukkan tumbuhan yang mirip dengan daun rambutan itu ke dalam mulutnya.
Perly memejamkan matanya saat mengunyah daun itu. Hingga sedetik kemudian, matanya terbuka tiba-tiba dengan lebar, itu kebiasaannya saat merasakan takjub, "Wah. Ini enak. Rasanya manis!" pekiknya senang.
Marta memang benar. Rasa lelahnya hilang dan tubuhnya kembali segar setelah menelannya.
"Apa di sini semuanya seperti ini? Maksudnya, mempunyai magic?" tanya Perly penasaran.
Marta mengernyit bingung dengan ucapan Perly. "Magic?" Beo Marta bertanya. Dia baru mendengar kata itu.
"Iya magic, semacam sihir." jelas Perly. Marta membulatkan mulut, menggumam Oo panjang, dan mengangguk pelan, "Sihir. Ya, semuanya memang seperti itu. Tapi bukan sihir, melainkan memang kekuatan dari elemen para mermaid," jelas Marta membuat Perly tidak mengerti.
Apa lagi ini? Elemen? Maksudnya kelompok? Perly pikir semua mermaid itu sama, tapi ternyata ada elemennya juga. "Aku tidak mengerti," ucapnya terus terang.
"Kamu pasti tidak akan percaya. Tapi semua ini memang ada dan nyata." Marta menoleh dan memutar duduknya menghadap penuh pada Perly, "Biar aku ceritakan."
Perly hanya diam dan mendengarkan dengan baik apa yang akan Marta ceritakan. Sepertinya cerita yang begitumenarik sampai Marta bersemangat saat akan mengatakannya.
"Kami para mermaid yang ada di lautan ini terbagi menjadi delapan elemen. Sebenarnya bukan elemen, kami menyebutnya sebagai para pengendali. Ada Pengendali Froz, Earth, Lightning, Snow, Plants, Storm, Fire. Dan pengendali tertinggi adalah Pengendali Pearl. Semua pengendali memiliki kekuatan dan ciri khasnya masing-masing. Kami menyebutnya sebagai identitas." Menjeda sejenak, agar Perly tak terlalu susah menyimpulkan inti pembicaraannya jika dia terus berbicara, "Aku adalah Pengendali Earth, karena itulah ekor, sisik, bola mata, dan rambutku berwarna coklat," ucap Marta meraba satu persatu bagian yang tubuhnya yang di sebut.
Perly baru menyadari hal itu. Dia mengalihkan pandangannya pada ekor dan rambutnya, lalu menatap Marta.
"Tapi kenapa aku tidak mempunyai warna? Apa karena aku masih baru? Atau aku memang tidak memiliki kekuatan?" tanya Perly penasaran.
"Kamu punya kekuatan." Tiba-tiba ada suara dari arah belakang membuat mereka berbalik badan.
"Ayah," ucap Marta tersenyum.
"Kekuatanmu sangat besar, bahkan kekuatanmu itu bisa melebihi kekuatan yang di miliki oleh ibumu," ucap Polo
membuat Perly mengernyit bingung.
Berbicara tentang ibu, dia jadi teringat pada wanita yang tadi di pantai yang mengaku sebagai ibunya, yang merubahnya menjadi seperti ini.
"Tolong jelaskan. Aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapan kalian. Ibu? Siapa yang kalian maksud dengan ibu?" tanya Perly beruntun penuh rasa ingin tahu.
"Bukankah kamu sudah bertemu dengannya? Bahkan kamu sudah bertahun-tahun bersama dengannya," ucap Polo lagi membuat Perly semakin tidak mengerti.
Siapa ibu yang mereka maksud? Apakah ibu yang berada di rumah dengannya? Ataukah wanita yang mengaku sebagai ibunya tadi?
"Aku hanya punya satu ibu, dia bukanlah seorang mermaid. Tapi ada wanita yang mengaku sebagai ibuku, dan dia memang seorang mermaid. Tapi, aku baru bertemu dengannya kemarin dan tadi di pantai," jelas Perly.
Polo dan Marta tidak menjawab apa-apa, Polo malah memberikan sebuah buku pada Perly.
Yang ada di pikiran Perly adalah, ternyata ada buku yang anti air, bahkan tulisannya tidak luntur sama sekali.
"Buku itu adalah buku takdir yang ditulis oleh penguasa terdahulu kami. Bacalah halaman terakhir dari buku itu, kamu bisa mencari jawabanmu di sana." ucap Polo lagi.
Perly menurut dan membuka halaman terakhir dari buku itu.
Tulisan di buku itu tidaklah ditulis dalam tulisan biasa dan bahasa yang biasa dipakai oleh Perly sehari-hari. Namun entah mengapa Perly bisa mengerti apa yang tertulis di sana.
"Takdir penyelamat dua dunia"
Itulah satu-satunya tulisan yang paling besar dari yang lainnya. Mungkin itu adalah judulnya, pikir Perly dalam hati.
Perly mulai membaca, dari yang awal keningnya berkerut, sampai dengan bola matanya yang melotot saat membaca tulisan yang ada di sana.