Number 6

2261 Kata
"Perly ...!" "Lo di mana Er ...!" "Perly lo di mana ...!" Teriakan-teriakan itu masih menggema di sepanjang pesisir pantai. Sudah sejak satu jam yang lalu mereka semua berpencar mencari keberadaan Perly, namun Perly belum juga menampakkan dirinya. Dan itu juga berefek pada pelaksanaan tour mereka hari ini. Mereka seharusnya sudah berjalan ke dalam hutan, dipimpin oleh Perly sendiri. Tapi dengan menghilangnya Perly, alhasil mereka tetap berada di sana mencari sang ketua OSIS. "Er ... lo di mana sih? Gue khawatir tau nggak sama lo." gumam Teta mengusap wajahnya frustasi. Agnes yang melihatnya semakin bertambah pula rasa khawatirnya, "Ta.. kalau Perly kenapa-kenapa gimana? Kita harus ngomong apa sama nyokapnya?" ucapnya membuat Teta menatapnya. Dibawanya Agnes masuk ke dalam pelukannya. Di balik tingkah konyolnya, Agnes adalah salah satu sahabat mereka yang memiliki sisi paling rapuh. "Lo jangan berpikiran negatif dulu. Berdoa aja semoga Perly gak kenapa-kenapa. Ayo kita cari lagi," ucap Teta menenangkan Agnes, menepuk-nepuk kecil punggung sempit sang sahabat. "Pak. Apa nggak sebaiknya kita minta bantuan sama tim kepolisian?" tanya Vanya pada salah satu polisi yang ikut bersama mereka. Pak polisi yang juga sibuk mencari keberadaan Perly, mau tak mau terhenti dan menatap Vanya, "Tidak bisa. Melakukan pencarian harus sesuai dengan prosedurnya. Kamu tau 'kan aturannya apa?" jawab polisi itu. "Tapi Pak, kalau terjadi apa-apa dengan teman saya gimana? Apa kita harus tunggu dia kenapa-kenapa dulu baru polisi bisa membantu?" tanya Vanya masih bersikeras sedangkan anggota OSIS yang ada di sana hanya bisa menenangkannya. Polisi itu menghembuskan nafasnya panjang, menatap lelah pada Vanya, "Di sini ada sekitar enam puluh orang yang mencarinya. Ada dua orang dari tim pramuka dan dua orang dari kepolisian termasuk saya. Apa itu belum cukup?" Mendengarnya, emosi Vanya makin tersulut, "Buktinya 64 orang termasuk Bapak itu tidak bisa menemukan sahabat saya! Bapak pikir ini di restaurant bintang lima yang tempatnya terbatas? Kita hanya mencari di sekitar pantai, masih ada hutan di dalam sana, kalau teman saya hilang di sana, bagaimana?! Ini sudah satu jam lebih dan sahabat saya belum ditemukan!" Amuk Vanya menunjuk-nunjuk polisi itu, "Jika 64 orang itu cukup menurut Bapak, harusnya sahabat saya sudah dari tadi ditemukan!" Lanjutnya mengusap wajahnya frustasi. Vanya dan polisi itu terus berdebat, mempertahankan argumennya masing-masing. Anggota OSIS yang lainnya masih berusaha untuk menenangkan Vanya. Mereka tau, Vanya adalah sahabat dekat Perly dan pastinya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Perly sekarang. Termasuk juga mereka yang sangat mengkhawatirkan Perly. "Jadi menurut kamu kalau kita meminta bantuan akan menjamin teman kamu ditemukan? Begitu?" tanya Polisi itu menatap Vanya. "Ya setidaknya semakin banyak yang mencari akan semakin baik dan mereka lebih berpengalaman dalam hal ini, Pak!" "Apa saya tidak berpengalaman menurut kamu?" "Apa pengalaman Bapak bisa menemukan sahabat saya?" Vanya menatap sengit pada Polisi itu. Polisi itu diam. Tidak tau lagi cara menghadapi orang seperti Vanya. Kenapa siswi di sini sangat suka berdebat dengan orang lain? Pikir polisi itu dalan hati. Dengan gerakan terpaksa, polisi itu mengangguk, "Oke. Satu jam lagi kalau teman kamu belum ditemukan, saya akan menuruti keinginan kamu," ucapnya. Vanya maju satu langkah, kembali melayangkan telunjuk tepat di depan wajah si polisi. Jangan tanya di mana rasa sopannya saat ini, prioritasnya saat ini adalah keselamatan Perly, "Kalau sahabat saya kenapa-kenapa, Bapak akan saya tuntut atas kelalaian dalam bekerja. Karena yang mengawasi kami di sini adalah Bapak, itu berarti Bapak yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi di sini," ucapnya penuh penekanan. Vanya kemudian pergi dari sana bersama anggota osis cewek lainnya. Dito yang melihat kepergian Vanya hanya bisa menghela nafas lelah, "Pak. Maafkan teman saya. Dia pasti sangat khawatir, makanya bersikap seperti itu," ujarnya. Pak polisi berbalik menatapnya dan mengangguk singkat, "Ya. Saya paham. Saya sudah sering menghadapi hal semacam ini," jawab polisi itu. • "Keturunan dari pengendali tertinggi yang akan merubah takdirnya. Dialah yang bertugas melindungi, menyelamatkan, menyatukan, mengembalikan, memusnahkan, mengalahkan, memulai, mengakhiri, dan memimpin." "Dunia manusia yang dia singgahi membuatnya menjadi lebih siap. Kekuatan yang di milikinya akan melebihi pengendali tertinggi. Kebijakan serta keadilan yang dia bawa akan membawa banyak kebahagiaan di mana-mana." "Dia terkuat, sekaligus menjadi yang terlemah. Dia yang nantinya menanggung semuanya. Dia menjadi pemenang dan dia jugalah yang pertama kali akan kalah. Dia yang menumbangkan dan dialah yang lebih dahulu tumbang. Akan ada saat di mana kebahagiaannya dibanjiri air mata penuh kesedihan." "Dialah gadis, sang penguasa di atas penguasa. Pengendali di atas pengendali. Pemimpin di atas pemimpin. Kesatria di atas kesatria. Sang pemimpin yang memiliki perisai emas dan perak." "Tangannya yang penuh dengan lambang dari semua pengendali. Itulah salah satu ciri dari sang penyelamat dua dunia." Tak ada lagi tulisan yang bisa Perly baca. Itulah tulisan terakhir dari buku itu. Masih dengan ekspresi terkejutnya, Perly perlahan melihat punggung jari tangannya. Tak hanya di sebelah tangannya, tapi di kedua belah tangannya. Terdapat tanda itu, tanda yang tertulis dalam buku itu. Perly menggeleng pelan. Tidak mungkin itu dia. Pasti ini hanya kebetulan, tak mungkin ini sungguhan. Penyelamat? Dua dunia? Yang benar saja. Sungguh konyol takdirnya ini. "Pa-pasti ada yang salah dengan buku ini. Ini tidak mungkin benar, 'kan?" tanya Perly menatap Polo dan Marta bergantian. "Tanda yang ada di tanganmu membuktikan kalau gadis yang di maksud buku itu benar-benar kamu," jawab Polo dan Perly tetap menggelengkan kepalanya, menolak mentah-mentah kenyataan yang tampak Seperti ilusi baginya, "Tapi aku tidak tau-menau tentang dunia kalian. Bagaimana bisa aku menjadi penyelamat kalian," sangkal Perly. "Kau tau takdir? Takdir bukanlah hal yang direncanakan sebelumnya. Takdir serba tiba-tiba dan mendadak. Takdir tidak akan bertanya terlebih dahulu padamu, apa jalan yang ingin kamu lalui dan apakah kamu sudah siap atau belum." Polo tersenyum pada Perly. Sedangkan Perly masih antara percaya dan tidak percaya pada kenyataan ini, "Perly. Semua orang memiliki takdirnya masing-masing. Jika ini memang takdirmu, kenapa kamu harus ragu?" ucap Marta. "Aku meminta sebagai pengikutmu, sebagai rakyatmu, dan sebagai temanmu. Tolong bantu kami. Bantu dunia kami. Selamatkan para queen dan king kami. Termasuk ibumu. Selamatkan dan kembalikanlah mereka, karena hanya kamu yang mempunyai kuasa itu," pinta Marta bersungguh-sungguh pada Perly. Perly menatap Marta dalam. Perasaannya campur aduk. Dia bingung harus melakukan apa. Di satu sisi dia sangat ingin membantu, tapi di sisi lain dia memikirkan kehidupannya di dunianya sebelum ini. Bagaimana dengan orang tuanya? Sahabatnya? Sekolahnya? Dan semuanya yang ada di darat sana? "Apa itu sangat berarti bagimu?" tanya Perly pada Marta, Marta segera menggeleng, "Bukan. Tapi itulah yang utama bagiku. Aku dan Ayahku yang diutus di tempat ini selama bertahun-tahun menanti kedatanganmu. Untuk menunggu persiapanmu di dunia manusia." Marta menatap dalam pada mata Perly, "Katakanlah aku memaksamu dan bersikap egois, aku hanya ingin penantian duniamu terbayar dengan kamu bersedia menolong kami. Kalau kamu ingin tau, bukan waktu yang sebentar bagi kami menantimu, Perly," lirihnya. Lama Perly terdiam sebelum akhirnya dia tersenyum pada Marta dan Polo. "Bukankah tadi kamu meminta bayaran karena telah mengajariku berenang? Maka baiklah. Aku akan berusaha mengembalikan kedamaian duniamu. Aku akan berusaha untuk membebaskan semuanya." Jawaban Perly membuat Marta dan Polo tersenyum senang. "Aku tidak tau apa yang menjadi masalahnya. Aku tidak tau apa yang harus aku perbuat, tapi aku akan memenuhi kewajibanku sesuai dengan apa yang tertulis di dalam buku ini." Perly mengangkat buku takdir yang masih di genggamannya. "Kamu bersungguh-sungguh?" tanya Marta memastikan. Perly mengangguk mantap. "Kalian adalah keluarga pertamaku di dunia yang baru ini. Dan aku akan melakukan apapun untuk melindungi keluarga ku," jawab Perly. Iya, itu tekadnya, mencoba perlahan untuk menerima kenyataan yang ada, meski ini masih tampak abu-abu baginya. Marta sangat senang, sampai dia memeluk Perly erat dan mengucapkan terimakasih. "Entah bahaya dan tantangan seperti apa yang akan kuhadapi nantinya. Tapi akan aku lalui jika memang itu yang harus aku lakukan," batin Perly. • "Benarkah?" ucap seorang wanita dengan pakaian serba hitam serta memiliki mahkota dan sayap yang juga berwarna hitam. Jelas sekali kalau wanita itu tampak cemas dan takut saat mendengar apa yang di sampaikan salah satu pengikutnya. Meski masih menampilkan wajah pongah miliknya. Pemuda yang bertekuk lutut di hadapannya itu mengangguk dalam keadaan kepala menunduk, "Benar, Queen. Gadis itu sudah datang. Sekarang dia ada bersama pengendali Earth yang ditugaskan untuk menjaganya," ucap pemuda itu lagi. "Ternyata pendahulu itu benar-benar menulis bagian ini. Hah ... kenapa rasanya mengesalkan sekali. Bukankah ini akan semakin menghambat tujuanku," gumamnya memainkan gelas berwarna hitam di genggamannya. Sang queen berdiri dari duduknya, begitu anggun berjalan menuju pengawal kepercayaannya yang membawa berita tersebut, menarik dagu di pemuda hingga bertatapan dengan matanya yang kelam, "Bukankah lebih baik gadis itu mati saja?" Dia bertanya dan di jawab anggukan pelan oleh pemuda itu. "Benar, itu memang benar. Mari kita buat bahwa takdir itu tidak pernah ada. Buku takdir itu hanya bualan semata," ucapnya dengan senyum lebar mengerikan miliknya. Melepaskan dagu pengawalnya, lalu berbalik memunggungi, masih dengan senyumnya, "Tak peduli bagaimanapun caranya, secepatnya, gadis itu sudah harus ada di hadapanku," ucapnya memberi perintah. Cukup lama tak terdengar jawaban, sampai akhirnya pemuda itu memberanikan diri bersuara, "Tapi, Queen. Pengendali Dark tidak bisa berada di dalam air. Kita akan kehilangan sayap dan mati." jawab pemuda itu membuat senyum mengerikan itu luntur, digantikan oleh wajah datar yang tak kalah menyeramkan. "Arrgghh ...!" Pemuda itu terpental jauh terkena serangan dari Queen Ellona, Ratu Pengendali Dark. "Bukankah tadi aku sudah mengatakan todak peduli dengan cara apapun? Maka jangan pertanyakan itu padaku," desisnya tajam. Queen Ellona berbalik, kembali memberi senyuman, "Jangan terlalu suka membuatku menunggu, Tampan. Aku bukan orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, kau paham?" Bisiknya membuat pemuda itu bergetar hebat karena takut. "Ba-ba uhuk uhuk ba-ik, Queen," ucapnya sesekali terbatuk dan segera pergi dari sana. • Saat ini Perly sedang sibuk mempelajari kekuatan yang dimilikinya. Dengan bantuan Marta dan Polo, Perly sudah sedikit bisa menggunakan kekuatan dasarnya. Perly sendiri belum mengetahui elemen pengendali apa yang ada di dalam tubuhnya. Tapi dia hanya mengikuti mantra serta gerakan yang Marta ajarkan. Marta bilang, dirinya sudah memiliki kekuatan ini sejak lahir, jadi tidak akan sulit baginya untuk belajar. "Aku tidak tau kalau ternyata aku memiliki kekuatan seperti ini. Kalau tau dari dulu, aku pasti sudah terkenal," ucap Perly memainkan butiran-butiran pasir di tangannya. Marta langsung tertawa mendengarnya, "Hahaha, mengucapkan mantra saja kamu masih salah. Masih bermimpi untuk terkenal?" tanya Marta dengan tatapan mengejek. Menyudahi akhirnya, Perly menatap sinis pada gadis di sampingnya, "Ya ya. Terserah apa katamu," jawab Perly kesal membuat Marta semakin keras tertawa. Sepertinya menjahili Perly adalah salah satu kegiatan yang harus dia lakukan mulai saat ini, sungguh, Perly yang kesal adalah sebuah sensasi yang menyenangkan untuk dilihat. "Oh ya. Soal ibuku, kalian belum menjawab tentang siapa ibuku," ucap Perly teringat percakapan mereka tadi. "Ah, tentang itu ya." Marta tersenyum canggung pada Perly. "Iya. Aku perlu tau siapa ibuku di dunia mermaid ini. Kenapa dan bagaimana caranya aku bisa menjadi mermaid, lalu kenapa aku bisa berada di dunia manusia kalau aku memang salah satu dari bangsa ini?" Pertanyaan beruntun dari Perly. Marta menghela nafas panjang, "Sebenarnya aku tau, tapi aku tidak diperbolehkan untuk memberitahukannya padamu," jawab Marta membuat Perly bingung. "Kenapa? Kamu bilang, kamu adalah keluargaku bukan? Lalu apa salahnya? Aku tidak akan beritahu siapapun kalau kamu menceritakannya padaku," bujuk Perly. "Perly, kita memang keluarga. Sesama mermaid memanglah keluarga. Tapi kamu dan aku itu berbeda. Aku dan ayahku diutus hanya untuk menemanimu dan menjagamu. Tapi jika itu menyangkut urusan pribadimu, kami tidak bisa menjelaskannya," jelas Marta. Perly langsung memasang raut murung mendengar itu, "Lalu siapa yang akan menjelaskannya padaku? Apa aku akan tetap seperti ini? Tidak tau tentang indentitas ku?" tanya Perly. "Kamu akan tau. Tapi bukan dariku ataupun ayahku," ucap Marta tersenyum menatap Perly. Perly masih murung, dirinya benar-benar ingin tau, memangnya apa salahnya mengetahui banyak hal tentang kehidupannya sendiri? Marta langsung merangkul Perly, "Sudahlah jangan murung seperti itu. Aku belum mendengar ceritamu tentang dunia manusia. Ayo cerita, aku ingin tau duniamu seperti apa." ucap Marta semangat. Perly tersenyum lebar dan mulai menceritakan semua tentang dunianya. Sekolah, teman, sahabat, tempat favoritnya, organisasinya, dan Buk Mena, semuanya. Marta senang Perly tak lagi murung seperti tadi, ternyata tak sulit membuat Perly ceria lagi. • Sudah dua hari tepatnya, Perly berada di dasar laut menjadi seorang mermaid tanpa identitas yang jelas. Jika sedang sendiri, Perly sering terpikir pada mamanya, dia sangat merindukan wanita itu. Seperti sekarang ini. Meski dia sudah bertekad untuk menerima semua ini, tetap saja, hati kecilnya merasakan rindu yang amat besar. Bagaimana keadaan mama sekarang? Mama pasti juga sangat menghawatirkannya. Dan pasti berita dirinya yang hilang secara tiba-tiba sudah menyebar dan sampai ke telinga mama. Bagaimana reaksi keluarganya? Hah ... padahal dirinya sudah berjanji pada mama untuk tidak bertingkah aneh, dan sekarang, dirinya malah menghilang. "Hey ...!" Tiba-tiba Marta datang dari arah belakang, membuat Perly terkejut. Dengan raut kesal, Perly menoleh pada Marta, gadis itu sungguh senang menjahilinya, "Kamu membuat jantungku hampir lepas." Kesal Perly membuat Marta tertawa. "Sepertinya kamu sedang melamun. Kamu memikirkan apa? Masalah ibumu?" tanya Marta. Perly hanya mengangguk pelan. "Sudahlah. Aku 'kan sudah bilang, kamu pasti akan tau identitas mu." Perly menggeleng pelan menanggapi, "Bukan. Bukan itu. Maksudku aku sedang memikirkan ibuku yang ada di dunia manusia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya ketika aku dinyatakan hilang. Dia pasti sangat sedih," jelas Perly jujur. Marta terdiam, kemudian mengangguk tanda mengerti, "Tampaknya kamu sangat dekat dengan ibumu." "Ya begitulah." Perly mengedikkan bahunya acuh, kemudian melancarkan satu pertanyaan, "Tapi ngomong-ngomong. Aku tak melihat ibumu sejak pertama aku di sini. Dia ke mana?" tanya Perly mengalihkan percakapan. Mendengar itu, raut wajah Marta langsung berubah sedih. Dan Perly dapat melihat raut kesedihan di wajahnya. "Sepertinya ada yang salah dengan pertanyaanku. Lupakan--" "Aku juga terpisah dengan ibuku," ucap Marta cepat menatap lurus ke arah Perly, "Ibuku ada di dunia Fairy, sedangkan aku dan ayahku berada di sini," lanjutnya. "Fairy?" Perly menatap Marta dengan tatapan bingung. Apa lagi ini? Batinnya bertanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN