Shena tidak bisa berhenti mengagumkan sebuah rumah mewah dengan desain modern di hadapannya saat ini.
Setelah makan siang, Aaron mengajak Shena pergi untuk melihat rumah yang direkomendasikan oleh teman kantor Aaron. Dan disinilah mereka, di depan sebuah rumah mewah bernuansa putih dengan desain modern yang jaraknya pun tidak terlalu jauh dari kantor Aaron.
Aaron merengkuh pinggang Shena. Membuat Shena mendongak, menatap tidak percaya pada suaminya itu.
"Mas, ini beneran?" lirih Shena bertanya.
Aaron tersenyum hangat sambil mengangguk beberapa kali. "Iya, Sayang. Ini rumah yang direkomendasikan sama David, teman kantor Mas."
David yang ikut menemani tersenyum sopan sambil mengangguk pelan saat Shena menoleh ke arahnya.
"Lebih baik kita masuk dulu sekarang. Kalian bisa lihat-lihat seisi rumah, agar menjadi bahan pertimbangan," ucap David.
Aaron mengangguk. Mempersilahkan David untuk berjalan memimpin masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Aaron melangkah masuk sambil menggenggam tangan sang istri.
Sampai di dalam, Shena kembali dibuat terpukau. Rumah ini benar-benar mewah dan elegan. Tidak kalah indahnya dari rumah keluarga Ricardo. Tak heran jika banyak orang yang mengincar rumah ini.
David mengajak pasangan suami istri itu berkeliling untuk melihat seisi rumah. Memberi tahu ruangan-ruangan yang terdapat di dalam sana.
Setelah berkeliling, mereka duduk di bangku yang berada di teras.
"Jadi gimana keputusannya? Mau diambil atau nggak? Cuma ya, saran gue sih sayang banget kalo kalian gak jadi ambil rumah ini," ujar David.
Aaron menoleh menatap Shena yang duduk di sampingnya. "Gimana, Sayang? Kamu suka gak sama rumahnya?"
Shena tersenyum kaku sambil meringis pelan. "Bohong banget kalo Shena bilang gak suka sama rumahnya, Mas. Tapi, apa ini gak terlalu mewah dan besar ya, Mas?"
"Nggak dong, Sayang. Kamu tenang aja ya. Mas kan mau kita hidup di rumah yang benar-benar nyaman dan luas. Sekarang okay, kita hanya tinggal bertiga di sini bersama Amanda. Tapi untuk tahun-tahun berikutnya? Insya Allah, akan ramai oleh anak-anak kita, Sayang."
Shena terdiam sejenak. Apa yang dikatakan suaminya memang benar. Ah, Shena tidak pernah berpikir bisa berada di fase yang sekarang. Secara, ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga berkecukupan. Semua kemewahan yang ia rasakan setelah menikah dengan Aaron adalah sebuah kejutan besar baginya. Roda kehidupan memang akan terus berputar. Yang dibawah tidak akan selamanya ada di bawah, begitu juga sebaliknya.
Aaron mengusap puncak kepala Shena, membuat perempuan itu tersadar dari lamunannya.
Aaron tersenyum, mengangkat sebelah alisnya. "Jadi, gimana?"
"Udah, diambil aja. Sayang kalo yang dapetin rumah ini orang lain," sahut David.
Shena menghela napas panjang. Yang menjadi pertimbangan di sini bukan tentang suka atau tidak sukanya sama rumah ini, tapi yang Shena pikirkan adalah harganya. Pasti rumah semewah dan sebesar ini memiliki harga jual yang fantastis.
Melihat Shena yang kembali terdiam, membuat Aaron terkekeh pelan. Ia bisa menangkap apa yang menjadi pertimbangan sang istri.
Aaron menolehkan kepala pada David. "Sebentar, Bro. Gue mau ngomong empat mata dulu sama Bini gue," ucapnya.
David mengangguk paham. Mempersilahkannya Aaron mengajak Shena untuk bicara empat mata.
"Ikut Mas sebentar," bisik Aaron.
"Kemana?"
Aaron tersenyum mengangguk sambil mengulurkan tangannya. Shena pun meraih tangan Aaron dan ikut kemana Aaron pergi.
Langkah keduanya terhenti di tepi kolam renang. Dengan posisi saling berhadapan, Aaron menyentuh pundak sang istri.
"Sekarang jujur sama Mas, apa yang bikin kamu mikir lama soal rumah ini? Kamu gak suka sama desainnya, hm? Kalau emang gak suka, Mas akan minta David untuk menunjukkan rumah yang lain, gimana?" tanya Aaron, menatap dalam sang istri.
Shena tertunduk sebentar. Sebelum akhirnya, ia menghela napas panjang lalu mendongak menatap Aaron.
"Mas, sejujurnya Shena sangat-sangat suka dengan rumah ini. Ya, bisa dibilang ini adalah rumah yang paling-paling diidam-idamkan Shena dulu."
Aaron mengulas senyum. "Jadi?"
Shena mengigit bibir bawahnya. Tampak terlihat jelas kecemasan yang perempuan itu pancarkan.
"Mas, Shena gak bermaksud untuk su'udzon sama Mama. Tapi, Shena takut. Mas tahu sendiri kan, Mama pernah nyangka kalau Shena mau nikah sama Mas karena mandang harta. Jadi...." Shena menggantungkan ucapannya, menatap cemas pada Aaron.
Aaron tersenyum, mengangguk paham dengan arah pembicaraan Shena.
Aaron meraih kedua tangan Shena. Memberikan usapan lembut di pinggang tangan perempuan itu.
"Sayang, coba lihat mata Mas," pinta Aaron dan Shena pun menurut. "Mas minta sekarang, tepis rasa takut kamu itu. Ingat, kamu adalah istrinya Mas. Dan memang sudah seharusnya Mas sebagai suami menjamin kehidupan istrinya. Laki-laki manapun yang telah memiliki tanggung jawab besar atas perempuan yang dinikahinya, tentu mereka ingin menjamin kebahagiaan dan kenyamanan untuk keluarga barunya. Termasuk dengan Mas, Sayang."
"Dan soal Mama, kamu jangan pernah mengkhawatirkan itu lagi ya. Pintu hati Mama telah terbuka. Sikap Mama yang dulu sama kamu, karena Mama belum benar-benar mengenal siapa menantunya ini. Kamu juga harus ingat, Sayang. Sikap Mama yang berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dulu, itu karena ketulusan dan kesabaran kamu dalam menghadapi sikap Mama. Kamu telah membuktikan kalau kamu memang tulus mencintai Mas, tanpa memandang sedikitpun harta yang Mas miliki."
Satu tangan Aaron terulur, memberikan usapan lembut di kepala Shena. Lalu sebuah kecupan cukup lama Shena rasakan di atas keningnya.
"Percaya sama Mas, semuanya akan baik-baik saja. Dan yang kamu khawatir gak akan terjadi," bisik Aaron sambil menempelkan kening mereka.
Shena tersenyum lega. Ucapan suaminya telah membuat ia yakin dan percaya jika yang ia takutkan adalah kesalahan. Shena yakin, Zoya tidak akan kembali bersikap seperti dulu padanya.
Shena mengangguk yakin. "Iya, Mas. Aku percaya sama Mas."
Aaron turut mengulas senyum. "Jadi? Kita ambil rumah ini?"
Shena mengangguk antusias sambil tersenyum lebar. "Ya, kita ambil rumah ini."
•••••
Saat ini, Aaron dan Shena sedang dalam perjalanan pulang. Rumah itu telah resmi menjadi milik Aaron dan Shena, setelah melakukan p********n sesuai dan tanda tangan di atas materai. Surat-surat nya pun telah ada di tangan Aaron. Rencana perpindahannya pun akan dilakukan besok.
"Sayang," panggil Aaron begitu ia menghentikan laju mobilnya tepat saat lampu berwarna merah.
Shena menoleh, melempar tatapan tanya pada suaminya.
"Mas dengar-dengar dari Moza, katanya ada pasar malam di dekat sekolahannya Moza sama Amanda. Nanti kita ke sana ya?" ajak Aaron.
"Pasar malam?" ulang Shena.
Aaron mengangguk beberapa kali.
"Wah, mau banget, Mas. Udah lama Shena gak ke pasar malam. Nanti sekalian ajak Manda boleh gak, Mas? Shena ingat banget, terakhir kali Manda main ke pasar malam sebelum dia kehilangan penglihatan," ujar Shena.
"Boleh dong, Sayang. Nanti kita ajak Manda sama Moza sekalian ya."
Shena tersenyum sambil mengangguk.
Jika ingat pada masa-masa tersulit Amanda saat dinyatakan kehilangan penglihatan, Shena jadi sedih. Betapa merasa tidak berdayanya Shena, sebagai seorang kakak yang tidak bisa membantu mengembalikan penglihatan sang adik.
Sampai akhirnya, Tuhan mengirim Aaron ke dalam hidup Shena dan mengubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Terkait kepergian Yudha, itu telah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa. Dan Tuhan itu baik, jika tidak mungkin bisa saja Tuhan mengirim orang jahat yang tidak bertanggung jawab sebagai orang yang telah menabrak Yudha. Namun lihatlah, Tuhan mengirimkan sosok yang berhati tulus dan bertanggung jawab seperti Aaron.
Malamnya, setelah magrib Shena sudah siap untuk pergi ke pasar malam. Dengan balutan hoodie berwarna kuning dan celana jeans hitam panjang. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai bebas. Kemudian ia meraih tas selempang lantas berjalan keluar kamar. Aaron sendiri telah menunggunya di bawah.
"Wah, bagus ini, Bang. Mama bakalan sering-sering main ke sana ini sih," ujar Zoya diakhir kekehan pelan.
Aaron menunjukkan foto rumah barunya dan Shena kepada orang tuanya.
"Boleh dong, Ma. Pintu rumah kami akan selalu terbuka buat Mama," balas Aaron.
Shena melangkah menghampiri suaminya yang sedang duduk bergabung bersama orang tuanya.
"Mas," panggil Shena seraya duduk di sampingnya.
Aaron menoleh. "Udah siap? Berangkat sekarang kalau gitu."
"Mau pada kemana ini?" tanya Zoya.
"Ke pasar malam, Mas." Shena menjawab.
"Lho, memangnya ada pasar malam dimana?"
"Dekat sekolahnya Moza," jawab Thony menyahut.
Zoya mengerutkan kening menatap Thony. "Papa tahu? Kayak anak muda aja."
"Tahu dong, Ma. Tua-tua gini juga jiwa Papa masih tetap muda," kekeh Thony menjawab.
Aaron dan Shena ikut tertawa pelan.
"Ya udah, kalau gitu Aaron sama Shena berangkat sekarang ya. Oh iya, sekalian kita ajak Moza sama Manda juga," ujar Aaron seraya bangun dari posisi duduknya.
"Iya, hati-hati. Jangan pulang terlalu malam. Kasihan Shena yang sedang mengandung," pesan Zoya yang langsung diangguki Aaron.
"MOZA! MANDA! AYO BERANGKAT!" teriak Aaron, memanggil kedua adiknya.
"IYA, BANG!"
Detik berikutnya, Moza dan Amanda muncul bersama menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Derry sama Angela gak ada di rumah ya, Mas?" Shena bertanya, sambil melangkah keluar.
"Lagi ada di rumah Angela. Kata Mama mereka nginap di sana," jawab Aaron.
Shena mengangguk. Lalu masuk ke dalam mobil setelah Aaron membukakan pintu untuknya.
Selanjutnya Aaron mengendarai kendaraan beroda empat tersebut menunju tempat pasar malam di adakan. Mereka berangkat dalam satu mobil.
•••••
Tidak butuh waktu lama, mereka tiba di tempat tujuan. Seperti pasar malam biasanya yang sangat ramai didatangi orang-orang.
"Bang, Moza sama Manda mau ke sana ya," ucap Moza meminta izin.
Aaron mengangguk memberi izin.
"Mau langsung naik wahana?" tanya Aaron pada Shena.
Shena menggelengkan kepala pelan. "Nanti deh, Mas. Mau lihat-lihat dulu."
"Okay. Kalau gitu kita beli minum dulu ya."
Aaron meraih tangan Shena, mengajak perempuan itu untuk membeli minum terlebih dahulu. Sementara Moza dan Amanda sudah mulai menaiki wahana yang ada di sana.
Kedua mata Shena berbinar saat melihat wahana bianglala. Tangannya menarik-narik ujung jaket Aaron. "Mas! Mas!"
"Kenapa, Sayang?" heran Aaron.
"Langsung naik wahana aja deh. Shena kok pengen kita naik bianglala, terus pas ada di ketinggian kita ambil foto," ujar Shena dengan antusias.
"Serius?"
"Iya, Mas! Ayo!"
"Iya-iya, ayo."
Setelah mendapat tiketnya, kini mereka tinggal menunggu giliran. Shena bergelayut manja di lengan Aaron tanpa memudarkan senyum. Pandangannya mengedar melihat sekeliling.
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang memicing ke arah Shena. Seolah tengah memastikan jika dia tidak salah melihat orang.
"S-Shena? Dia Shena?"