Bab 13 Jejak Masa Lalu

1743 Kata
Kalvin memandangi Freya yang duduk di depannya, pria itu tampak ragu. Kedua tangannya terletak di atas meja dalam posisi saling menggenggam, pikirannya sibuk mencari cara memulai percakapan untuk memberi tahu Freya yang sebenarnya tanpa menyakiti perasaan wanita itu. Meski terdengar mustahil. Freya sudah menjadi kekasihnya selama lima tahun, wanita itu pasti tidak akan begitu saja menerima keputusannya. Akan tetapi Kalvin harus tetap mengatakan pada wanita itu kalau hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan lagi. Ketika terbangun pagi tadi, Kalvin melihat Mika sedang duduk bengong di atas ranjang, terlihat hancur. Dia langsung beringsut mendekat dan memeluk gadis itu. “Kau menyesal? Aku minta maaf,” bisiknya lembut. “Aku … aku bodoh sekali,” ucap Mika serak. “Tidak, kau sama sekali tidak bodoh.” “Ya, aku bodoh! Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku tenggelam dalam nafsu dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya,” bantah gadis itu, matanya berkaca-kaca. Namun dia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Mika bukan gadis cengeng, dia tidak ingin terlihat lemah dengan memperlihatkan tangisannya. Akan tetapi saat itu pikirannya benar-benar kacau. Apa yang terjadi semalam sama sekali tidak ia perhitungkan. Mika percaya dia akan bisa mengatasi godaan seperti ini, tapi ketika akhirnya godaan itu datang, dia justru jatuh tanpa perlawanan. Dan bagian terburuknya, dia ikut menikmati. Mika merasa tidak berharga, wanita baik-baik tidak akan menyerahkan dirinya pada pria segampang ini. “Apa yang kita lakukan semalam itu wajar,” bisik Kalvin membesarkan hati Mika. “Kita suami istri, kita menikah secara sah. Maaf aku tidak bisa mengendalikan diri, kau wanita yang sangat menarik.” “Sekarang kau berkata seperti itu? Ke mana laki-laki yang mengatakan dia tidak mungkin tertarik pada wanita berdada rata?” kata Mika sinis. Pipi Kalvin memerah. “Itu penyangkalan,” katanya. “Aku terlalu takut mengakuinya. Aku tidak percaya kau berhasil memengaruhiku, tapi kenyataannya aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak pertama kali kita bertemu. Sekarang aku tidak takut lagi, aku tahu aku mencintaimu, Mika.” Mika terpana, tidak menyangka akan mendengar pernyataan cinta dari pria ini. Dia menggeleng. “Tidak,” katanya, “kau mencintai Freya. Kalian bersama selama lima tahun dan masih bersama bahkan ketika dia sudah menikah dengan ayahmu. Mana mungkin hanya dalam beberapa hari cintamu padanya menghilang begitu saja.” Sorot mata Kalvin tampak tak berdaya. “Aku tidak bisa berkata apa-apa sekarang, hanya saja aku ingin kau percaya padaku. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, akan kubuktikan itu.” Dan di sinilah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan Freya yang sedang menatapnya dalam. Berusaha menyusun kalimat untuk bisa memutuskan wanita itu. Freya bukannya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Kalvin. Dia bisa membacanya dengan jelas. Pria itu ingin berpisah darinya. “Ada yang mau kubicarakan denganmu, Fre,” ucap Kalvin memulai. “Jangan. Tidak usah kau katakan.” Freya menggeleng. “Tidak. Aku harus mengatakannya, keputusanku sudah bulat. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini.” “Kenapa?” “Kau masih bertanya kenapa? Kau istri ayahku.” “Sungguh itukah alsannya? Karena beberapa hari yang lalu kau juga tahu aku istri ayahmu, tapi kau tidak menolak ketika kuajak bercinta,” desis Freya mencondongkan tubuhnya ke arah Kalvin. “Saat itu aku bingung.” “Oh, ya? Bukan karena saat itu kau belum mengenal gadis jalang itu?!” “Namanya Mika, dan dia bukan gadis jalang,” geram Kalvin dingin. Freya tersenyum sinis, dia menyandarkan lagi punggungnya ke sandaran kursi. “Sudah kuduga, kau berubah karena dia.” “Aku mencintainya.” “Bullshit!” teriak Freya menggebrak meja, mengagetkan sebagian besar pengunjung kafe. “Kau mencintaiku. Kau jatuh cinta padaku. Kau menginginkan semua yang ada padaku. Kau rela mengkhianati ayahmu demi bisa bercinta denganku!” Tamparan Kalvin mendarat di pipi Freya. Pria itu sudah berdiri dengan tangan yang terkepal di samping tubuhnya, wajahnya merah padam, rahangnya mengetat, pandangan matanya tajam menghunjam wanita didepannya. “K-kau. Kau wanita paling menjijikkan yang pernah kukenal!” desisnya gemetar karena marah. Freya menanggapinya dengan dingin. Dia berdiri, balas menatap Kalvin tajam dan berkata, “Kau akan menyesali ini, Kalvin. Camkan baik-baik, kau akan menyesalinya!” Lalu wanita itu pergi meninggalkan Kalvin, mengabaikan pandangan orang-orang yang tertuju ke arahnya. ****** Setelah pertemuannya dengan Kalvin di kafe, Freya tidak pernah keluar kamar. Pekerjaannya hanya melamun dan memarahi pelayan yang kebetulan mendatangi kamarnya, entah itu untuk mengantar makanan atau membersihkan kamar. Sementara itu Kalvin tidak merasa sungkan lagi menunjukkan perhatiannya pada Mika. Dia bahkan berani bersikap mesra di hadapan ayahnya dan para pekerja di rumah itu, meski Mika masih menanggapinya biasa saja. Hal tersebut tidak luput dari perhatian Baskara. Sore itu ketika dia duduk di kursi tuanya yang di tepi danau ditemani Luc yang berdiri di belakangnya, dia membicarakan hal tersebut. “Kau melihatnya, Luc? Sepertinya Kalvin mulai jatuh cinta pada Mika.” “Ya, Pak. Saya melihatnya,” jawab Luc kecut. “Aku yakin Mika pun merasakan hal yang sama pada putraku. Walau dia berusaha menunjukkan sikap biasa pada Kalvin, dia tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya setiap kali pandangan mereka bertemu,” sambungnya. Lagi-lagi Luc hanya tersenyum kecut, dia pun menyadari hal tersebut. Baskara tidak melihat kekecewaan di mata Luc karena pria tua itu duduk menghadap danau. “Aku berpikir untuk membatalkan rencanaku, sepertinya itu tidak perlu lagi,” gumam Baskara. “Hanya saja aku tidak tahu harus berbuat apa pada Freya. Keinginanku agar Kalvin berpisah dengan wanita itu sudah terwujud.” “Pak Baskara yakin Kalvin sudah tidak berhubungan lagi dengan Bu Freya?” “Freya bersikap seperti wanita yang sedang patah hati, pekerjaannya hanya mengurung diri di kamar dan marah-marah tidak jelas. Apa itu tidak cukup membuktikan kalau Kalvin sudah meninggalkannya?” “Ya, saya juga berpikir seperti itu. Hanya saja, mereka sudah bersama selama lima tahun. Saya minta maaf sebelumnya, tapi ketika Anda menikahi Bu Freya, Kalvin bahkan tidak peduli, dia tetap menjalin hubungan dengan wanita itu.” Baskara memikirkan ucapan Luc. Dia mengisap pipa cerutunya dalam-dalam, dan mengepulkan asapnya membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang membubung. “Kau benar,” ucapnya lirih. “Kalau begitu aku akan tetap menjalankan rencanaku untuk menguji kesungguhan Kalvin,” sambungnya. “Setelah mengurus semua yang dibutuhkan Mika untuk kuliah, aku akan berangkat ke Jogja.” Luc mengangguk tanpa menyadari Baskara tidak bisa melihatnya. Pikirannya menerawang selama beberapa saat. Dia baru tersadar ketika mendengar Baskara memanggilnya dan mendapati pria tua itu sedang menoleh padanya. “Ada yang sedang kau pikirkan, Luc?” Luc berdeham. “Ya, Pak. Ada yang ingin  saya bicarakan dengan Anda, tapi mungkin lebih baik menunggu sampai urusan Anda selesai,” ujarnya. “Kau tahu kau bisa membicarakannya sekarang,” kata Baskara sungguh-sungguh. Luc tampak ragu, tapi akhirnya dia memutuskan. “Ini tentang saya, tentang masa lalu saya dan Anda.” Kening Baskara berkerut. “Apa maksudmu?” “Mungkin Anda tidak ingat, tapi saya pernah bertemu Anda dan almarhumah Bu Andini dua puluh tahun yang lalu. Saat itu saya baru sepuluh tahun.” “Benarkah?” Baskara menelengkan kepalanya, mencoba mengingat. “Mungkin nama ini akan mengingatkan Anda. Garry Rafael, Anda mengenalnya?” Kedua mata Baskara melebar tak percaya. Dia bangkit dari duduknya, tangannya mengacung-acung ke arah Luc sementara mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi rasa terkejut mengalahkannya. “Astaga…,” katanya ketika akhirnya bisa bersuara. “Garry … tentu saja aku ingat si tua k*****t itu!” ujarnya terbahak. Matanya memancarkan kegembiraan yang tak terbendung. “Kau anak Garry? Aku ingat anak kecil kurus yang bersamanya saat kami berkunjung, kau sudah sebesar ini sekarang. Astaga, aku sama sekali tidak menyadarinya! Siapa namamu? Alexander ya? aku ingat nama yang mirip-mirip itu.” “Zander. Luc Zander.” “Ya, itu. Luc Zander. Kau sudah besar sekali, Luc. Ayahmu pasti bangga sekali padamu.” Baskara memeluk Luc penuh rasa haru. Dua puluh tahun yang lalu dia memeluk ayah pemuda ini penuh rasa terima kasih. Baskara tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Waktu itu dia dan keluarganya sedang berlibur. Namun dalam perjalanan pulang, mobil yang dikendarai Baskara mengalami kecelakaan, menabrak pembatas jalan dan terjun ke sungai yang ada di bawahnya. Saat itu ada seorang pria yang sedang berada di atas perahunya. Tanpa berpikir panjang pria itu langsung menyelam dan menyelamatkan Baskara dan Andini yang tidak sadarkan diri. Dia juga mengeluarkan Kalvin yang terjebak di kursi belakang. Sejak saat itu Baskara dan Garry menjadi sahabat. Garry seorang duda dan hanya mempunyai satu putra. Dia bekerja sebagai penambang pasir di sungai dekat rumahnya. Setelah pertemuannya dengan Baskara, kehidupan pria itu berubah. Baskara membantu mengembangkan bisnisnya hingga dia memiliki beberapa perahu penambang pasir dengan mesin penyedot pasir yang modern. Garry mempekerjakan orang-orang sekitar dan memberikan bayaran yang memadai sehingga tidak terjadi kesenjangan ekonomi di daerahnya. Persahabatan antara Baskara dan Garry terjalin baik sampai sepuluh tahun kemudian Garry meninggal. Tidak lama setelah itu Andini pun meninggal, kesedihannya membuat pria itu senang menyendiri. Dia tidak pernah lagi mengunjungi kota tempat Garry tinggal. “Ayahmu orang hebat.” Baskara melepaskan pelukan. “Aku berhutang budi padanya,” sambungnya terharu. “Kami juga berhutang budi pada Anda, Pak. Anda membantu mengembangkan bisnis ayah saya,” senyum Luc. Baskara tertawa. “Aku tidak akan bisa membantu ayahmu kalau aku mati,” guraunya. “Tapi kenapa kau bisa jadi tukang kebun di sini, Luc?” tanya Baskara heran. Luc pun menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. “Astaga, si Karman itu, ceroboh sekali dia! Dia baru setahun bekerja di sini, berarti waktu kau datang, dia baru bekerja selama dua bulan. Kepala tukang kebun sebelumnya yang merekomendasikannya, dia mengundurkan diri karena sudah terlalu tua. Maklum, saat aku mempekerjakan dia dulu, umurnya saja sudah empat puluh tahun,” ujar Baskara melantur, dari menggerutui Karman dan berakhir dengan menceritakan kepala tukang kebun pertamanya. “Kita harus meluruskan ini, kau tamuku bukan tukang kebun,” kekehnya riang. “Sebenarnya, Pak. Saya ingin tetap menjadi tukang kebun di sini beberapa waktu lagi,” kata Luc pelan. “Kenapa?” “Saya curiga Bu Freya sedang merencanakan sesuatu, beberapa hari yang lalu saya sempat memergoki dia menelepon seseorang secara sembunyi-sembunyi. Jika saya tetap menjadi tukang kebun, saya akan bebas mencari tahu tentang rencananya.” “Freya merencanakan sesuatu?” gumam Baskara merenung. “Mungkin kau benar. Baiklah, kita rahasiakan dulu kebenaran ini,” katanya sepakat. “Sekarang kau pergilah dulu, aku harap tidak ada yang melihat kita di sini.” Luc mengangguk dan pergi. Sekitar sepuluh menit kemudian, Baskara menyusul pergi. Selama beberapa saat tempat itu menjadi hening, sampai sesuatu bergerak-gerak di balik semak-semak. Seseorang keluar dari sana, melihat ke arah kepergian Luc dan Baskara dengan pandangan merenung.  Bersambung.... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN