"Wow, ini gedungnya?" Kirana mendongak menatap gedung kantor berlantai empat puluh yang dirancang sedemikian modern dengan seluruh bagian berlapis kaca tebal.
Seorang petugas keamanan yang sedari tadi mengamati tindak-tanduk wanita muda berpakaian kasual cenderung santai ini menghampiri dan bertanya, "Selamat pagi. Bisa dibantu, Mbak?"
"Oh, eh ... Saya mau ketemu Leonard Widjaya?" jawab Kirana spontan.
Petugas keamanan itu mengernyit, "Maksudnya Pak Leonard, Presiden Direktur?"
Kirana ternganga, kemudian seolah sadar dirinya tengah diamati cepat-cepat menutup kembali mulutnya. Wanita itu menarik nafas panjang dan menjawab, "Iya, Presiden Direktur."
"Untuk bertemu beliau Mbak harus membuat janji terlebih dahulu karena beliau sangat sibuk," kata si petugas keamanan.
"Oh, begitu ya? Coba saya telepon sebentar."
Tidak setiap hari si petugas keamanan bisa melihat wanita muda yang memakai kaos oblong dan jeans belel menelepon sang Presiden Direktur. Dia juga tidak tahu apakah wanita muda ini cuma berbohong atau tidak.
Kirana berdeham. Nada sambung berbunyi satu kali ... dua kali ... hingga enam kali dan terputus. Gelisah, dia mencoba lagi. Jangan sampai petugas keamanan ini mengira dirinya adalah seorang penipu!
"Aduh, kok nggak diangkat ... coba kirim pesan singkat deh," gumam Kirana.
"Mbak benaran punya nomor Pak Leonard?" tanya si petugas keamanan.
"Iya. Ini nomornya, 'kan?" Kirana menunjukkan sebuah nomor di handphonenya.
"Benar, itu nomor beliau. Saya bantu hubungi ya, Mbak." Petugas keamanan tersebut kemudian berjalan ke mejanya dan menelepon.
Kirana membuntuti dengan wajah ditekuk.
"Selamat pagi, Pak. Ada ...." Petugas keamanan itu menatap Kirana seolah meminta sesuatu.
"Oh, Kirana!" Untung yang ditatap cepat tanggap.
"Ada Mbak Kirana mencari Bapak. Benar? Baiklah, saya akan antar dia ke atas."
Mendengar percakapan singkat itu rasanya Kirana hendak melonjak kegirangan. Leonard tidak mengerjainya!
"Mari, Mbak. Saya antar ke ruangan Pak Leonard," ajak si petugas keamanan dengan intonasi lebih sopan.
Kirana mengangguk.
Berdua, mereka menaiki lift yang meluncur sampai ke lantai empat puluh. Pintu lift terbuka, aroma segar lemon menyambut indra penciuman Kirana. Sejenak terlena oleh kesejukan dan keharuman lantai tujuan mereka, Kirana berdiri diam di depan lift.
"Mbak?" Si petugas keamanan nyaris melambaikan tangan di depan wajah Kirana.
"Oh, ya ... sorry, saya emm ... cuma ingat sesuatu," kilah wanita itu.
Mereka pun melanjutkan perjalanan melewati lorong yang cukup lebar. Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan dengan meja besar di bagian tengah. Lelaki muda yang duduk di belakang meja sigap berdiri.
"Pak Martin, cari siapa?" tanya si lelaki muda yang tampaknya adalah seorang sekretaris.
"Pagi Pak Robert. Ini Mbak Kirana, ada janji dengan Pak Leonard."
Lelaki muda tadi mengernyit, "Kirana? Sepertinya aku tidak ... Tunggu sebentar."
Lagi-lagi Kirana harus bersabar menunggu si sekretaris bernama Robert itu menelepon entah siapa. Dengan tidak sabar dia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ketsnya di lantai marmer.
"Pak, ada Kirana mau bertemu? Oh, begitu. Baiklah, saya antar dia ke dalam."
Kirana tersenyum miring. Dalam hati dia mengeluh, bertemu Presiden Direktur seperti mau bertemu pemimpin negara saja sampai harus melewati beberapa lapis pengamanan.
Robert mengantar Kirana melewati pintu kaca menuju sebuah ruangan maha besar dengan nuansa modern yang didominasi warna putih dan abu-abu. Empat sisi ruangan dibatasi oleh kaca tebal, menciptakan penerangan alami. Satu-satunya hal yang tidak monokrom adalah seorang lelaki berstelan jas biru muda di belakang meja. Begitu mereka mendekat, lelaki yang sedang menandatangani dokumen itu mengangkat wajah. Matanya beradu pandang dengan Kirana.
Leonard membatin, aneh, wanita muda ini bahkan tidak berusaha untuk berpenampilan menarik, tapi kenapa tetap terlihat cantik?
"Silakan duduk," titah Leonard begitu sekretarisnya pergi.
Dengan canggung Kirana duduk di hadapan lelaki yang memancarkan aura dingin ini. Dia tidak ingin berbasa-basi. Bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Jantung Kirana berdebar kencang karena dirinya akan segera memutuskan sesuatu yang penting.
"Silakan dibaca dulu, setelah itu kamu bisa tanda tangan di atas meterai." Tanpa basa-basi Leonard meletakkan sebuah map tebal berwarna biru tua di atas meja.
"Oh, pakai meterai?" Kirana mengambil map itu dan segera membaca isinya.
"Tentu saja, jadi poin-poin yang tertera tidak akan bisa dilanggar begitu saja oleh kedua belah pihak yang menandatangani." Leonard tersenyum.
Diam-diam Kirana mengagumi senyuman itu.
Stop! Berhenti! Kenapa masih sempat-sempatnya mengagumi buaya berwujud lelaki tampan dan bertubuh bagus ini?? Waspada, Kirana!
"Apa?" Leonard mengernyit curiga melihat wanita muda di hadapannya komat-kamit.
Tersadar bahwa wajahnya menunjukkan ekspresi dalam pikiran, Kirana meringis, "Aku baca sebentar."
Saat hening merupakan kesempatan bagi Leonard untuk mengamati Kirana dengan lebih baik. Rambut ikalnya jatuh menutupi sebagian wajah, kulitnya pucat dengan rona samar yang manis, bibir merah muda yang sesekali digigit dengan menggemaskan ...
Leonard bergerak tidak nyaman karena sesuatu yang terbangkit dalam dirinya. Lelaki itu segera mengalihkan pandangan sebelum terperangkap dalam pikiran yang menyesatkan.
"Dari yang kulihat tidak ada masalah sih. Tapi kenapa aku?" Kirana meletakkan map itu di atas meja.
"Karena aku melihatmu tampil apa adanya dan tidak berusaha mendekatiku," tukas Leonard.
Sepasang mata indah berbulu mata lentik mengejap cepat. Baru kali ini dia mendengar ada lelaki yang memilih wanita berdasarkan penampilan yang tidak oke. Apakah lelaki tampan ini bosan dengan wanita cantik? Atau dia memiliki kelainan tertentu?
"Begitu rupanya? Oke. Ada satu hal yang ingin kutegaskan sekali lagi. Benarkah tidak akan ada hubungan intim?" tanya Kirana.
"Kamu sudah membacanya dalam perjanjian itu, 'kan? Kenapa masih bertanya?" Leonard bertanya balik.
"Nggak boleh tanya ya?" ketus Kirana.
Leonard terhenyak terhadap keketusan si wanita. Dia berpikir setelah memastikan poin-poin perjanjian mereka aman Kirana akan bersikap lebih baik, karena bagaimanapun ini adalah sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang baginya.
"Boleh saja bertanya, tapi harus menggunakan nalar, apakah pertanyaan tersebut benar-benar diperlukan atau tidak. Dan juga apakah jawabannya sudah tertera atau belum," ujar Leonard.
"Tinggal bilang 'iya' atau 'tidak', apa susahnya sih? Aku orang yang simple, sederhana. Nggak suka ngomong berbelit-belit. Memangnya politikus?" Kirana menolak kalah.
"Kamu baca sekali lagi. Setelah itu katakan padaku, apa jawaban atas pertanyaanmu," tegas Leonard. Ada debar tidak biasa terhadap perdebatan aneh ini.
"Lupakan saja lah. Aku tidak terlalu membutuhkan pekerjaan atau apa pun ini. Terima kasih atas waktunya." Kirana beranjak.
"Hei," panggil Leonard.
Kirana mengabaikan.
Seulas senyum terkembang di bibir Leonard. Dia menekan sebuah tombol tersembunyi di meja yang berfungsi untuk mengunci pintu ruangan. Diperhatikannya wanita itu berusaha menarik pegangan pintu. Seketika Kirana panik karena pintu itu tidak dapat dibuka.
"Ada masalah?" Leonard berjalan mendekat.
Kirana yang merasakan pergerakan itu berbalik waspada. Dia melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan Leonard.
"Buka pintunya!" sergah Kirana.
Lelaki berjas biru itu menghela nafas, "Sepertinya kita berdua akan tetap berada di sini sampai tercapai kata sepakat. Gunakanlah waktu ini sebaik mungkin, Kirana. Bacalah kembali surat perjanjian kita."
"Aku sudah baca! Aku butuh waktu lebih banyak untuk memikirkannya!" Kirana terus melangkah mundur karena Leonard terus mendekat.
"Kamu pikir aku percaya? Begitu keluar dari pintu itu kamu akan menghilang ditelan bumi. Aku sudah menghabiskan waktu untuk membuat surat perjanjian yang bagus, aku tidak akan membiarkan waktuku terbuang sia-sia." Aneh. Dia terus terpancing oleh sikap wanita ini.
Sikap agresif Leonard membuat Kirana bergidik. Apakah sikap dingin tadi hanya sandiwara? Apakah ini sifat asli Leonard?
"Memangnya apa urusannya denganku? Kamu yang menawarkan, tentu kamu yang harus menghabiskan waktu! Tapi belum tentu akan kuterima!" Kirana terus mundur.
"Penawaranku kurang bagus?"
"Emm ... itu cukup bagus, cuma hal ini tidak semudah membeli gorengan di pinggir jalan! Ini menyangkut hidupku loh! Tentu aku harus berpikir baik-baik apakah perjanjiannya lebih banyak menguntungkan atau merugikan!"
Karena gugup kaki Kirana menolak berkoordinasi dengan baik. Kaki kiri seolah punya pikiran sendiri dan menjegal kaki kanan, mengakibatkan si pemilik kaki terhuyung ke belakang. Sisi baik dalam diri Leonard membuatnya menghambur ke depan untuk menyelamatkan wanita itu dari kemungkinan jatuh membentur lantai.
Terdengar suara berdebam keras saat keduanya jatuh tumpang tindih di atas lantai marmer dengan posisi Kirana tertelungkup di atas d**a Leonard.
"Oh, sial ... kenapa bisa jatuh?" Kirana mengusap dahinya yang membentur wajah Leonard.
"Ugh ... kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak ...." Kirana terbelalak melihat wajah Leonard sepucat kertas. Dia kembali panik dan bergegas membantu lelaki itu bangkit.
Kepala Leonard berputar. Untung Kirana cukup kuat untuk memapahnya ke sofa, kalau tidak bisa-bisa dia tergoda untuk tetap terbaring di lantai.
"Hei, mana yang sakit?" tanya Kirana sembari memeriksa kepala si lelaki. Jemarinya menemukan benjolan di pelipis, tidak terlihat karena tertutup oleh rambut.
"Berhenti! Kamu membuatnya lebih buruk!" Leonard mendorong si wanita mundur.
Kirana pun segera angkat tangan. Perlahan dia beringsut menjauh ke ujung sofa sambil tetap memperhatikan Leonard. Wajah lelaki itu terlihat buruk seolah-olah dapat pingsan kapan pun.
Beberapa saat kemudian rona di wajah Leonard berangsur kembali. Berkali-kali dia menarik nafas dalam-dalam untuk mempercepat pemulihan. Dari sudut mata dilihatnya Kirana masih duduk tak bergerak.
"Kamu darah rendah?" tanya Kirana.
"Tidak." Leonard bangkit dan berjalan kembali ke mejanya. Dengan gestur tangan dia mengundang Kirana mendekat.
"Masih ada yang perlu dibicarakan?" Kirana duduk dengan patuh.
Leonard menatap tajam, kemudian mengangkat alis. Tunggu dulu, apa yang dia lihat? Ada sesuatu yang berubah di wajah Kirana. Sesuatu yang sangat menarik.
"Luar biasa. Sepertinya aku tidak salah pilih wanita." Lelaki itu tersenyum lebar.
"Apaan?" Kirana mengernyit. Apakah kepala lelaki ini terbentur terlalu keras? Kenapa mendadak ketus, kemudian mendadak cengengesan?
Leonard mencondongkan tubuh ke depan dan bertanya lembut, "Kamu punya mata hijau yang cantik. Kenapa disembunyikan dengan lensa kontak?"