Bab 1 Sebuah Rencana

1570 Kata
Siang ini matahari bersinar sangat terik, udara yang berembus pelan tidak sanggup menghilangkan hawa panas yang terasa menyengat. Keringat sudah membasahi kaus lusuh Mika, tapi gadis muda itu sama sekali tidak peduli. Dia tetap saja berlari-lari di tengah-tengah lahan parkir yang luas, memberikan aba-aba pada kendaraan yang hendak pergi maupun yang baru datang. "Kiri ... kiri ... lurus ... lurus," teriaknya nyaring dan tegas, tubuh mungilnya bergerak lincah di belakang mobil, sementara tangannya memberikan aba-aba. Setelah mobil terparkir rapi, dia berlari ke tempat lain, membantu kendaraan yang bersiap pergi. Begitu seterusnya sampai menjelang sore. Hari Minggu selalu melelahkan, mobil-mobil yang datang bisa dua kali lipat lebih banyak daripada hari-hari biasa. Namun itu berarti pendapatan yang lumayan bagi Mika. Karena itulah dia tidak mengeluh meski badannya terasa remuk redam. Dengan uang yang ia dapatkan hari ini, simpanan yang sengaja ia sisihkan untuk orangtuanya di kampung akan cukup dan bisa segera dikirimkan. Sudah waktunya pulang. Mika keluar dari lingkungan lahan parkir setelah berpamitan pada ketua kelompoknya, dia melangkah ringan menuju warung tempat ia biasa makan selesai bekerja. Namun, belum sampai di tempat yang ia tuju, sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya, yang mau tidak mau membuat gadis itu ikut berhenti. Mika memperhatikan sepasang kaki bersepatu hak tinggi turun dari mobil tersebut. Mungkin mau menanyakan jalan, batin Mika ketika pemilik kaki yang indah itu sudah terlihat. Seorang wanita yang cantik, dari penampilannya pasti orang kaya. Bentuk wajahnya oval dibingkai rambut ikal sebahu yang ditata rapi. Kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. "Kau, sini," panggilnya menunjuk pada Mika. Dengan terheran-heran Mika menghampiri wanita tersebut. "Kau mau bekerja padaku?" tanya wanita bernama Freya itu semakin membuat Mika heran. "Bekerja pada Anda?" "Ya, aku mau membayar mahal." "Bekerja apa?" "Menikah dengan anak tiriku." Melihat Mika yang terbelalak, Freya langsung menyambung, "Hanya sementara, satu tahun, dua tahun ... kita bisa tentukan nanti, tapi yang pasti aku mau bayar mahal." Dia menekankan tujuh kata terakhir, mengulang informasi yang sudah disebutkan di awal. Mika menelan air ludahnya. "Semahal apa?" tanyanya serak. "Seratus juta? Dua ratus juta? Atau lima ratus juta tergantung berapa lama kau menjadi istri anak tiriku." Jantung Mika berdebar kencang. Dengan uang sebanyak itu dia bisa melakukan apa pun. Memberikan pengobatan terbaik untuk ayahnya, menyekolahkan kedua adiknya di sekolah bermutu, memberikan modal untuk warung gado-gado ibunya, mungkin dia juga bisa kuliah seperti impiannya dulu. Hanya membayangkannya saja sudah membuat gadis muda itu pusing. Pusing dalam artian yang menyenangkan. Tapi tunggu dulu, mana mungkin ada pekerjaan seperti itu di dunia nyata. Bagaimana kalau wanita ini hanya menjebaknya? Siapa tahu dia bagian dari sindikat penjual organ-organ tubuh manusia, mengiming-imingi akan memberikan pekerjaan dengan bayaran yang besar, tapi kemudian membunuh dan menjual organ-organ tubuhnya. Mika merinding ngeri, ditatapnya wanita yang berdiri di depannya dengan sorot mata curiga. Menyadari tatapan Mika, Freya menarik napas panjang. "Oke, pikirkan saja dulu. Hubungi aku kalau kau mau menerima tawaranku." Dia mengeluarkan kartu nama dari tasnya, kemudian sambil menyerahkan benda tipis itu pada Mika, dia menyambung ucapannya, "Kau juga bisa datang ke alamat yang tertera di kartu itu untuk meyakinkanmu aku bukan penjahat." Mika mengerjap. Dia menerima kartu nama pemberian Freya dan mengamati saja ketika wanita itu berbalik meninggalkannya. Selama beberapa saat dia masih berdiri terpaku di situ walau mobil yang tadi ada di dekatnya sudah meluncur pergi. Kemudian dengan pikiran yang dipenuhi berbagai pertanyaan, Mika kembali melangkah. Mengurungkan niatnya pergi ke warung dan memilih untuk langsung pulang ke kontrakannya. ****** Sejak kehadiran Freya sebagai ibu tiri di rumahnya, Kalvin jadi merasa serba salah. Di sisi lain dia harus menghormati wanita itu sebagai istri ayahnya, tapi di sisi lainnya, dia masih sangat mendamba Freya. Pria mana yang tidak tergila-gila dengannya, wanita itu tidak hanya berparas cantik tapi juga seksi. Bentuk tubuhnya idaman semua pria, dengan panggul dan d**a yang besar, tapi berpinggang ramping, Freya tampak seperti jelmaan Dewi Aphrodite. Begitu sensual, menggoda, dan menggetarkan hati. Kalvin mengisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya membentuk cincin yang mengepul ke atas. Pikirannya melanglang, mengenang masa-masa saat Freya masih menjadi miliknya. Lima bulan sejak pernikahan ayahnya dengan Freya, dia sama sekali belum bisa melupakan wanita itu. Bibir kenyalnya, sentuhan jemari lentiknya, senyumnya yang menggoda, semua itu masih kerap mengganggu Kalvin. Apalagi beberapa hari ini dia merasa Freya mulai mendekatinya lagi. "Kalvin." Baru saja dipikirkan, wanita itu sudah ada di depannya. "Mau apa kau ke sini?" tanya Kalvin ketus, membuang puntung rokok dan menginjaknya hingga apinya padam. "Apa aku tidak boleh mengunjungi taman milikku sendiri?" balas Freya tersenyum tipis. Berjalan gemulai mendekati mantan kekasihnya hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah. Freya mengenakan jubah tidur panjang dari sutra berwarna merah, lampu taman yang benderang membuat kulit wanita itu tampak berkilau sehingga dia terlihat seperti makhluk khayalan. "Oh, ya tentu saja ini taman ini milikmu," ujar Kalvin sinis. Senyum Freya semakin merekah, tangannya terulur menyentuh pipi Kalvin. "Kau makin terlihat tampan kalau sedang sinis begitu," rayunya dengan suara yang mendayu. Jantung Kalvin berdebar, hatinya bergejolak, perasaanya bertolak belakang antara menikmati sentuhan Freya dan rasa bersalah pada sang ayah. "Jangan macam-macam, Freya!" desisnya bergetar. "Kenapa?" Freya justru semakin mendekat. Pandangannya menantang. "Kalau Papa melihat kita berduaan seperti ini, dia akan menghabisiku." "Kau takut?" bisik Freya tersenyum lebar. Perlahan dia menurunkan tangannya dari pipi Kalvin, membuka tali pada pinggang yang mengikat jubah tidur hingga bagian depannya terbuka. Mempertontonkan tubuh molek di balik jubah yang tidak mengenakan apa-apa lagi. Kalvin memandangi Freya nanar, jakunnya turun naik menahan hasrat yang mendadak menyerang. Dia tidak bisa menolak ketika wanita itu meraih tangan dan menuntunnya pergi meninggalkan taman, menuju kamar Kalvin. ****** Kedua insan yang baru saja memadu kasih itu terbaring kelelahan setelah pergumulan terlarang yang mereka lakukan. Pandangan Kalvin menerawang menatap langit-langit kamar, sedangkan Freya berbaring di sampingnya dengan lekukan leher berada tepat di atas lengan pria itu. Napas mereka tidak teratur, peluh membasahi tubuh telanjang mereka. "Kenapa kau lakukan ini?" desah Kalvin, ada sedikit rasa sesal di dalam dadanya. "Aku merindukanmu, Kalvin. Lima bulan tanpa sentuhanmu membuatku hampir gila," bisik Freya. "Apa kau tidak merasakan hal yang sama?" sambungnya merajuk. "Tentu saja aku merasakan hal yang sama." Kalvin menoleh ke arah Freya. "Tidak ada satu detik pun yang terlewat tanpa aku memikirkan hari-hari yang telah kita lewati." Kedunya saling menatap dengan hati yang bergejolak. Memahami mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka pikirkan. Bibir mereka saling mendekat, memagut satu sama lain dengan perasaan yang mendalam selama beberapa saat. "Ayo kita pergi dari sini," bisik Kalvin serak saat ciuman mereka terlepas. "Tinggalkan ayahku, menikahlah denganku." Dengan gerakan halus, Freya menjauh dari Kalvin. "Itu bukan ide bagus," ujarnya pelan. "Kenapa? Karena kau sudah terlalu nyaman dengan harta yang diberikan ayahku?" Freya berdecak kesal meski dia tahu Kalvin benar. Alasan itu juga yang membuat Freya lebih memilih menikah dengan Baskara Dhananjaya ketimbang putranya. Kalvin memang pewaris tunggal harta kekayaan Dhananjaya, tapi tidak ada yang tahu itu bisa terjadi kapan. Karena walau usia Baskara sudah kepala enam, dia masih sehat dan bugar. Oleh sebab itulah begitu dia mendengar isu Baskara ingin mencari istri lagi setelah sepuluh tahun menduda, dia langsung mendekati dan merayu pria tua itu. "Ayolah, Kalvin. Jangan sentimentil. Semua orang tahu hidup itu mahal, selagi bisa mendapatkan dengan mudah, kenapa kita harus bersusah payah?" "Tentu," senyum Kalvin sinis. "Seharusnya aku tahu apa jawabanmu. Sekarang lebih baik kau kembali ke tempat tidur suamimu, Stepmom." Kalvin bangkit dari ranjang. Namun sebelum dia beranjak, Freya menahannya. "Dengar! Coba kaubayangkan kalau aku tidak menikah dengan ayahmu dan pria tua itu menikahi wanita lain. Lalu wanita itu berhasil memengaruhi ayahmu dan menyuruh ayahmu mengubah aset kekayaan kalian menjadi namanya. Bisa saja kau diusir dari sini dan jadi gelandangan." "Itu tidak berarti kau bisa meninggalkanku begitu saja. Dan jangan lupa, orang yang kausebut 'pria tua' itu ayah kandungku." "Jangan marah, Sayang. Dengarkan aku dulu, aku punya rencana agar kita bisa tetap bersama tanpa kehilangan harta ayahmu." Kalvin menatap Freya tajam. Menyadari arti tatapan pria itu, Freya langsung menggeleng. "Tidak ... tidak. Bukan seperti yang kaupikirkan, aku tidak mungkin melakukan perbuatan kriminal. "Lalu?" Alis Kalvin terangkat sebelah. "Kau harus menikah dengan wanita lain dan buat ayahmu percaya kau mencintai wanita itu, dengan begitu dia tidak akan curiga kalau kita berdua masih berhubungan." "Jangan gila! Aku tidak mungkin menikah dengan wanita lain, aku mencintaimu!" desis Kalvin marah. "Aku tahu, aku tahu. Aku juga mencintaimu. Tapi ini cara terbaik. Hanya untuk sementara, Sayang. Kita bisa cari wanita yang mau menikah kontrak denganmu." Kalvin termenung, ide Freya terdengar masuk akal. Ayahnya tentu saja tahu dia dan Freya pernah menjadi sepasang kekasih, dan itu bisa menimbulkan kecurigaan di hati pria tua itu. Jika dia menikah dengan wanita lain dan berhasil meyakinkan sang ayah kalau dia sudah melupakan Freya, ayahnya pasti tidak akan curiga. Dia bisa tetap berhubungan dengan Freya. Kalvin tahu, setelah malam ini, dia tidak akan bisa melepaskan wanita itu lagi. Dia akan selalu menginginkan wanita itu di ranjangnya, menghangatkan malam-malamnya seperti dulu saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. "Oke, tapi dengan satu syarat." "Apa itu, Sayang?" "Kau harus selalu siap jika aku membutuhkanmu," bisik Kalvin sensual smbil menggulingkan tubuh wanita di sampingnya hingga dia berada di atasnya. Freya terkikik pelan. "Aku juga punya satu syarat," katanya. "Katakan." "Jangan pernah bercinta dengan wanita yang nanti kaunikahi." "TIdak akan," jawab Kalvin mantap. "Kaulah satu-satunya wanita yang bisa membuatku bergairah."  Saat mengucapkan kalimat itu, bibir Kalvin mendarat pada leher jenjang Freya, mencumbui setiap jengkalnya dengan penuh hasrat. Malam yang semakin larut kembali menjadi saksi pergumulan terlarang di antara kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN